Opini

Susah Salaman, Jadilah Wartawan

Mengabulkan sebagian isi inbox Instagram dan FB: “Bang, pabila pian menulis lagi? Ulun katuju membaca pengalaman…

Ahmad Rosyadi. Foto-Istimewa

Mengabulkan sebagian isi inbox Instagram dan FB: "Bang, pabila pian menulis lagi? Ulun katuju membaca pengalaman pian. Kalo tulisan opini atau kisah-kisah ulama, banyak aja di internet. Kutipan bahan tulisan kaya itu bahambur di Wikipedia wan Google, tinggal copy paste, tambahi sedikit. Mun tulisan pian pengalaman sorangan".

Oleh: Ahmad Rosyadi

SEJAK tiga tahun terakhir, ada hal menarik pada saat Idulfitri di sejumlah tempat di Martapura. Ada empat lokasi yang jadi fokus saya: Masjid Agung Al Karomah, Masjid Syia'rus Shalihin Jalan Ahmad Yani perempatan Sekumpul, Masjid Bani Ahdal Sekumpul Ujung dekat Batas Kota, dan musala di kampung saya.

Sesudah Salat Id, kala khutbah belum rampung, sebagian jemaah segera berangkat ke Musala Ar Raudhah. Tujuan mereka cuma satu, menunggu kesempatan bersalaman dengan putra Guru Sekumpul, H Muhammad Amin Badali dan H Ahmad Hafi Badali.

Lebaran 2017, jemaah menunggu dalam musala dan setelah itu antre bersalaman di rumah Guru. Yang di luar musala terpaksa cuma bisa melihat antrean dari jauh.

Idulfitri 2018, momen ini tidak ada walau banyak yang sudah bergegas dan menunggu.

Saat itu lebaran jatuh pada Jumat, waktunya mepet. Lebaran Rabu dua pekan lalu, banyak juga yang menunggu dan mencari informasi apakah Open House digelar lagi. Ternyata, tahun ini kesempatan diberikan kepada petugas dan khadam Kompleks Sekumpul.

Melihat hal itu, pikiran saya terkenang dengan hal serupa tapi tak sama pada 1994. Bertemu Guru Sekumpul mungkin idaman banyak orang. Ketika menjadi bagian di antara ribuan jemaah pengajian, saya berangan-angan bisa bertemu langsung dengan Guru. Tapi sangat sulit mencari kesempatan demikian.

Guru Sekumpul tidak mungkin menerima ribuan jemaah satu per satu. Saya cukup melihatnya memberikan ceramah dari layar televisi. Jangankan bertemu dan berbicara langsung, bersalaman dengan Guru pun hanya muncul dalam khayalan.

Saya pertama kali mendengar langsung ceramah Guru Sekumpul pada 1988. Hari dan tanggalnya saya hafal sampai sekarang, Sabtu, 25 Juni.

Mengapa saya ingat, karena saat itu TVRI sedang menyiarkan Final Kejuaraan Sepak Bola Eropa Piala UEFA di Jerman Barat, antara Uni Soviet melawan Belanda. Saya hafal bener nostalgia itu. Belanda menang 2-0 dengan 4 pemain utamanya Ronald Koeman, Marco van Basten, Frank Rijkaard, dan Ruud Gullit.

Hari itu saya bersama Ibu berkunjung ke rumah Paman, H Gusti Chairiansjah, di rumah Jl Sasaran Martapura. Rumah sepupu Ibu ini jaraknya tak sampai 200 meter dari Musala Darul Aman, tempat Guru pertama membuka pengajian, sebelum hijrah ke Jalan Sungai Kacang (kelak ganti nama jadi Jalan Sekumpul).

Jemaah yang hadir memenuhi jalan sampai ke depan halaman rumah Om. Sore itu, di saat Guru berceramah, saya malah ikut nonton bola. Sesekali kami mendengar ceramah karena memang pengeras suara juga terdengar nyaring karena dipasang di sejumlah tempat.

