Mapenduma 1996

Sejarah Mapenduma 1996, Aksi Penyanderaan Besar di Papua

8 Januari 1996, Organisasi Papua Merdeka melakukan penyanderaan di Mapenduma. Selama 129 hari orang-orang tak bersalah jadi korban.

Penyanderaan Mapenduma 1996. Foto: Garuda Militer

apahabar.com, JAKARTA – 8 Januari 1996, Organisasi Papua Merdeka melakukan penyanderaan di Mapenduma. Selama 129 hari, oang-orang tak bersalah jadi korban.

Masa itu OPM di bawah pimpinan Kelly Kwalik,  melakukan penyanderaan di Mapenduma. Terhitung ada 26 orang dari desa Mapenduma, Kecamatan Tiom, Kabupaten Jayawijaya, Irian Jaya yang menjadi korban sandera, termasuk Tim Ekspedisi Penelitian Flora dan Fauna, yang dikenal sebagai Lorentz 95.

Tim Lorentz 95 terdiri dari 11 orang, antara lain adalah 4 warga negara Inggris, yaitu Daniel Start (22), Anna Mclvor (21), Annette van der Kolk (22), dan William ‘Bill’ Oates (23).

Sedangkan untuk tim dari Indonesia terdiri dari Navy Panekanan (28), Adinda Arimbis Saraswati (25), Jualita Tanasale (30) dan Matheis Y. Lasamalu (30). Perjalanan mereka juga dibantu oleh antropolog Markus Warip (36) dari Universitas Cendrawasih dan Abraham Wanggai (36) dari Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) di wilayah kehutanan Irian Jaya. Kepala suku Nduga, Jacobus Wandika juga menjadi korban sandera.

Kabar penyanderaan  terkuak ketika ada sebuah laporan masuk ke Kodim Jayawijaya yang menyampaikan informasi tentang penyanderaan terhadap ekspedisi Lorentz 95, yang dikirim oleh Aviation Fellowship Wamena. 

Setelah mendapat laporan tersebut, Kodim Jayawijaya kemudian melapor kepada Kodam Trikora. Keadaan saat itu sangat membahayakan karena ada seorang bayi berusia enam bulan dari rombongan yang disandera. 

Baca Juga: Kapolda Papua Ngaku Pembebasan Sandera Dari Tangan KKB Terus Berproses

Pengiriman Pasukan Gabungan

Merespon laporan tersebut, Kodam Trikora mengirimkan pasukan gabungan ke lokasi, disusul dengan pasukan Kopassus. Pada 13 Januari 1996, sembilan tahanan berhasil dibebaskan di Desa Jigi. Mereka adalah empat karyawan puskesmas, dua guru sekolah dasar, dan tiga aparat desa.

Di hari yang sama, komunikasi pun dibuka oleh para penyandera. Komunikasi itu dilakukan melalui radio komunikasi lapangan (SSB). Pihak OPM ingin melakukan komunikasi dengan tokoh agama yaitu Uskup Munninghoff dari Keuskupan Jayapura.

Memenuhi permintaan tersebut, Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI), kini TNI,  mengirimkan tiga tokoh agama yaitu Paul Bourkat yang merupakan Ketua Misionaris serta dua anggotanya, Uhuwanus Gobay dan Andreas van der Boel. Pasokan obat-obatan juga dikirimkan.

Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat -Organisasi Papua Merdeka (TPNPB-OPM).




Berhasil melakukan mediasi dengan tokoh agama, satu orang asal Jerman yaitu Frank Momberg selaku anggota WWF dibebaskan, tujuan pembebasan Frank dilakukan dengan sengaja karena ia akan menjadi penyambung lidah terhadap aksi ini. Kemudian, seorang wanita yang sedang hamil, Martha Klein yang merupakan anggota UNESCO juga dibebaskan.

Hari demi hari, beberapa sandera berhasil bebas. Salah satunya adalah Ola Yakobus Mindipa dengan bayinya. Ola merupakan istri dari Jakobus yang menjadi pendamping para peneliti. Lewat hal ini, OPM menginginkan pasokan makanan dan obat-obatan.

