kebakaran hutan dan lahan

Selama 2001-2019, Kelalaian Manusia Penyebab Terjadinya Karhuhtla

Auriga Nusantara mengungkapkan selama dua dekade terakhir (2001-2019) kelalaian manusia berkontribusi besar dalam karhutla.

BMKG menemukan puluhan titik panas baru di Kalimantan Timur yang tersebar di beberapa kabupaten. Foto: Antara

apahabar.com, JAKARTA - Auriga Nusantara membeberkan selama dua dekade terakhir (2001-2019) kelalaian manusia berkontribusi besar dalam kebakaran hutan dan lahan (karhutla).

Sebagian besar titik panas berada di lahan gambut, terutama di Kalimantan Tengah, Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, dan Papua. Ini yang kemudian menyebabkan kebakaran semakin sulit dipadamkan. Api menjalar di perut gambut dan memicu bencana asap.

Ketua Auriga Nusantara Timer Manurung mengungkapkan, kesimpulan analisis terhadap titik panas atau hotspot sepanjang 20 tahun terakhir, cenderung berulang dan di lokasi yang sama secara administratif.

Titik panas tersebut cenderung meninggi pada bulan yang sama di kabupaten yang sama di 7 provinsi. Provinsi tersebut meliputi; Riau (proporsi hotspot 19%), Kalimantan Tengah (19%), Kalimantan Barat (13%), Sumatera Selatan (12%), Jambi (5%), Papua (5%), dan Kalimantan Selatan (4%).

Baca Juga: Dampak Karhutla, Ribuan Warga Banjarbaru Idap ISPA

Ditelisik lebih dalam, kata Timer, titik api berulang ternyata tidak hanya di dalam konsesi monokultur, tapi juga di kawasan konservasi. Data hotspot menunjukkan munculnya fenomena episentrum api baru di provinsi (masih) kaya hutan. Konsesi monokultur adalah konsesi yang ditanami oleh satu jenis tanaman saja.

"Seperti di Sulawesi Tengah, SulawesiTenggara, Kalimantan Utara,” ungkap Timer dalam keterangannya, Sabtu (26/8).

Infografis Sebaran Titik Api Tahun 2001- 2019 di 7 Provinsi di Indonesia. Sumber: Auriga

Lebih jauh, Timer mengungkapkan bahwa ketujuh provinsi tersebut adalah provinsi kaya gambut. Misal tahun 2019, salah satu tahun puncak kebakaran di Indonesia, hotspot di area gambut tertinggi terjadi di Sumatera, yakni di Jambi, Sumatera Selatan, dan Riau.

Tiga provinsi itu telah mencetak rekor titik panas tertinggi di lahan gambut dalam 20 tahun terakhir.

Sejalan dengan temuan tersebut, Pantau Gambut memaparkan dampak strategis dari kasus polusi udara dan karhutla di gambut yang meningkat secara konstan dalam beberapa bulan terakhir.

Baca Juga: Kualitas Udara Banjarbaru Masuk Kategori Tidak Sehat Akibat Karhutla

Sebagai gambaran, ujar Iola Abas, Koordinator Nasional Pantau Gambut, dalam rentang bulan Agustus, hingga tanggal 13 Agustus 2023, Pantau Gambut menemukan 4.175 hotspot pada area Kesatuan Hidrologi Gambut (KHG) yang tersebar pada 212 area KHG di 81 kabupaten/kota pada 18 provinsi. Tercatat pula adanya titik panas yang masuk ke dalam wilayah 27 konsesi korporasi.

Dalam beberapa tahun terakhir, pergerakan investasi pada industri ekstraktif dan monokultur skala besar terus bergeser dari Indonesia bagian barat ke arah Indonesia bagian timur, termasuk Papua.

"Hal itu menimbulkan konsekuensi pada peningkatan risiko bencana ekologi seperti karhutla maupun banjir. Apabila dilihat secara proporsi, Provinsi Papua Selatan menjadi provinsi dengan KHG yang memiliki kerentanan terbanyak dan Provinsi Kalimantan Tengah menjadi provinsi dengan kerentanan terluas,” terang Iola.

Iola berpendapat bahwa proyek strategis nasional lumbung pangan atau food estate juga menyumbang potensi kerentanan tinggi yang menyebabkan adanya hotspot penyebab karhutla.

Baca Juga: Karhutla 20 Hektare di Tanah Bumbu, Penyebab Masih Diselidiki

"Pembukaan lahan atau alih fungsi lahan gambut dari hutan menjadi lahan untuk penggunaan lainnya memungkinkan terjadinya karhutla," jelasnya.

Contohnya kerentanan di KHG di daerah Sungai Ifuleki Bian–Sungai Dalik di Provinsi Papua Selatan menjadi KHG dengan proporsi kerentanan karhutla terbesar.
Upaya restorasi lahan gambut seharusnya sudah dilakukan sejak 20 tahun yang lalu.

"Sayangnya, hingga kini ini pemerintah masih abai dengan restorasi lahan gambut yang serius dan hanya pernyataan secara seremonial saja. Untuk itulah, karhutla masih terus terjadi,” tegasnya.