Tahun 1990 pertama kali saya ikut pengajian di Sekumpul bersama kakak. Dibonceng naik sepeda, awalnya saya ke Sekumpul mau memakai celana panjang.

Belakangan baru tahu bahwa "adabnya" harus pakai sarung. Umur 11 tahun tidak bisa makai sarung, akhirnya saya diajarkan cara memasang tapih, teori dan langsung praktek. Ganal am sempolan…

Klik halaman selanjutnya

Berbeda dengan kakak yang mengaji membawa kitab, tentu saja saya hadir cuma mendengarkan ceramah sambil mengagumi rumah-rumah di sekitar kompleks yang tergolong mewah masa itu. Paham tidak paham yang penting hadir, dan dapat pahala. Begitu ceramah yang pernah saya dengar.

Selain gembira diajak naik sepeda, hal lain yg membuat senang ikut ke Sekumpul adalah singgah ke warung langganan sehabis pengajian. Warung tanpa dinding itu ada di dekat pintu gerbang Mushala sebelah timur yang tembus Gang Mahabbah, sekarang sudah jadi rumah beton. Harganya masih ingat, teh panas Rp50, teh dingin Rp100, es teh lupa -Rp125 apa Rp150 ya…

Tahun 1992 saya sudah mandiri, ikut pengajian tanpa bareng kakak. Pada 1990 hingga pertengahan 1999, di antara ribuan jamaah, saya kerap menyaksikan tamu penting yang datang ke rumah Guru dan sebelumnya ikut duduk mengaji di Musala. Cuma doa yang dipanjatkan agar suatu saat bisa menjadi tamu Guru atau barangkali ikut mendampingi tamu yang datang.

Sehabis pengajian di tahun 1995 (tanggal dan bulan saya lupa), Guru menuju rumah bergandengan dengan cucu Presiden Soeharto, Ary Sigit Harjojudanto. Di teras, Guru dan Ary melambai jemaah yangg berkerumun di sisi pagar.

Dalam sebuah media cetak terbitan Jakarta, Ary Sigit mengaku senang dan bersyukur menjadi anak angkat Guru Sekumpul. Kehadirannya ke Kalsel pun rutin semenjak itu.

Pada 5 Agustus 2005, dia menghadiri pelantikan H Rudy Ariffin sebagai Gubernur Kalsel di Gedung Mahligai Pancasila Banjarmasin.

"Saya kan dan Pak Rudy sama-sama anak angkat Abah Guru. Saya hadir kalau Pak Rudy yang mengundang," katanya tentang kehadiran dia kala itu.

Lambaian tangan Guru Sekumpul bersama Ary Sigit itu membuat saya berpikir, bagaimana caranya supaya bisa bertemu, bersalaman, dan berfoto dengan Guru.

Dalam pikiran awam saya kala itu, hanya ulama, pejabat, petinggi ABRI dan Polri atau figur nasional yang bisa menembus Sekumpul. Mata saya tertumbuk dengan 2 atau 3 orang wartawan yang memotret Guru dan rombongan. Rupanya Ary Sigit membawa wartawan/fotografer dr Jakarta.

Bulatlah hati saya, tidak ada cara lain agar bisa bertemu Guru Sekumpul, saya harus jadi wartawan. Tahun 1997, ketika ditanya cita-cita oleh guru bahasa Arab di sekolah, saya jawab mantap: jadi wartawan. "Ooh Shahafiyy, wartawan," kata beliau.

Buntutnya panjang, beliau minta cita-cita itu dipikir ulang. Mungkin ini akibat anggapan bahwa menjadi wartawan itu lebih mendekat kepada perilaku gibah dan fitnah. Bila yang dikabarkan tidak benar, namanya fitnah. Andai berita itu benar pun bisa menjadi gibah. Ampun maaf Guruku, kali ini saya ngotot dengan cita-cita itu.

Doa itu dikabulkan Allah SWT. November 1999 saya lolos seleksi wartawan pada sebuah koran harian di Banjarmasin dan ditugaskan di Martapura. Di tengah kebahagiaan itu, saya berkesimpulan, dengan menjadi wartawan keinginan saya bertemu Guru bakal tercapai.