Upaya komunikasi dan negoisasi berjalan perlahan, ABRI tetap mempertahankan upaya persuasif. Mereka mengirimkan stok seperti selimut, mie instan, bahkan rokok. 

Baca Juga: Kapolda Papua Harap Egianus Beritikad Baik Bebaskan Pilot Susi Air

PBB Memberi Atensi

Pada 19 Januari 1996, PBB memberikan atensi. Boutros Ghali selaku Sekjen PBB saat itu meminta agar seluruh sandera dibebaskan, kemudian, pasukan ABRI kembali mengirim anggota Keuskupan Paul Bourkat dan Andrian van der Boel untuk melanjutkan mediasi.

Mediasi yang dilakukan Paul dan Andrian berjalan baik. Mereka berbicara dengan Daniel Kogoya yang merupakan komandan operasi bawahan Kelly Kwalik. Tepat pukul 20.00 waktu setempat, ABRI mengonfirmasi rencana pembebasan para sandera dengan damai melalui perantara. Saat itu, para WNA yang menjadi korban sandera berhasil mengirim surat kepada kedutaan besar masing-masing. Konon, Frank Momberg yang mengirimkan surat tersebut.

Surat tersebut memuat permintaan sandera kepada ABRI untuk tidak gegabah. Surat-surat tersebut juga telah direspon oleh pemerintahan Inggris, Jerman dan Belanda untuk melakukan upaya pembebasan warga negara mereka. Di saat yang bersamaan, kantor berita Reuters mengungkap ada tiga detektif asal Scotland Yard yang mengintai di Irian Jaya. Pihak keamanan RI mengatakan  tidak tahu terkait detektif tersebut, namun,  Indonesia memberi lampu hijau jika mereka ingin berpartisipasi, namun harus menghormati Indonesia.

Situasi mulai genting ketika OPM memutus hubungan dengan angkatan bersenjata pada 25 Januari 1996. Lokasi penyanderaan juga telah berubah, dari Mapenduma ke Geselama. Pada 7 Februari 1996, mediasi mulai menemukan titik terang ketika Komite Palang Merah Internasional (ICRC) mengulurkan bantuan untuk upaya pembebasan para korban. ICRC berhasil melakukan pertemuan dengan Kwalik dan Kogoya. 

Ilustrasi. Foto-Net




Dalam mediasi tersebut, ICRC meminta pembebasan para korban bisa dilakukan dengan damai pada 25 Februari 1996, namun Kogoya menolaknya, dengan alasan harus ada izin dari pimpinan OPM di Papua Nugini.

Tidak menyerah begitu saja, ICRC terus melakukan langkah secara perlahan. Berbagai cara terus diupayakan. Saat itu, Kogoya sempat menitipkan sebuah roll film yang memuat foto-foto para sandera, dan pihak OPM juga meminta kepada pihak-pihak terkait para korban bisa hadir dan mengabadikan hal tersebut menjadi sebuah video.

Upaya mediasi yang dilakukan mulai terasa sulit ketika, pada 26 Februari 1996, para sandera dikabarkan telah dipindah ke sebuah ‘gua kelelawar.' Gua tersebut letaknya berada di ketinggian tujuh meter dan hanya bisa diakses dengan anak tangga sempit.

Tiga hari kemudian, 29 Februari 1996, ICRC kembali menemui para korban di sebuah gubuk di Desa Geselama. Dalam pertemuan ini, Kogoya menyampaikan pesan lewat Tim Satgas bahwa pihak OPM mungkin akan mempertimbangkan terkait pembebasan setelah mendapat izin dari pimpinan OPM di Papua Nugini. Namun, harapan bebas sirna ketika beberapa hari kemudian, Kwalik dan Kogoya membeberkan informasi bahwa mereka tidak akan membebaskan para sandera, kecuali jika pemerintah Indonesia mengakui kemerdekaan Republik Papua Barat.

Pada 16 Maret 1996, Abraham Wanggai yang merupakan sandera dibebaskan. Satu bulan setelah Abraham dibebaskan, tepatnya pada 15 April 1996, Letda Sanurip yang saat itu bertugas dalam operasi pembebasan sandera melakukan aksi tak terukur. Ia menembaki 16 orang, yang terdiri dari tiga perwira Kopassus, delapan pasukan Kostrad dan lima warga sipil.

