Pemilu 2024

Seteru Sistem Pemilu 2024 Membodohi Masyarakat!

Riuh rendah diskursus sistem Pemilu proporsional tertutup dan terbuka memenuhi ruang publik. Para pelakon politik sikapnya terbelah

Ilustrasi proses penyortiran dan pelipatan surat suara Pemilu 2019. (ANTARA FOTO/Rahmad)

apahabar.com, JAKARTA - Riuh rendah diskursus sistem Pemilu proporsional tertutup dan terbuka memenuhi ruang publik. Para pelakon politik sikapnya terbelah dan mempertegas posisi partainya untuk memilih sistem Pemilu tertutup atau terbuka.

Lalu mereka memanfaatkan media massa untuk mengurai dan mengumbar informasi tentang kemelut sistem Pemilu. Mereka mengupayakan agar masyarakat memahami diferensiasi dari dampak penerapan sistem Pemilu terbuka atau tertutup.

Maka mayoritas partai di DPR menyatakan menolak sistem Pemilu tertutup, mereka menginginkan masyarakat langsung memilih wakilnya dalam gelaran Pemilihan Anggota Legislatif (Pileg) 2024.

Baca Juga: MK Bakal Ketok Palu Sistem Pemilu 2024 Kamis Mendatang

Sedangkan PDI Perjuangan bersikukuh sendirian tanpa teman menyatakan mendukung Pemilu tertutup atau rakyat langsung coblos partai sehingga masyarakat tak perlu repot mengingat nominasi wakil rakyat untuk dipilih saat Pileg.

Jika ditinjau dari prinsip demokrasi, kedua sistem Pemilu tak memiliki perbedaan signifikan. Sebab asas Pemilu langsung memenuhi kriteria dalam sistem Pemilu terbuka atau tertutup.

Dalam Pemilu terbuka, masyarakat langsung memilih wakil rakyatnya. Sedangkan pemilu tertutup, masyarakat juga langsung memilih partai.

Tetapi secara prinsip masyarakat tetap memilih secara langsung dalam gelaran Pemilu. Wacana sistem Pemilu terus ditiupkan ke ruang publik dengan menjejali masyarakat dengan perbedaan sistem yang membuat sesak pemahaman masyarakat.

Silang pendapat tentang sistem pemilu tak berkaitan dengan kepentingan masyarakat, sebab hal ini merupakan kepentingan elite dan partai politik yang mustahil membumi ke tengah masyarakat.

Baca Juga: MK Bakal Gelar Rapat Hakim Putuskan Sistem Pemilu 2024!

Namun dampak penyebaran informasi yang membelah persepsi masyarakat terus digelontorkan kedua pihak yang berseteru di ruang publik. Sebab kedua pihak menyadari media massa memiliki kekuatan untuk menjejali masyarakat dengan informasi yang berlimpah.

Dalam kajian teori Spiral of Silence, pendapat dan pemahaman seseorang sangat bergantung dengan apa yang diharapkan atau dipikirkan orang lain. Maka celah tersebut dimanfaatkan sejumlah partai politik untuk berseteru di ruang publik sehingga masyarakat dijejali informasi yang diklaim sebagai kepentingan masyarakat yang dibalut dengan kepentingan partai politik.

Terlebih dalam diskursus sistem Pemilu, persepsi mayoritas masyarakat menjadi penting terutama dalam memenangkan wacana publik. Maka upaya menjejali informasi kepada masyarakat merupakan cara untuk memenangkan pertarungan wacana dan mendapatkan persepsi mayoritas.

Dengan harapan masyarakat merasa terpanggil ikut berpihak dalam pertarungan wacana yang dipertandingkan elite politik lantaran derasnya informasi yang dikonsumsi secara terus menerus.

Hal ini yang menjadi dasar asumsi teori spiral keheningan dapat menilai sesuatu dari opini mayoritas yang bertransformasi menjadi opini publik.

Baca Juga: Forum Kalimantan: Tak Ada Urgensi Perubahan Sistem Pemilu 2024!

Terlebih memperkuat tesis Elisabeth Noelle-Neuman yang menyatakan bahwa setiap individu menyemai opini publik dari dua sumber, yakni observasi pribadi serta media.

Orang tidak suka mendiskusikan topik yang tidak punya dukungan mayoritas. Individu juga cenderung enggan mengungkapkan pendapat pribadinya yang berbeda atau bertentangan dengan pendapat mayoritas.