Cita-cita itu menjadi kenyataan. Kamis pagi, 6 April 2000, saya mendapat kabar dari Muhammad Hilmansyah, wartawan Metro Banjar, bahwa hari itu Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Umum H Muhammad Abdul Rachman, SH, akan datang ke Sekumpul. Informasi ini diterimanya dari sejumlah jaksa di Kejaksaan Negeri Martapura dan Kejaksaan Tinggi Kalsel di Banjarmasin.

Inilah kesempatan bertemu atau setidaknya berjabat tangan dengan Guru Sekumpul. Menjadi bagian dari rombongan MA Rachman, yang kelak menjadi Jaksa Agung, mengantarkan saya untuk pertama kalinya menjejakkan kaki di kediaman Guru Sekumpul.

Klik halaman selanjutnya

Pertemuan pertama dengan Guru barangkali merupakan peristiwa bersejarah bagi perjalanan hidup. Bayangkan, di antara ribuan jemaah yang berkeinginan bertamu ke kediaman Guru, saya menjadi sedikit di antara yang bisa. Kalau tidak menjadi wartawan dan hanya seperti jamaah pengajian biasa, mungkin tidak pernah bertemu Guru di kediaman. Keluarga saya yang rutin ikut pengajian sejak 1987 hingga Guru Sekumpul wafat, tak sekali pun menjumpai momen berjabat tangan.

Ini tidak dapat dimungkiri. Berapa banyak mereka yang ingin bertemu Guru sejak dulu, namun sampai akhir hayatnya belum kesampaian. Entah mengapa - ini penilaian subyektif saya – bertemu Guru menjadi kebahagiaan yang tidak ternilai. Bertemu ulama dan tokoh besar lain merupakan suatu kehormatan. Tapi, bertemu Guru entah mengapa memiliki kesan mendalam yang tak bisa dilukiskan kata-kata. Open House Idulfitri di Sekumpul tahun-tahun belakangan bisa jadi napak tilas dan mengenang perjuangan itu.

Bertemu pejabat tinggi yang orang lain tidak semuanya bisa, merupakan kebanggaan. Tapi, bersilaturrahim dengan Guru Sekumpul melebihi semua itu. Tidak bisa dijelaskan mengapa ini bisa terjadi. Yang pasti, hal demikian tidak cuma dirasakan saya seorang. Mereka yang pernah bertemu Guru banyak pula mengalami hal sama.

Keistimewaan lain, kami bisa foto bersama dalam pelbagai macam pose. Ini merupakan hal menarik karena tidak semua tamu bisa mendapatkannya. Setiap mengikuti tamu ke Sekumpul, kami selalu mencari kesempatan foto bersama Guru.

Selama meliput di Sekumpul, saya memiliki ratusan foto bertema Sekumpul plus sosok ulamanya. Cuma ada satu "penyesalan" kini. Saya dulu tidak terbersit foto bersama putra Guru, Muhammad Amin Badali. Padahal momennya lumayan banyak, salah satunya pada 11 April 2000, seperti pada foto jepretan saya dalam tulisan ini.

Saat itu kami mengiringi kunjungan Danrem 101/Antasari Kolonel Kavaleri Bahir Alamsyah. Amin Badali yang awalnya ikut bersama kami duduk di ruang tamu tiba-tiba masuk ke dalam kamar dan duduk di dekat Guru yg sedang berbincang dengan si perwira. Semula, seorang pembantu di rumah, H. Zahrani, mau melarang, tapi akhirnya dibiarkan saja.

Dari luar kami mendengar Amin Badali berkata, "Aku jangan ditembak lawan (dengan) pistol polisi." Mendengar itu, Guru Sekumpul dan Danrem tertawa. Amin Badali sendiri keluar tak lama setelah itu.

Belakangan, ketika 19 tahun berlalu, saya baru menyadari mengapa saya tidak pernah foto berdua dengan Amin.

