Opini

Sisi Terang Pandemi dalam Optimisme Guru

Oleh Roni Aryanto “Berhenti mengutuk gelap, segera nyalakan lilin.” Sebuah petuah bijak dari cendekiawan masa lalu…

Ilustrasi. Foto-freepick

Oleh Roni Aryanto

"Berhenti mengutuk gelap, segera nyalakan lilin."

Sebuah petuah bijak dari cendekiawan masa lalu tersebut mungkin bisa menjadi salah satu pelecut semangat kita dalam menghadapi situasi yang mungkin saja bisa disebut tahun “vivere pericoloso”, tahun penuh bahaya, terutama dalam dunia kita: dunia pendidikan. Bahaya yang dimaksud tidak hanya mengancam sistem, tapi secara harfiah mengancam nyawa anak-anak kita.

Situasi pandemi yang menuntut kita untuk selalu menghadirkan jarak sudah barang tentu menjadi hal yang begitu sulit dan rumit dalam proses belajar mengajar yang sudah terbiasa nirjarak. Suara-suara kontra nyaring terdengar saat mulai diberlakukannya kebijakan Belajar dari Rumah (BdR) oleh pemerintah. Kita begitu terkejut dan gagap ketika harus langsung berhadap-hadapan dengan teknologi njelimet yang memfasilitasi kebijakan tersebut. Teknologi yang semestinya memudahkan justru menjadi momok menakutkan bagi guru, orangtua, anak-anak dan bagi sebagian besar kita.

Sudah mafhum bagi semua, perkembangan teknologi di negara kita masih cukup jauh tertinggal dari banyak negara. Tak perlu menyebut negara maju, dengan jiran serumpun saja kita masih belum mampu mengejar. Menurut data yang dirilis pada 2019 oleh International Telecommunication Union (ITU), ICT Development Index Indonesia Tahun 2017 mendapat nilai 4,33 atau berada di urutan nomor dua terendah di antara negara-negara anggota G-20. Bandingkan dengan tetangga kita Singapura yang mendapat nilai 8,05. ICT Development Index adalah standar pengukuran yang juga dikembangkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) dengan nama Indeks Pembangunan Teknologi Informasi dan Komunikasi (IP-TIK).

Melihat ke belakang, Oktober 2019, tanpa siapapun menduga, seorang industrialis teknologi muda didapuk menjadi seorang birokrat untuk memimpin Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, salah satu kementerian dengan anggaran terbesar dan birokrasi paling rumit dalam kabinet kita.

Penunjukan itu harusnya menjadi keputusan yang sangat tepat jika melihat situasi 5 bulan setelahnya, saat pandemi yang melanda dunia mulai menyebar di negara kita. Semangat inovasi muda yang dibawa "Mas Menteri", yang akan merekatkan pendidikan dengan teknologi, mendapatkan arenanya di tengah pandemi. Tapi, siapakah sebenarnya yang berlaga?

Sebagai mantan "profesional swasta", Nadiem Makarim tentu akan teliti berhitung untung rugi, tapi kementerian bukanlah perusahaan, dan kebijakan tidak melulu tentang untung rugi materi. Banyak faktor dan instrumen lain yang harus diperhitungkan dengan serius dan matang. Dan instrumen pendidikan yang paling krusial tentu saja adalah mereka yang berada di garis depan: guru dan peserta didik. Belakangan, ujung tombak itu, walau secara tidak resmi, bertambah dengan dilibatkannya secara langsung orang tua peserta didik dalam proses belajar mengajar. Merekalah yang sebenarnya sedang berlaga.

Lalu, apakah kita yang sedang berada di garis depan sudah cukup mumpuni untuk berperang? Sudahkah kita mengenali diri dan musuh kita dengan baik? Sudahkah kita membekali diri dengan amunisi yang cukup? Mungkin hampir semua pertanyaan di atas akan kita jawab "belum". Lalu apakah kita hanya akan terus mengutuk keadaan? Terus mencari-cari kesalahan tanpa memberikan alternatif solusi? Sambil nyaring menuntut gaji dan tunjangan yang baru terlambat sehari?

Tentu tidak. Guru sejati pasti tidak akan seperti itu. Setiap guru punya etika dan moralitas tinggi. Mereka hanya akan berbicara jika yakin akan bermanfaat di setiap ujarannya. Mereka hanya akan menunjukkan masalah jika telah mampu merajut solusi di dalamnya. Guru sejati akan bekerja tanpa pamrih dan terus belajar tanpa henti. Mereka akan selalu bisa menyesuaikan diri dengan keadaan, beradaptasi dengan baik dalam segala kondisi, sistem dan hierarki. Mereka akan selalu mengembangkan diri dan membuat inovasi. Guru adalah pribadi yang kuat. Mereka adalah pembelajar sepanjang hayat.

Apakah guru harus sesempurna itu? Ya, guru adalah pembelajar dan mereka pasti akan mampu memenuhi kriteria itu. Kuncinya adalah belajar dan mengembangkan diri. Upskilling dan Reskilling. Panggung dunia akan terus berubah dan perkembangan teknologi adalah aktor utamanya. Guru harus mengambil peran dan tidak sepatutnya hanya menjadi figuran. Era keterbukaan tekonologi dan informasi sudah sepatutnya kita iringi dengan keterbukaan diri, pikiran dan hati untuk belajar dan berlari mengiringi perubahan. Bukan membenci perubahan dan memaki teknologi atau malah berjalan mundur dan kembali berkelindan dengan kegelapan.

Tulisan ini jelas bukan untuk memberikan alternatif matahari yang akan menerangi dan memberi jalan keluar bagi segala permasalahan pendidikan kita. Penulis hanya ingin mengajak rekan guru untuk melakukan otokritik atas kinerja kita sendiri. Sudahkah kita berikan yang terbaik? Tiada pernah ada kata terlambat untuk belajar dan meng-upgrade kemampuan diri.

Tak harus jadi matahari, cukuplah kita menjadi kunang-kunang yang bercahaya di tengah gelap pandemi.

*
Penulis adalah guru di SMPN 2 Kusan Hulu, Kabupaten Tanah Bumbu.