Hot Borneo

Ssstt Uang Haram Eks Bupati HSU Mengalir ke Pusat!

apahabar.com, BANJARMASIN – Sebuah fakta menarik terungkap dalam kesaksian Abdul Wahid saat menjadi saksi mahkota dalam…

Untuk kali pertama eks Bupati HSU dihadirkan di Banjarmasin, Rabu (9/3). Ia bersaksi atas perkara yang menjerat bekas anak buahnya Maliki. Foto-foto: apahabar.com/Syahbani

apahabar.com, BANJARMASIN – Sebuah fakta menarik terungkap dalam kesaksian Abdul Wahid saat menjadi saksi mahkota dalam sidang Maliki di Pengadilan Tipikor Banjarmasin, Rabu (9/3).

Maliki adalah mantan bawahan Wahid yang lebih dulu ditangkap tangan KPK dalam sebuah operasi senyap di Amuntai, 15 September 2021 silam.

Lewat nyanyian mantan Plt Kepala Dinas PUPRP HSU ini, keterlibatan Wahid dalam skandal suap-fee proyek senilai belasan miliar rupiah di lingkup pemerintahan tersingkap.

Pada sidang siang tadi, terungkap jika duit korupsi hasil dari komitmen fee proyek di Dinas PUPRP Kabupaten HSU ternyata juga diduga mengalir ke pemerintah pusat.

Di hadapan majelis hakim, Wahid berkata ada sekitar 3-5 persen komitmen fee yang diserahkan ke salah satu oknum di Kementerian Keuangan RI.

Nantinya, persenan ini digunakan sebagai duit pelicin agar anggaran dari Kementerian Keuangan dapat dikucurkan ke Dinas PUPRP guna pembangunan infrastruktur.

“Ada permintaan dari Kementerian Keuangan (Kemenkeu). Yang pasti bukan dana DAK [alokasi khusus]. Biasanya kita melakukan lobi ke Kemenkeu,” ujar Wahid saat dicecar Jaksa KPK.

ASN HSU Bolak-balik KPK, Bupati Wahid Kini Terancam Jerat Kasus Baru

Lantas Jaksa KPK mempertanyakan siapa oknum dari Kemenkeu itu? Meski mengaku pernah bertemu, namun Wahid mengaku lupa nama oknum tersebut.

“Pernah ketemu. Saya lupa namanya,” kata Wahid.

Dalam kesaksiannya, Wahid menerangkan bahwa pemberian komitmen fee 3-5 persen ke Kemenkeu itu dilakukan sejak 2019.

“Kalau untuk pemerintah pusat, ketika ada informasi akan ada dana turun sekian. Sejak tahun 2019, ada permintaan 3- 5 persen untuk Jakarta,” bebernya.

Di sisi lain, Wahid membantah habis-habisan jika dia yang meminta komitmen fee 13-15 di masing-masing bidang di Dinas PUPRP HSU.

Padahal, dari keterangan sejumlah saksi yang sebelumnya dihadirkan KPK semua sepakat menunjuk hidung Wahid.

Sebut saja, Maliki. Pria yang juga merangkap Kabid SDA diminta komitmen fee 15 persen. Kemudian Kabid Bina Marga, Rahmani Noor, bersama Kasi Jembatan, Marwoto mengaku diminta komitmen fee 13 persen. Begitu pula dengan Kabid Cipta Karya, Abraham Radi.

“Saya enggak pernah meminta ke terdakwa (Maliki) sejumlah komitmen fee. Enggak ada minta 13 persen. Itu kan anggaran pusat,” katanya.

Tak hanya itu, Wahid juga membantah bahwa dia pernah memanggil pejabat Dinas PUPRP HSU di sebuah ruangan tepat samping rumah dinasnya di Amuntai guna kongkalikong komitmen fee.

Belum cukup, Wahid juga membantah pernyataan Marwoto dalam kesaksiannya di sidang sebelumnya bahwa pernah menyerahkan komitmen fee di 2019 sebesar Rp2,5 miliar dan Rp2,5 miliar di 2020.

“Itu tidak pernah ada,” kata Wahid.

Wahid menepis jika dia pernah menerima duit sebanyak itu. Dia hanya mengaku pernah menerima duit dari Maliki total Rp240 juta di 2019 – 2020.

Rinciannya, duit Rp240 juta itu diserahkan Maliki sebanyak tiga kali. Di 2019 Rp110 juta, 2020 Rp100 dan Rp20 juta. Wahid menyebutnya duit honor.

“Maliki bilang itu honor saya. Saya tidak tahu itu dari siapa,” kata Wahid.

Saat penggeledahan di rumah Wahid, penyidik KPK menemukan 33 item barang bukti berupa duit pecahan rupiah maupun dolar senilai Rp3 miliar lebih.

Jaksa KPK pun mempertanyakan ihwal asal-muasal duit sebanyak itu. Wahid pun lagi-lagi mengaku tak tahu dari mana duit tersebut berasal.

“Saya sudah disumpah tadi. Sepengetahuan saya saya tidak tahu itu dari siapa,” Wahid mengakhiri kesaksiannya. Sidang berlanjut Rabu depan, 16 Oktober. Agendanya pemeriksaan Maliki.

Sebagai pengingat, Wahid sendiri telah berstatus sebagai tersangka atas kasus korupsi komitmen fee 15 persen terkait pengerjaan DIR Banjang dan Kayakah di HSU. Ia juga diancam KPK menggunakan pasal pencucian uang.

Wahid berbicara dengan seorang nenek yang setia menghadiri sidang kasus ini.

Kronologis kasus Wahid di halaman selanjutnya:

Jurus Jitu Maliki Lolos dari Jerat Jaksa Kalsel Sebelum OTT KPK

18 November, KPK menetapkan Bupati HSU Abdul Wahid sebagai tersangka suap pengadaan barang dan jasa di proyek irigasi Banjang dan Kayakah.

Penangkapan berawal saat operasi tangkap tangan tim KPK pada 15 September 2021 di Amuntai, HSU.

KPK lebih dulu menangkap Maliki, pelaksana tugas Kepala Dinas Pekerjaan Umum Dinas PUPR Kabupaten HSU; Direktur CV Hanamas Marhaini (MRH); dan Direktur CV Kalpataru Fachriadi (FH) di lokasi yang berbeda.

Marhaini dan Fachriadi selaku pihak pemberi suap disangkakan melanggar Pasal 5 ayat 1 huruf a atau b atau Pasal 13 UU Tipikor juncto Pasal 65 KUHP.

Maliki selaku penerima suap disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau b atau Pasal 11 UU Tipikor juncto Pasal 64 dan Pasal 65 KUHP.

Sementara, Wahid yang diduga menerima suap dan gratifikasi hingga senilai total Rp18,9 miliar disangka Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 dan Pasal 12 B UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP Jo Pasal 64 KUHP Jo Pasal 65 KUHP.

Sikap Santai Eks Bupati HSU Ketika Hadir Jadi Saksi Mahkota di Banjarmasin