Padahal, setiap saya memoto, Amin Badali kerap mendekati dan ingin memegang tustel yang saya pegang. Saya ingat kalimat pendek dia, "Kameranya putih." Saya terkenang suara itu, dengan ciri khas dia pada penyebutan huruf "R"…

Pada awal 2000, wartawan yang rutin ikut mendampingi tamu ke Sekumpul adalah Hilmansyah dan saya.

Kondisi ini berlangsung hingga akhir 2001. Ini wajar saja. Saat itu cuma 4 ada koran harian di Kalsel. Memasuki 2002, wartawan sepertinya tidak lagi bisa memiliki akses ke kediaman Guru. Banyaknya wartawan yang ikut rombongan, merupakan salah satu sebabnya.

Sebagai contoh, ketika seorang pejabat tinggi negara bertemu Guru, puluhan wartawan yang bertugas di Banjarmasin ikut ke Sekumpul. Ini ditambah lagi rombongan jurnalis dari Jakarta. Imbasnya, wartawan tidak bisa lagi bebas masuk ke kediaman. Mereka harus puas menunggu di teras atau di halaman.

Bayangkan kalau sekarang. Mungkin ada puluhan wartawan yang meliput Sekumpul.

Selain koran harian di Kalsel jadi 6 terbitan, wartawan media online pun kian banyak jumlahnya. Sebagai ilustrasi, sejak 2009, setiap Ramadan Pak Rudy Ariffin rutin sahur bersama wartawan wilayah liputan Banjarmasin, Martapura dan Banjarbaru.

Subuh Ahad 26 Mei 2019, Sahur Bareng digelar di Hotel Dafam Q Mall Banjarbaru. Mau tahu berapa yg hadir? Dalam lembaran buku tamu, yg ikut sahur 403 orang. Barangkali, 70 persen adalah dari media massa online.

Pada awal 2003, tamu umum datang untuk mendapatkan Ijazah Musafahah dari Guru Sekumpul. Untuk bertamu, jemaah mendaftarkan diri kepada sejumlah orang yang ditunjuk Guru.

Begitu di-acc, sang tamu secara bergiliran bersalaman dan melakukan ritual khusus lainnya. Pertemuan diakhiri dengan foto bersama satu persatu. Kegiatan ini berhenti seiring menurunnya kesehatan Guru dan kini cuma tinggal sejarah setelah beliau wafat.

Terakhir kali saya dan dua teman, salah satunya my friend, Abdul Wahab (Allah yarham, wafat usia muda), bertemu Guru Sekumpul pada Sabtu, 5 Juni 2004.

Ketika itu Guru dirawat di RS Budi Mulia, Jalan Raya Gubeng, Surabaya. Pertemuan kami tidak direncanakan. Maklum, ketika Guru dirawat, banyak orang yang ingin membesuk, tapi tidak kesampaian. Mendengar itu, kami seperti tidak bersemangat, ditambah alasan untuk tidak mengganggu istirahat Guru.

Tapi, nasib baik berpihak pada kami yang kala itu berangkat ke Surabaya untuk selanjutnya ke Solo, Jawa Tengah mengikuti haul di Majelis Habib Anis Al Habsyi. Pukul 10.00 WIB, pesawat mendarat di Bandara Juanda. Pikiran sempat bimbang apakah ikut ke RS Budi Mulia atau menunggu di terminal menuju Jogjakarta.

Akhirnya, saya ikut menemani kawan untuk "mencoba" membesuk Guru. Setiba di sana, kami diberitahu bahwa Guru mungkin tidak bisa dijenguk. Entah mengapa kami nekat dan terus menunggu. Kami cuma duduk-duduk di sekitar kamar Guru dirawat, paviliun nomor 09 lantai 4.

Saya juga sempat bertemu dan berdiskusi dengan kolega, Poso Palopo Abdurrahman, wartawan Banjarmasin Post di Surabaya, kini mungkin sudah pensiun. Ia satu-satunya jurnalis yang memberitakan kondisi Guru Sekumpul selama dirawat di RS Surabaya. Berita tentang Guru memang selalu ditunggu-tunggu pembacanya di Kalsel.

