Tak Sreg Family Office Bebas Pajak, Kepala Bappenas: Lebih Baik Beri Fasilitas dan Kemudahan

Suharso berpendapat, pemerintah bisa menggelontorkan insentif dalam bentuk lain untuk mengundang para investor ke Indonesia ketimbang insentif fiskal.

Family Office.(Akademi AI Indonesia/Ilustrasi)

bakabar.com, JAKARTA - Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Suharso Monoarfa tampaknya kurang sreg dengan rencana pembebasan pajak untuk investor asing yang masuk ke Wealth Management Consulting (WMC) atau family office.

Dalam rencana besarnya, family office yamg digagas Menko Maritim dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan itu akan menjaring dana dari keluarga-keluarga kaya, terutama di Asia. Nantinya para investor ini tidak dikenakan pajak, tetapi dia harus investasi dan investasinya itu yang akan dipajaki.

Suharso menyoroti tentang beban berat yang akan ditanggung Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam implementasi pembebasan pajak tersebut. Dalam hal ini, Sri Mulyani diminta untuk meningkatkan rasio pajak, tapi di saat yang bersamaan juga harus menggelontorkan insentif fiskal.

"Saya kasihan banget sama Ibu Menteri Keuangan (Sri Mulyani) yang beliau didorong untuk mendorong tax ratio-nya naik, tapi kemudian juga harus memberikan insentif fiskal," kata Suharso, dikutip dari detikFinance, Jumat (5/7/2024).

Dia berpendapat, pemerintah bisa menggelontorkan insentif dalam bentuk lain untuk mengundang para investor ke Indonesia ketimbang insentif fiskal. Ia pun juga sempat menyampaikan hal ini kepada Sri Mulyani untuk berhemat-hemat dengan anggaran dan membuka peluang lewat insentif bentuk lain.

"Benar insentif fiskal itu menyebabkan orang mau investasi, kita dapat efek ekonominya, lapangan kerja, orang bekerja. Dengan demikian kita bisa dapat dari sisi yang lain, PDB kita meningkat dan seterusnya. Tetapi kita juga harus melihat efek penerimaannya terhadap negara," ujarnya.


Namun Suharso menekankan, bukan berarti ia tidak mendukung masuknya investor ke Indonesia. Menurutnya, pemerintah bisa menggelontorkan insentif dalam bentuk lain untuk mengundang para investor, seperti dukungan penyediaan fasilitas.

"Misalnya gini, sebuah investasi ingin melakukan pembangunan satu pabrik. Tapi untuk jalan ke pabriknya dia harus bangun sendiri, untuk penyediaan airnya dia harus bangun sendiri, listriknya dia harus bangun sendiri. Tapi kalau sekarang bagaimana kalau di luar seluruh fasilitas itu bisa disiapkan oleh pemerintah, tetapi juga kemudahan-kemudahannya dia dapat dengan segera," ujarnya.

"Di pelaksanaannya itu sering ada time lag 2 tahun, 3 tahun, 4 tahun. Jadi orang menganggap kita memang memberikan kemudahan, tetapi dalam pelaksanaannya belum. Itu yang harus kita koreksi. Menurut saya itu lebih bagus memberikan hal yang seperti itu dibandingkan insentif fiskal," sambungnya.

Di samping itu, Suharso mengatakan jangan sampai kebijakan ini dibentuk secara terburu-buru. Perlu dikaji secara mendalam dari impelementasi penerapan insentif fiskal sebelum-sebelumnya.

"Jangan kita langsung terburu-buru, langsung kita kasih, supaya orang berbondong-bondong. Buktinya kan gak juga. Artinya apa yang terjadi yang kemarin-kemarin juga begitu," katanya.


"Kalau mereka dikasih kemudahan, bisa tinggal, bisa mendapatkan green card, kemudian kalau mereka mau bayar pajak di kita malah, kemudian dia ingin menyumbang, bikin program orang kaya. Orang kaya itu nggak perlu dikasih insentif pajak," demikian Suharso.(*)