Nasional

Sejarah Mayor Muller, Utusan Belanda yang Lenyap di Belantara Kalimantan

apahabar.com, BANJARMASIN – Pegunungan Muller merupakan kawasan hutan hujan tropis yang kaya akan keanekaragaman hayati. Bagaimana…

Pegunungan Muller. Foto-istimewa

apahabar.com, BANJARMASIN – Pegunungan Muller merupakan kawasan hutan hujan tropis yang kaya akan keanekaragaman hayati. Bagaimana sejarahnya?

Keberadaan Penggunungan Muller, penting untuk kelestarian tiga sungai besar di Kalimantan; Sungai Barito, Sungai Kapuas, dan Sungai Mahakam.

Pegunungan ini memiliki tiga puncak tertinggi, yang rerata 1.525-2.240 meter di atas permukaan laut. Pegunungan ini membentang seluas 860 ribu hektare, merupakan wilayah Suku Dayak Ot Danum.

Dilansir Wikipedia, nama pegunungan di batas Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur rupanya diambil dari nama seorang komandan perang Belanda yang tewas di jeram Bakang – Sungai Bungan.

Baca Juga:Istri Ustaz Maulana Meninggal

Penjelajah Belanda, Anton Willem Niewenhuis, dalam artikel milik Historia, adalah orang yang pertama kali menamai pegunungan itu dengan nama Muller pada 1894.

Muller yang dimaksud ialah Georg Muller, seorang perwira Zeni Tentara Kerajaan Hindia Belanda (KNIL) berpangkat mayor.

Pria kelahiran Mainz ini diikutkan dalam pasukan Napoleon Bonaparte kala Prancis menyerbu Rusia. Ketika Napoleon kalah, dia pergi ke Hindia Belanda pada 1817 untuk bergabung dengan KNIL.

Muller pernah terlibat dalam penyerangan Belanda ke Kesultanan Sambas pada 1818, dan sempat diangkat sebagai acting residen di sana.

Baca Juga:Dirjen Otda: Kaltim Masuk Zona Kondusif Tahun Politik

Sempat bekerja sebagai petugas inspeksi pala di Banda Neira, Maluku, pada 1820, dua tahun kemudian dia kembali ke Kalimantan Barat sebelum terpilih untuk mewakili Belanda ke Kesultanan Kutai Kertanegara.

Selang 5 tahun kemudian atau setelah meneken perjanjian dengan Kesultanan Kutai Kertanegara, Salahudin, utusan pemerintah Belanda ini lenyap di Kalimantan. Dari sanalah Anton mengabadikan namanya menjadi nama gunung

Perjanjian, untuk mengontrol arus perdagangan di sepanjang sungai Mahakam, Belanda bermaksud meneken kontrak politik dengan sultan Kutai, Salahuddin. Muller diutus beserta 20 prajurit Jawa lainnya, ke Kutai pada 8 Agustus 1825.

"Ditetapkan bahwa perjanjian perdamaian mengharuskan Belanda untuk memberi perlindungan kepada Kutai dan menyediakan upah tahunan sebesar 8000 gulden untuk kesultanan sebagai syarat persetujuan," tulis Burhan Djabier Magenda dalam East Kalimantan: The Decline of a Commercial Aristocracy, seperti dilansir Historia.

Misteri Lenyapnya Muller

Usia meneken perjanjian, Muller berambisi menelusuri pedalaman Kalimantan -dari Kutai di timur menuju Sambas atau Pontianak di barat. Tujuannya, untuk mengeksplorasi alam Kalimantan yang disebut para penjelajah Belanda sebagai terra incognita atau "wilayah tak diketahui."

"Meski sultan enggan mengizinkan Muller masuk lebih jauh ke dalam wilayah kekuasaannya, dia tetap pergi ke Mahakam dengan pasukan Jawanya. Hanya satu dari rombongan itu yang berhasil dengan selamat di pantai Barat," tulis Bernard Sellato dalam Innermost Borneo: Studies in Dayak Cultures dilansir Historia.

Muller dan pasukannya diyakini dibunuh oleh suku Dayak di hulu Kapuas. Hal ini kemudian dibenarkan oleh John Dalton, petualang Inggris yang mengunjungi tempat kejadian perkara tiga tahun kemudian dan menemukan benda-benda peninggalan Muller dan timnya, seperti tertera dalam artikel seabad peringatan hilangnya Muller (20 Januari 1826-20 Januari 1926) oleh De Indische Courant.

Baca Juga:Proyek Kilang Minyak Pertamina, Gubernur: Tenaga Lokal Tanpa Tes

Kesimpulan itu diragukan dan ada kecurigaan keterlibatan sultan, seperti diungkap artikel "Massacre of Major Mullen and His Party," Singapore Chronicle, Mei 1831, termuat dalam Notices of the Indian Archipelago and Adjacent Countries suntingan J.H. Moor.

Artikel itu menyebutkan bahwa ternyata Muller meneken perjanjian bukan dengan sultan, melainkan syahbandar bernama Saib Abdullah. Saib mengaku bernegosiasi di bawah ancaman Muller; atau justru Muller yang ditipu oleh sang syahbandar.

Skenario manapun membuat sultan tidak senang karena harus menyerahkan kekuasaannya kepada Belanda, dan satu-satunya cara membatalkan perjanjian itu dengan cara melenyapkan Muller.

"Akan tetapi ada beberapa orang yang mau memberikan informasi sesungguhnya apabila mereka dijamin keselamatannya. Salah satunya budak sultan, seorang Jawa, bernama Seredin, yang menyebut sang syahbandar sebagai otak dibalik peristiwa tersebut," tulis artikel tersebut.

Entah mana yang benar, faktanya Muller dan timnya lenyap, dan tak ada konfirmasi resmi soal siapa yang bertanggungjawab. Setidaknya sampai 1950-an, orang-orang Belanda masih terus menggali kebenaran misteri lenyapnya Muller.

Baca Juga:Persekusi Nelayan Versi Sandiaga, Polisi: Aneh Disebut Kriminal

Editor: Fariz Fadhillah