Big Mac Index

Setangkup Burger Big Mac Jadi Index Pergerakan Ekonomi Dunia, Bagaimana Cara Mengukurnya?

Pada perkembangannya, siapa sangka jika salah satu menu burger dari McDonald's pun menjelma alat ukur dari nilai mata uang suatu negara.

Hamburger sebagai alat ukur daya beli di dunia (Foto: Simplemost)

apahabar.com, JAKARTA - Sejarah bermula dari Suku Tartar dengan selapis roti yang diberi perasan jeruk, kemudian hidangan dari Asia Tengah itu dibawa hingga ke Hamburg.

Lantas bangsa Amerika pun memodifikasinya menjadi roti bulat nan gemuk dengan isian daging. Jadilah Hamburger sebagai santapan mendunia.

Saat ini, hamburger atau lazim disebut burger masuk dalam daftar menu favorit, bahkan Mc Donald's menjadi gerai khusus yang menyediakan varian menu burger.

Dan pada perkembangannya, siapa sangka jika salah satu menu burger dari McDonald's pun menjelma alat ukur dari nilai mata uang suatu negara.

Big Mac Index namanya, yang merupakan suatu pola ukur yang diterbitkan oleh majalah The Economist sebagai suatu cara informal untuk mengukur paritas daya beli (purchasing power parity – PPP) antara dua mata uang, dan memberikan ujian sejauh mana akibat nilai tukar (kurs) pasar terhadap barang dengan biaya sama meski di negara yang berbeda.

Tentu saja, indeks ini berusaha untuk membuat teori kurs sedikit lebih mudah untuk dicerna dengan mengambil namanya dari Big Mac, suatu produk hamburger yang dijual di restoran terkemuka yang nyaris ada di semua negara.

Jadi bisa disimpulkan kalau konsep ini bekerja berdasarkan hukum satu harga, sehingga jika terdapat perbedaan harga di dua negara yang berbeda seharusnya hal tersebut dapat menjadi gambaran nilai tukar nominal antara keduanya.

Pam Woodall, Burgernomics, dan Ilustrasi Ekonomi Semi-Humoris

Big Mac Index pertama kali diperkenalkan kemuka publik pada bulan September 1986 oleh Pam Woodall, yang diakuinya sebagai sebentuk ilustrasi semi-humoris, dan telah dipublikasikan oleh majalah The Economist setiap tahun sejak diluncurkan. Bahkan, indeks ini juga sampai melahirkan istilah burgernomics.

Nilai tukar paritas daya beli Big Mac antara dua negara ini diperoleh dengan cara membagi harga Big Mac di satu negara dalam mata uangnya, dengan harga Big Mac di negara lain dalam mata uangnya juga.

Perbandingan nilai tersebut kemudian dijabarkan dengan nilai tukar di pasar yang sesungguhnya.

Jika nilai itu lebih rendah, maka menurut teori PPP mata uang pertama bernilai di bawah nilai sesungguhnya (under-valued) bila dibandingkan dengan yang kedua.

Begitupun sebaliknya, jika nilai itu lebih tinggi, maka mata uang pertama bernilai di atas nilai sesungguhnya (over-valued).

Mengulik Big Mac Index di Indonesia

Contoh harga Burger Big Mac di Indonesia dijual dengan harga rata-rata sekitar Rp35.000 sehingga jika dikonversi ke US dollar, di mana nilai 1 USD masih sekitar Rp14.700 maka akan muncul angka 2.38 USD.

Sedangkan di Amerika harga rata-rata Big Mac sekitar 5.81 USD, sehingga nanti akan keluar angka 41%. Artinya harga harga Burger Big Mac di Indonesia lebih murah sekitar 41 persen dibandingkan di Amerika.

Atau dengan kata lain, jika kita membawa uang Rp35.000, kita belum bisa membeli satu Burger Big Mac di Amerika.

Jadi seperti itulah kurang lebihnya bagaimana Big Mac Index menjadi panduan sederhana untuk bisa menjadi alat ukur mengetahui kondisi daya beli dan sirkulasi ekonomi di suatu negara.

Namun sekali lagi, konsep ekonomi ini bukan tanpa kekurangan, karena banyak aspek yang tidak dimasukan ke dalam perhitungannya.

Burger Tidak Menggambarkan Ekonomi secara Menyeluruh

Di banyak negara, makan di restoran cepat saji internasional seperti di restoran Mc Donald’s adalah relatif lebih mahal bila dibandingkan dengan makan di restoran lokal, dan permintaan untuk Big Mac di negara seperti  India tidaklah sebesar di negara seperti di Amerika.

Adanya status sosial karena makan di restoran cepat saji seperti McDonald’s, pajak-pajak lokal, tingkat persaingan, dan bea masuk pada produk-produk tertentu menyebabkan indeks ini tidak dapat menggambarkan ekonomi suatu negara secara keseluruhan.

Di samping itu, tidak ada alasan teoretis mengapa barang dan jasa yang tidak dapat diperdagangkan, seperti biaya properti, harus sama di negara yang berbeda: ini adalah alasan teoretis PPP menjadi berbeda dari nilai tukar pasar seiring dengan berjalannya waktu.

Kendati demikian, setidaknya sampai sekarang Big Mac Index masih bisa diterima sebagai alat ukur paritas daya beli yang sederhana dan legit.