Social Commerce

Social Commerce, INDEF: Sudah Ada Sejak 15 Tahun Lalu

Peneliti Center of Digital Economy and SMEs Indef Izzudin Al Farras Adha menegaskan, social commerce sudah ada sejak 15 tahun lalu.

Ilustrasi - Project S TikTok Shop ini dicurigai menjadi cara perusahaan untuk mengoleksi data produk yang laris-manis di suatu negara, untuk kemudian diproduksi di China. Foto: KemenkopUKM

apahabar.com, JAKARTA -  Peneliti Center of Digital Economy and SME, Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Izzuddin AlFarras Adha menegaskan bahwa social commerce sudah ada sejak 15 tahun lalu.

Ia mencontohkan Kaskus yang selain sebagai forum diskusi komunikasi, di dalamnya termasuk social commerce. Itu dibuktikan dengan adanya forum jual beli di platform tersebut.

"Sebenarnya kalau kita lihat lagi ke belakang, Indonesia tuh sudah ada model serupa dengan ini (social commerce) 10-15 tahun lalu yaitu Kaskus," ujarnya di dalam Diskusi Publik Project S TikTok, lewat saluran telekonferensi, Senin (24/7).

Seiring berjalannya waktu, lanjutnya, teknolgi terus berkembang sehingga kini social commerce bisa memiliki data calon pembeli. Hal tersebut yang tidak dimiliki oleh kaskus kala itu.

Baca Juga: 'Project S TikTok Shop' Rugikan UMKM, MenKopUKM: Aturannya Perlu Revisi

Meski begitu, Izzuddin berharap data yang dimiliki oleh platform social commerce tersebut tidak disalahgunakan. Untuk itu, pentingnya negara membuat undang-undang yang melindungi data pribadi konsumen di social commerce.

"Perubahan peraturan data pribadi itu bisa ada sanksi pidana yang yang tentu peraturan teknis yang kita harapkan bisa keluar segera," paparnya.

Perbedaan berikutnya adalah level of playing field. Menurut Farras, dengan data yang dimiliki dan kemampuan mengolah data dalam jumlah yang besar, akhirnya platform bisa mengetahui preferensi konsumsi yang diinginkan konsumen baik di negara, wilayah atau bahkan secara spesifik kepada pengguna tersebut.

"Kemudian ketika pengguna punya preferensi tadi misalnya, kemudian platform tahu maka dengan cepat akan ditampilkan di platform mereka. Kemudian mereka melakukan produksi sendiri barang barang itu, inilah yang kemudian terjadi di TikTok Shop," katanya.

Baca Juga: Di Tik Tok, Gibran Jauh Kalahkan Ganjar, Prabowo, dan Anies

Lebih lanjut, dia menjelaskan Project S TikTok Shop yang belakangan ramai diperbincangkan oleh masyarakat menggunakan data yang dimiliki oleh platform, hingga akhirnya mereka mampu memproduksi barang yang diinginkan konsumen. Apalagi, ungkap Izzuddin, =China merupakan salah satu kekuatan dagang yang terkuat di dunia. 

Selain itu, border coast-nya pun relatif murah dibandingkan negara lainnya sehingga biaya produksi nya lebih murah. Ditambah saat ini, Tiktok Shop masih tahap bakar uang oleh para pemodalnya. 

"Sudahlah biaya produksinya murah, biaya pengiriman bahkan sering gratis terlebih belum ada regulasi di Indonesia mengenai social commerce ini sehingga laku lah produk produk Tiktok Shop khususnya di Indonesia," terang Izzuddin.

Di kesempatan yang sama, Peneliti Indef, Nailul Huda mendesak agar pemerintah merevisi Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) nomor 50 Tahun 2020 tentang Perizinan Usaha, Periklanan, Pembinaan dan Pengawasan Pelaku Usaha dalam Perdagangan Melalui Elektronik (PPMSE).

Baca Juga: Pangan Indonesia Bergantung Impor, INDEF: Inovasi Kita Masih Kurang

Menurutnya, Permendag itu sudah bagus. Namun hanya perlu sedikit revisi guna menyediakan level playing field yang sama antara pelaku penjualan online, baik itu produk lokal UMKM maupun produk impor.

Kemudian juga memberikan perlindungan bagi para pelaku UMKM di social commerce. "Kita sama-sama ingin memberikan ekonomi digital yang inklusif artinya ekonomi digital ini dinikmati oleh banyak pihak, baik seller, konsumen maupun platform," jelasnya.