Aksi tanpa sasaran jelas tersebut dilakukan Letda Sanurip secara membabi buta. Konon, Sanurip melakukan aksi tersebut karena dirinya terjangkit malaria, mengalami stress hingga sakit hati pribadi ketika namanya tidak kembali dilibatkan. Tidak lama kemudian, Sanurip ditemukan bunuh diri di sel.

Paus Johannes Paulus II Turun Tangan

Masuk ke bulan baru, pada 4 Maret 1996, pemimpin dewan revolusi OPM yaitu Moses Weror menjelaskan bahwa pemimpin umat Katolik sedunia yaitu Paus Johanes Paulus II mengirimkan surat berisikan keinginannya agar pembebasan para sandera segera dilakukan. Keesok harinya, Moses menyampaikan ingin bernegosiasi dengan pemerintah. Ia ingin Megawati Soekarnoputri, Menteri Luar Negeri Ali Alatas serta Ketua MPR/DPR hadir dalam negosiasi tersebut.

Moses mengatakan batas maksimal pembebasan adalah bulan September 1996, bersamaan dengan Sidang Majelis Umum PBB. Kemudian, pertemuan yang berjalan selama dua hari dengan ICRC di Port Moresby, Papua Nugini, Moses memberi perintah untuk Kwalik dan Kogoya untuk membebaskan para korban karena menurut Moses, penyanderaan ini sudah berjalan lama dan mereka sudah berhasil meyita perhatian dunia. Moses juga setuju karena ICRC berjanji untuk membuka perwakilan di Irian Jaya.

Masalah baru datang. Simon Allom selaku juru bicara Kwalik dan Kogoya menolak mentah-mentah perintah Moses. Bahkan, mereka tidak segan untuk membunuh para sandera jika ada tuntutan berlebih dan ketika negosiasi dengan OPM tidak dipenuhi.

Pada Mei 1996, akhirnya ICRC tidak melanjutkan negosiasi. Saat hendak meninggalkan lokasi, satu helikopter yang mengawal tim ICRC ditemukan telah jatuh karena mengalami kerusakan pada mesin, semua awak penumpangnya meninggal.

Tindakan Tegas Bebaskan Sandera

Setelah berbulan-bulan menghadapi situasi yang tidak pasti, pemerintah Indonesia segera melakukan tindakan tegas. Dibarengi dengan izin otoritas dari Jerman, Inggris dan Belanda yang terlibat dalam negosiasi, mereka mengirimkan delapan helikopter jenis Bolco 105 dan Bell 412 milik dinas penerbangan AD.

Dibawah pimpinan Prabowo Subianto selaku Komandan Kopassus, ia memimpin pasukan pemukul baret merah. Sempat gagal dalam operasi pertama, mereka tak menyerah dalam mempertajam pantauan. Kemudian, mereka berhasil menemukan lokasi para penyandera dengan bantuan pesawat tanpa awak RPVs yang disewa dari Singapura.

Setelah 129 hari penyanderaan terhadap para korban akhirnya berakhir. Satu unit dari Sembilan anggota Kopassus berhasil menjebak para anggota OPM. Kopassus berhasil menyelamatkan sembilan dari sebelas sandera. Sayangnya, dua sandera asal Indonesia yaitu Navy Panekenan dan Yosias Mathias Lasamuhu tewas dibacok oleh OPM sebelum mereka berhasil diselamatkan. Kopassus juga memburu penyandera. Delapan orang yang tewas dalam pertempuran jarak dekat dan dua orang lainnya ditahan.

Dalam operasi ini, terdapat lima tentara yang gugur ketika helikopter jatuh saat penyerangan. Operasi yang melibatkan kesatuan Marinir, Batalion 330 Kostrad dan Batalion Organik Kodam VIII Trikora ini berhasil. Mereka siap siaga berdiri di setiap titik yang ditentukan oleh geolog Wanardi yaitu Tedy Kardin. Berjumlah 400 personel gabungan, operasi ini melibatkan banyak kesatuan yang kuat.