Pemilu 2024

Sering Meleset, Elite NasDem Pertanyakan Hasil Survei SMRC

Elite parpol dari Partai NasDem, mempertanyakan hasil survei yang baru saja dirilis oleh SMRC

ketua umum partai Nasdem, Surya Paloh di JCC, Senayan, Jakarta Pusat. (foto: apahabar.com/Bambang.S)

apahabar.com, JAKARTA - Wakil Ketua Umum Partai NasDem, Ahmad Ali mempertanyakan hasil survei terbaru lembaga survei SMRC yang menyebut NasDem tidak mendapatkan tiket ke Senayan pada Pemilu 2024 mendatang.

Ali menilai SMRC sudah dua kali memprediksi dua kali partai besutan Surya Paloh tidak lolos ke Senayan yang mempersyaratkan sebanyak 4 persen batas ambang parlemen (parliamentary threshold). Kenyataannya, Partai NasDem mendapatkan kursi di Senayan.

“NasDem sejak berdiri 2013 dua kali pemilu dua kali itu pula diramalkan dan kita dianggap tidak lolos parliamentary threshold namun ternyata kita dapat kursi juga,” kata Ahmad Ali, Senin (19/12).

Baca Juga: Survei SMRC: Elektabilitas Ganjar Pranowo Terus Meningkat Jadi Capres

Lebih lanjut politisi asal Sulawesi Tengah ini memaparkan jika selama ini hasil survei SMRC tidak pernah bagus ke NasDem. Ahmad Ali mencontohkan pada jelang Pemilu 2019, SMRC menyebut NasDem hanya akan mendapat 2,9 persen suara pada Pemilu 2019, namun pada kenyataannya NasDem mendapatkan 10 persen.

“Kalau SMRC semenjak kehadiran NasDem enggak pernah hasil surveinya itu bagus ke NasDem kan. Tahun 2019, 2,9 persen kita dikasih (hasil survei) sama dia (SMRC). Ternyata 10 persen,” sambungnya.

Baca Juga: SMRC Sebut Politik Akomodatif di Balik Duet Prabowo dan Muhaimin

Sejalan Dengan Ali, Sekjen Partai NasDem Johnny G Plate buka suara soal hasil survei SMRC baru-baru ini. Menurut Menkominfo ini, metodologi yang digunakan oleh SMRC tidak sesuai. Menurut Plate SMRC melakukan survei berbasis nasional sementara untuk pemilu legislatif basisnya adalah lokal berdasarkan daerah pemilihan (Dapil).

“Bagaimana kamu mau mengukur pemilu legislatif, capaian legislatif, hasil pemilu legislatif untuk di parlemen. Kalau kamu melakukan survei berbasis nasional, sedangkan Pemilu legislatif itu berbasis daerah pemilihan,” kata Plate di Hotel Hyatt, Jakarta Pusat, Selasa (20/12).

Karena itu, Plate menyarankan kepada SMRC jika ingin akurat maka survei yang dilakukan lembaga tersebut harus berbasis dapil, di mana terdapat 80 dapil di Indonesia.

“Dapilnya ada 80. Kalau mau akurat ya harus dia (survei) berbasis 80 dapil, bukan berbasis nasional,” lanjutnya.

Baca Juga: Ganjar Tak Jadi Capres, SMRC: Suara Dukungan ke Puan Tidak Otomatis Meningkat

Tidak hanya itu, Plate juga mengaku heran karena lembaga survei di Indonesia masing-masing hasilnya beda sementara metode yang mereka gunakan sama.

"Ini kok (lembaga survei) yang satu dengan yang lain jauh berbeda? Dengan jumlah responden dan margin of error serta metodologi yang hampir sama, kenapa hasilnya beda? Yang tahu adalah lembaga surveinya sendiri ya kan?,” tuturnya.

“Kadang- kadang senyum-senyum juga melihat hasilnya," imbuhnya.

Layak Dipertanyakan

Pengamat komunikasi politik Universitas Esa Unggul M. Jamiluddin Ritonga menyebut hasil survei SMRC memang layak dipertanyakan. Sebab, hasil survei dari beberapa lembaga survei yang kredibel, hasil SMRC lain sendiri.

Bagi Jamiluddin, untuk melihat hasil survei layak dipercaya atau tidak dapat dilihat dari dua hal. Pertama, instrumentasi atau alat ukur yang digunakan dalam survei. Kalau instrumennya valid dan reliabel, maka hasilnya layak dipercaya.

Terkait hal itu, lembaga survei tidak menjelaskan ke publik validitas dan reliabilitas instrumen yang digunakan. Karena itu, publik sulit untuk menilai keabsahan hasil penelitian yang dipublis.

Baca Juga: Survei Poltracking: Anies Unggul di Tiga Provinsi di Pulau Jawa

Dua, sampel yang diteliti haruslah representatif dan presisi tinggi. Hal ini juga tidak dijelaskan dengan gamblang ke publik. Karena itu, sulit memastikan apakah hasil survei yang dilakukan layak digeneralisasikan ke pemilih di Indonesia.

Hanya saja, pada umumnya survei di Indonesia menggunakan kisaran 1.200 sampel. Dengan sampel tersebut, hampir semua hasil survei digeneralisasikan. Namun kerap tidak dijelaskan generalisasi pada batas katakteristik apa saja.

"Karena dua hal itu tidak dijelaskan dengan gamblang, maka sulit untuk menerima hasil survei begitu saja. Apalagi untuk menerima generalisasi hasil survei tersebut," pungkasnya.