Untuk itu masyarakat hanya dijadikan objek untuk memenangkan pertarungan wacana dan menganggap masyarakat bodoh lantaran mengabaikan kepentingan publik dengan mengalirkan arus deras informasi.

Masyarakat hanya dijadikan alat seteru untuk berpihak dalam konteks sistem pemilu tertutup dan terbuka. Namun para elite politik tak memahami bahwa seteru sistem pemilu tak berkaitan dengan kepentingan masyarakat, sebab tiada guna penerapan sistem pemilu karena tak menebas prinsip demokrasi.

Memilih caleg langsung yang disodorkan partai politik atau memilih partai politik yang bakal memilih calegnya untuk melenggang ke parlemen. Tiada beda.

Baca Juga: Tanpa PDIP, Delapan Fraksi DPR Tolak Sistem Pemilu Tertutup!

Utopia masyarakat membayangkan pemilu sebagai sarana menyemai kesejahteraan dan kemakmuran. Bukan sebagai tujuan. Namun jika masyarakat seolah dipaksa dan diseret dalam diskursus perselisihan sistem pemilu, masyarakat hanya dimanfaatkan demi kepentingan wacana.

Padahal yang dikhawatirkan dalam sistem pemilu terbuka atau tertutup yakni peluang terjadinya perilaku korup di internal partai dan buruknya kaderisasi di tubuh partai.

Justru sistem pemilu terbuka atau tertutup membuka ruang kepada partai untuk membuktikan bahwa institusi partai dapat dipercaya masyarakat. Sistem pemilu terbuka atau tertutup hanya mewakili kepentingan partai politik, bukan masyarakat.

Perilaku koruptif dan buruknya kaderisasi menjadi sebuah insinuasi yang perlu dijawab dengan bukti oleh partai politik yang seringkali dipandang sebelah mata untuk dipercaya publik.

Sebab masyarakat kini hanya mempedulikan kondisi ekonomi yang membuatnya terhimpit. Debat kusir sistem pemilu terbuka atau tertutup tak membumi bagi masyarakat, lantaran sistem pemilu tak ayal sebagai akrobatik politik para politisi yang memiliki strategi terbatas untuk menjemput suara masyarakat.

Merujuk pada data Pusat Informasi Harga Pangan Strategis (PIHPS) Nasional, per Minggu (11/6), harga sejumlah komoditas masih meroket sehingga membuat masyarakat semakin sulit.

Baca Juga: Pengamat: Putusan MK Soal Sistem Pemilu Politis dan Suka-suka!

Salah satunya harga telur ayam ras yang hingga kini masih berkisar Rp31 ribu/kilogram. Harga telur ini tak kunjung turun sejak Idulfitri 2023 dan masih bertengger dengan harga yang relatif tinggi.

Terlebih harga komoditas lainnya yang masih fluktuatif jelang perayaan Iduladha 2023 yang membuat masyarakat cemas terjadinya lonjakan harga yang signifikan.

Isu yang membumi dengan masyarakat yakni ekonomi, terutama harga komoditas. Maka jika dikorelasikan dengan Pemilu, harapan masyarakat amat sederhana bahwa kebutuhan komoditas tersedia dengan harga yang terjangkau.

Maka Pemilu diharapkan dapat melahirkan pemimpin atau wakil rakyat yang dapat memastikan ketersediaan dan stabilitas harga komoditas bagi masyarakat. Artinya Pemilu menjadi sarana masyarakat menjemput kesejahteraan dan kemakmuran.

Sedangkan jika masyarakat masih diseret dalam diskursus melangit tentang sistem Pemilu, maka partai politik gagal paham untuk menginternalisasi nilai fundamental partai politik yang semestinya mampu menerjemahkan makna demokrasi sebagai sarana mewujudkan kesejahteraan bagi masyarakat.

Sebagai epilog, pertentangan wacana sistem pemilu tak berkaitan dengan kepentingan masyarakat dan hanya mewakili kepentingan partai politik. Sebab pemilu mestinya dijadikan sebagai sarana menjemput kesejahteraan dan keadilan, bukan sebagai tujuan.

Bahkan pertentangan sistem pemilu juga menjadi gambaran politisi yang memposisikan masyarakat seperti orang yang bodoh. Dijejali informasi yang berlimpah, dipaksa berpihak dalam wacana tanpa mengarusutamakan kepentingan masyarakat. Namun kondisi seperti ini membuat masyarakat khawatir terhimpit dalam pilihan politiknya dalam seteru sistem pemilu.