Kenekatan kami untuk membesuk kian bertambah karena saat itu terlihat Sekretaris Daerah Provinsi Kalsel H Ismet Ahmad menunggu untuk membesuk.

Kami berpikir, jika Ismet diizinkan masuk, paling tidak tamu lain diizinkan sesudahnya. Sekitar pukul 11.30 WIB, pembantu Guru menyilakan Sekda masuk.

Sejam lebih Ismet membesuk, tak kelihatan keluar kamar. Pikiran menguat, Guru Sekumpul akan menerima.

Alhamdulillah, ini menjadi kenyataan. Ketika Ismet keluar, pembesuk lain dipersilakan masuk. Selain dilarang membawa kamera, pembesuk diminta sebentar saja bertamu. ''Satumat (sebentar) aja lah,'' pesan pembantu Guru.

Satu persatu tamu masuk. Mendahului kami, berderet rombongan tukang yang membangun rumah Guru di Kompleks Sekumpul.

Di dalam kamar, Guru berbaring lemah tanpa ekspresi. Ia mengenakan sarung dilapisi selimut dan berbaju kaos putih oblong tanpa kerah. Kami bersalaman dan mencium tangannya. Tak ada sepatah kata keluar dari mulut kami dan Guru. Adapun rombongan tukang tadi setelah bersalaman lantas mengangkat tangan, berdoa demi kesembuhan Guru.

Klik halaman selanjutnya

Meski tak lebih dari 2 menit membesuk, perasaan kami cukup puas. Apalagi, teman saya belum pernah berjumpa langsung dengan Guru. Kami berpikir, andai tidak nekat, mungkin tidak akan pernah bertemu Guru ketika dirawat di RS.

Kami merasa beruntung karena pada saat itu banyak pembesuk datang namun tidak bisa bertemu. Puluhan tamu hari itu pulang dengan tangan hampa karena dipesani oleh pembantu Guru bahwa sang ulama harus istirahat.

Banyak yang cuma bisa mendoakan dari luar kamar sebelum akhirnya pulang. Saat itu terlihat mantan Kepala Kejaksaan Negeri Martapura Arifin Sahibu, SH (Alm) yang datang untuk membesuk namun ditolak secara halus. Ia pulang dan hanya menitipkan salam teriring doa buat Guru sambil menyerahkan parcel kepada pembantu.

Kesempatan membesuk ini tidak mungkin terbit dua kali. Sekali lagi, faktor kenekatanlah yang barangkali membuat kami bisa diterima Guru. Sebab, selama dirawat di Surabaya, tamu yang datang sangat dibatasi. Hanya orang tertentu yang boleh masuk.

Uniknya, kunjungan kami bertiga selama 2 menit di RS itu ditulis Poso Palopo Abdurrahman dan dimuat di Banjarmasin Post besoknya. "Biar tambah rame," katanya lewat SMS.

Selama di RS, yang bisa membesuk antara lain, Wakil Presiden H Hamzah Haz, calon Wapres 2004 KH Shalahuddin Wahid, Jaksa Agung H MA Rachman, SH, ulama Sampang, Madura, KH Alawy Muhammad (kini Alm), Gubernur Jawa Timur H Imam Utomo, Menteri Negara Komunikasi dan Informasi H Syamsul Muarif (Alm), Gubernur Kalsel HM Sjachriel Darham (Alm), Sekda H Ismet Ahmad, Bupati Banjar H Rudy Ariffin dan pengusaha H Sulaiman HB (Alm).

Kunjungan Wapres Hamzah Haz ke Sekumpul pada 12 September 2001 merupakan kenangan bersejarah. Inilah untuk terakhir kalinya kami meliput tamu yang datang bersilaturrahim ke Sekumpul. Sesudah itu, sependek pengetahuan saya, tidak ada lagi wartawan bisa mengakses ke Sekumpul, dalam hal masuk ke kediaman mengiringi tamu.

Sesungguhnya, tamu yang datang kemudian tidak terhitung jumlahnya. Termasuk kedatangan Hamzah Haz sendiri pada tengah malam di 2003 dan pulang sesudah salat Subuh. Tidak ada berita tentang kunjungan diam-diam itu, karena wartawan tidak leluasa lagi meliput.

