peradaban islam

Sejarawan dan Ahli Bahasa Telisik Kembali Sejarah Peradaban Kerajaan Demak

Kota Demak punya sejarah panjang dengan Kerajaan Demak dan peradaban Islam.

Demak waktu dulu. (Foto: Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Demak)

apahabar.com, SEMARANG - Kota Demak mempunyai sejarah panjang dengan Kerajaan Demak dan peradaban Islamnya. Hal tersebut membuat sejarawan dan ahli bahasa berusaha menelisik dan menguraikannya kembali.

Penulis buku Sejarah Kerajaan Demak Bintoro, Ahmad Kastono Abdullah Hasan mengatakan dalam perjalanannya melakukan penelitian, ia telah menganalisa 35 naskah babad dan serat.

"Saya memfokuskan 35 naskah ini tentang nama Wali Songo yang dalam naskah babad disebut Wali Keramat,” imbuhnya dalam diskusi sejarah Kerajaan Demak di pondok pesantren Al-Itqon, Bugen, Kota Semarang belum lama ini.

Lebih lanjut, Kastono menyampaikan ada 35 naskah dan 2 diantaranya  literatur yang telah berusia lebih dari 60 tahun yang selama ini telah ia analisa.

Baca Juga: KH Chudlori dan Pondok API: Syiar Islam di Lereng Merbabu dan Pejuang Kemerdekaan



Kastono menyampaikan setidaknya ada tujuh metodologi yang ia pakai untuk memperkuat penelitiannya tentang sejarah Kerajaan Demak Bintoro dan Wali Songo.

Selain studi literatur dari babad dan serat, ia juga membaca serta menganalisa ratusan buku yang mengulik tentang sejarah Wali Songo.

“Dari literatur 192 buku ternyata Dewan Wali Songo berjumlah 3, yakni periode  Wali Songo berjumlah 1 sampai 5, periode Wali Songo berjumlah 8 dan tidak berperiode,” tutur sosok yang akrab dipanggil AKA Hasan ini.

Selain menggunakan metodologi literatur yang umum dipakai untuk penelitian, uniknya AKA Hasan juga memakai sebuah metode  yang tidak lazim di dunia akademisi, yaitu dengan metode Realisme Metafisika.

AKA Hasan dalam penelitiannya mencoba membongkar kembali data seperti sepak terjang Wali Songo dan keberadaan Masjid Agung Demak itu sendiri yang harusnya berada di tengah alun-alun kota yang sering juga disebut kota Wali itu.

"Letak yang sekarang sebenarnya di atas tanah kuburan para wali dan santri Glagah Wangi, digeser gara-gara kepentingan Kolonial membangun jalan raya Daendels waktu itu," ujarnya.

Sementara itu, Dosen dan Filologi UNS Solo, Rendra Agusta mengungkapkan bahwa pentingnya memahami jenis sejarah dalam konteks secara akademis.

Rendra mencontohkan dalam studi sejarah paling tidak ada empat tahapan atau jenis sejarahnya sendiri.

“Pertama, sejarah lisan. Sejarah lisan dapat diterima atau sahih ketika hidup sezaman. Kedua, namun kalau tidak sezaman disebut sebagai sejarah kronik seperti babad. Sedangkan jenis ketiga yakni sejarah kritis, sejarah yang ini dibenturkan banyak data,” ujarnya.

Ia sendiri mempertanyakan kenapa babad itu sendiri tidaklah begitu sahih. Sebab, jelas Rendra, karena sedikitnya studi mengenai sejarah dari Wali Songo yang ditulis pada abad 17 dan 18 atau 19.

Baca Juga: Film Lafran, Kisah Pendiri dan Pejuang Himpunan Mahasiswa Islam (HMI)

“Kalau kita memakai hitung-hitungan tahun, Wali Songo abad ke 16 awal, dengan naskah babad ada selisih 300 tahun. Bagaimana jarak 300 tahun untuk membuktikan sejarah tersebut, maka di kampus itu berhenti ketika data itu tidak bunyi,” jelasnya.

Namun demikian, Rendra tidak menutup kemungkinan akan melakukan penelitian-penelitian selanjutnya.

“Saya tidak memaksa naskah itu harus sahih. Semua yang sifatnya organik bisa diuji, di lapangan misalnya kertas itu bisa diuji," pungkasnya.