Swastanisasi Air

Swastanisasi Air Belum Berakhir, Pemprov DKI Harus Transparan

Swastanisasi air di Jakarta belum berakhir, meski BUMD PAM Jaya mengklaim bahwa perpanjangan kontrak dengan Palyja dan Aetra sudah usai pada 31 Januari 2023.

Pemerintah Provinsi DKI Jakarta segera membangun sistem penyediaan air minum (SPAM) dengan total nilai investasi Rp23,8 triliun, meskipun faktanya asih banyak warga yang membeli air secara eceran. Foto: indonesiawaterportal.com

apahabar.com, JAKARTA - Swastanisasi air di Jakarta belum berakhir meski BUMD PAM Jaya mengeklaim bahwa perpanjangan kontrak dengan Palyja dan Aetra sudah usai pada 31 Januari 2023. Faktanya, praktik swastanisasi air di DKI Jakarta masih terus berlanjut.

Kepala Bidang Usaha Pangan, Utilitas, Perpasaran dan Industri pada BP BUMD DKI Jakarta, Thomas menjelaskan jika berakhirnya kontrak dengan Palyja dan Aetra merupakan akhir dari swastanisasi air.

"Ini semua yang take over kita," ujarnya pada apahabar.com, Selasa (28/2). 

Thomas mengeklaim, jika berakhirnya swastanisasi air dilakukan secara bertahap. Transisi ini dilakukan melalui penandatanganan PKS dengan PT. Moya Indonesia.

Baca Juga: Warga Jakarta Sebut Swastanisasi Air Melanggar HAM

Masih menurutnya, perjanjian itu dinilai bukan bentuk dari swastanisasi. Sebab, pihaknya akan menjalankan semua tupoksi dan PT. Mayo Indonesia hanya menyuplai sumber daya saja.

Praktik tersebut dinilai Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta sebagai bentuk swastanisasi air gaya baru. Pengacara publik LBH Jakarta Jihan Fauziah Hamdi menuntut Pemerintah Daerah untuk lebih transparan dan melibatkan lebih banyak partisipasi publik. Pasalnya, persoalan air bersih menyangkut hajat hidup banyak orang. 

"Kalau kita lihat tanggal 4 Oktober ada perpanjangan dengan PT Moya Indonesia, dalam 25 tahun, tidak ada kejelasan. ini justru jadi catatan, sejak awal permasalahan air bersih di Jakarta ini yang jadi masalah distribusi,” kata Jihan menegaskan.

"Kita sudah pernah ajukan ini (swastanisasi air) ke KPK dan terbukti ada Fraud di dalamnya, dalam artian ada kerugian negara," imbuhnya.

Baca Juga: Cegah Penurunan Tanah Jakarta, Menteri PUPR: Suplai Air Bersih Kuncinya

Sementara itu transparansi kontrak tersebut juga ikut dipertanyakan. "Selama ini Pemda tidak melakukan ini dengan transparan dan partisipatif, sedangkan ini harus dilakukan,” jelas Jihan lagi. 

Dalam kontrak bersama PT Moya Indonesia, PAM Jaya berpotensi untuk memperpanjang kerjasama hingga 30 tahun ke depan. Sedangkan kerjasama yang disepakati antara PAM Jaya dan PT Mayo tidak pernah terukur risikonya.

Kerjasama tersebut merupakan sistem penyelenggaraan air minum (SPAM) melalui optimalisasi Aset Eksisting dan Penyediaan aset baru dengan skema pembiayaan bundling. 

"Saya hadir waktu itu dalam sosialisasi oleh PAM Jaya di bulan Agustus, perjanjian itu dengan PT Moya selama 30 tahun. Dan itu bisa diperpanjang, sedangkan cakupan air saat dipegang oleh swasta selama 25 tahun ini hanya sebesar  60%. Pertanyaannya adalah  ke mana 40%-nya kan? mengapa ini bisa terjadi?” tanya Jihan. 

Selama ini, swastanisasi air kerap menjadi problematika tersendiri bagi warga Jakarta. Aksesibilitas yang tidak memadai juga menghiasi minimnya supply air bersih di ibu kota.