Sayang, liputan terakhir itu diwarnai kekecewaan mendalam yang dirasakan para wartawan akibat ketatnya protokoler dan pengamanan Paspampres. Hari itu para jurnalis merasa tidak dihargai. Wartawan tidak boleh mendekat kediaman Guru dan hanya mondar-mandir di sekitar pelataran mushala dekat rumah warga.

Ketika Hamzah Haz mau pulang, sejumlah fotografer sempat mengabadikan. Tapi, jaraknya agak jauh dan harus bersusah payah karena dibatasi pagar tinggi.

Hanya kamera menggunakan tele jarak jauh dan digital yang bisa memotret. Kamera kecil? Paling banter hasilnya yang tampak cuma pemandangan rumah maupun musala.

Saya hanya bisa memotret jubelan warga yang menonton dan mobil Indonesia 2 yang melintas di pelataran musala ketika rombongan pulang. Padahal, kamera besar merek Canon pinjaman dari Ketua DPRD Banjar H Rusbandi (Alm) sudah disiapkan.

Kekecewaan amat jelas dilontarkan wartawan Banjarmasin Post Abdan Sulaiman atau biasa disapa Pak Absul. "Kita tidak dihargai sama sekali. Panitia dari Jakarta overacting. Tak ada gunanya kartu identitas dari Korem," geram Pak Absul.

Dalam urusan liputan, Pak Abdan ini merupakan mentor dan guru jurnalistik saya. Beliau membimbing dalam tata cara dan etika wawancara dengan narasumber.

"Mun urusan merangkai kalimat, kada usah dilajari ikam ini. Mahir pada aku," canda beliau. Air mata saya mengalir ketika pada malam Tahun Baru 1 Januari 2008 mendapat kabar beliau berpulang ke rahmatullah.

Kalau merunut ke belakang, Abdan Sulaiman merupakan wartawan pertama — bersama Rahmawati Nunci, wartawati RRI Nusantara III Banjarmasin, Milhan Rusli (Kalimantan Post) dan wartawati Banjarmasin Post Umi Sri Wahyuni (Uum Rahmadi) yang berhasil mewawancarai Guru Sekumpul di kediaman.

Merekalah wartawan lokal pertama yang menyorongkan tape rekaman ke dekat mulut Guru. Kami tidak pernah mengalami hal demikian. Jauh di atas kami, mereka juga paling lama dan tersering berhubungan dengan Guru. Kami tidak ada apa-apanya.

Nama lain yang kerap meliput Sekumpul adalah Budhi Rifani (Banjarmasin Post). Selain mereka, saya belum punya data. Kalaupun bisa masuk ke rumah Guru, itu dalam kapasitas pribadi, tidak rutin, dan/atau bukan meliput kunjungan tamu.

Abdan mengaku diperlakukan Guru sangat baik pada Desember 1992. Dalam pikiran Abdan, juga wartawan lain, hanya orang tertentu yang membuat agak sulit mengakses sang ulama. Apalagi, Guru Sekumpul dikenal memiliki sifat kasih sayang, tanpa pilih kasih.

Walhasil, momen meliput tamu yang datang ke Sekumpul telah lewat. Taji wartawan nyaris tumpul ketika berhadapan dengan sumber berita bernama Sekumpul.

Zaman keemasan meliput tamu bersama wartawan Metro Banjar M Hilmansyah, seakan hilang tidak berbekas. Panggung liputan sudah tutup seiring munculnya wartawan generasi baru, paling tidak di bawah kami berdua.

Diawali meliput kunjungan Jaksa Agung Muda MA Rachman dan diakhiri mengikuti Hamzah Haz, itulah kenangan hidup berinteraksi dengan Sekumpul, bersama figur utama, ulama yang sangat saya hormati: KH Muhammad Zaini Abdul Ghani. Sejarah akan mencatatnya, tersendiri…

======================================================================

Tulisan ini adalah kiriman dari publisher, isi tulisan ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis.