Cerpen

Sehimpun Makna dalam Satu Cerita tentang Ayah

Dalam edisi spesial Hari Ayah Nasional, Tim Redaksi memiliki sebuah cerita pendek yang mengisahkan sosok ayah yang penuh dedikasi dan insipirasi.

Ilustrasi ayah dan anak perempuannya (Foto: dok.Klikdokter)

apahabar.com, JAKARTA- Sosok ayah memiliki ruang dan peran tersendiri bagi siapa saja. Ada beragam cerita yang membingkai untuk mengemas ingatan atau sekadar ucapan terima kasih kepadanya. 

Untuk itu, dalam edisi spesial Hari Ayah Nasional, Tim Redaksi memiliki sebuah cerita fiksi yang mengisahkan sosok ayah yang penuh dedikasi dan insipirasi berikut ini:

Cerpen: Ciku

Masih berkabut dan aku harus bangun menyiapkan segala sesuatu. Saat dia melihat, dia pasti sudah paham kalau semua telah siap. Dia akan, atau harus, terbangun sebelum mentari, adakalanya masih dengan terkantuk-kantuk, tapi dia akan memuji. Entah dengan ekspresi apa, dia seakan hapal rutinitas ini, pukul delapan aku akan mengantarnya ke jasa penitipan anak, yang tak jauh dari kantorku.

Sejak awal kehadirannya, maksudku, setelah keadaan tiba-tiba bertolak dari rencana. Mana pernah aku merencanakan semua ini? Bahkan membayangkannya saja tidak. Aku dituntut menyertakan rasa tabah setiap menyaksikannya tumbuh sejak bayi hingga sekarang. Rasa tabah yang bermetamorfosis jadi rasa bangga. Karena melihatnya tumbuh di sisiku sebagai malaikat hidupku yang nyata.

Ketika kurunutkan kisah ini, maka akan lebih sering kusebut namanya, nama seorang  perempuan yang tinggal bersamaku, perempuan tercantik yang diciptakan Tuhan untukku. Menemani hari-hari, menemani bulan-bulanku, menemani tahun-tahunku, sarapanku, bermainku, lelahku, bahkan liburanku.

Zivanna Dean Lunara, alias Ciku. Aku memanggilnya begitu, sebagai akronim dari CintaKu yang terdengar hangat dan hemat. Ciku punya sepasang mata dan senyuman serupa ibunya.

Senyuman yang kerap mengembalikan kenangan saat pertama kali menyatakan cinta kepadanya, sebuah senyuman yang membuatku mengharu biru karena terhubung dengan dunia lalu yang memisahkan ingatanku dengan kekinian. Senyuman itu juga yang selalu membangunkanku lebih awal dan menidurkanku lebih akhir.

Ciku bukan sumber ketepurukanku. Ciku adalah juru arah yang membuatku memiliki tujuan hidup. Ya, tujuan yang mengharuskanku bertahan.

Pukul 16:00.

Hujan deras. Genangan air membuat jalanan agak macet. Aku terlambat menjemput Ciku di penitipan. Hari ini kami ada agenda periksa gigi ke dokter. Gigi Ciku tergerus lemak susu yang mengendap di lapisan enamelnya. Itu salah satu dari sekian kelalaianku, karena tak membersihkan giginya setelah dot pengantar tidurnya tandas, sebab wajah lelapnya adalah kemerdekaanku.

Lelapnya bisa menjadi waktu emas untukku, walau hanya beberapa saat menikmati film di ruang tengah atau sekadar mengisap sebatang dua batang rokok di teras sambil menatap malam, sebelum akhirnya rasa lelah memanggilku masuk lantas terlelap di sebelah Ciku.

Di lain hari, Ciku tiba-tiba demam, maka untuk kesekian kalinya aku merintih gamang sendirian. Ingin menjerit sekerasnya, tapi bukan di hadapan Ciku. Ciku butuh diriku yang tegar dan bisa diandalkan. Jadilah aku menggendongnya semalam suntuk sambil menelepon keluarga atau siapa saja untuk diajak bertukar pengalaman.

Tetangga dekat pun datang untuk memastikan bahwa kami baik-baik saja, ketika suara tangis Ciku tak henti semalam suntuk. Rupanya Ciku hanya influenza dan tak perlu ke rumah sakit.  Suhu badan yang naik adalah gejala pengiring yang bisa diatasi dengan penanganan yang tepat, meski hanya di rumah.

Aku bernapas lega, sembari mengompres kepalanya, meminumkannya obat, lalu menidurkannya dengan sederet lagu pengantar tidur yang bisa kusuarakan dengan nada ala kadarnya.

Saat Ciku belajar bicara, kata pertama yang dilafaznya adalah ‘ayah’. Aku terharu. Melengos ke cermin dan kudapati wajahku di sana, wajah seorang ayah yang ditinggal mati istrinya. Wajah seorang ayah yang terampil memasak, mengganti popok, mencuci pakaian, mendongeng, menyanyi nina bobo,yang terbangun dengan celana bau pesing terkena ompol, yang punya jadwal imunisasi di kalendernya, yang belajar untuk mengerti kesesuaian warna baju dengan jepitan rambut. Akulah ayahnya Ciku.

Tidakkah kau melihatku dari atas sana?

Akulah suami yang kau tinggalkan tanpa persiapan sama sekali, akulah suami yang menyaksikan jasad istrinya yang terkubur bersama pengetahuan yang disiapkannya untuk anak kami, akulah duda yang tak punya banyak pilihan menghabiskan malam Minggu selain ke wahana permainan anak atau membaca buku panduan mengasuh anak, akulah lelaki yang kerap tertidur di atas meja kerja dan terbangun oleh jerit alarm dini hari.

Dan di sinilah diriku kau tinggalkan, istriku. Di tempatku berdiri menuang susu formula. Berdiri menjumlahkan kepahitan yang dikikis perlahan oleh penerimaanku akan kenyataan.

“Ayah, buatkan aku puisi tentang ibu.” Ciku sudah sekolah.

“Untuk apa?” O Tuhan, bagaimana aku menghadapi tuntutan ini ....

“Disuruh Guru, untuk dibacakan di Hari Ibu nanti. Puisi itu apa, sih, Ayah?” Lagi. Pertanyaan yang tak kalah membingungkanku.

“Puisi itu,  puisi itu ... eh, puisi itu cinta. Ya, puisi adalah cinta.” Kutemukan jawaban begitu saja. Sebab tak pernah ada yang keliru dengan kata itu. Cinta mampu mengisi padanan kata yang tak bermakna sekalipun. Ah, seiring waktu, Ciku akan paham mengapa aku memberinya jawaban itu.

“Ayah ...,” gumamnya pelan.

“Ada apa, Sayang?”

“Aku puisi Ayah!” ucapnya dengan mata berbinar.

“Ayah juga puisi Ciku,” suaraku nyaris tak terdengar, hanya telingaku yang jelas mendengar. Telaga di tepi mata kutahan sambil menatapnya yang tersenyum.

“Aku akan buat puisi tentang Ayah saja, karena Ayahlah puisiku.” Ciku berlari mengambil kertas di kamarnya. Kupunguti krayon yang berserakan di lantai sambil kurogoh kekuatanku untuk tidak menangis.

Pukul 12:30

Telepon berdering, di seberang ada suara Ciku yang menanyakan kabarku, kerjaanku di kantor, menu makan siangku dan bagaimana cuaca di kotaku. Sampai pada satu pertanyaannya yang membuatku termangu.

 “Menurut Ayah, apa itu cinta?”

Aku tahu ini bukan pertanyaan biasa dari seorang anak perempuan 21 tahun. Sejenak pikiranku menyeberangi waktu, sekadar mengingat bahwa betapa pun berlimpahnya Ciku kucintai, ia telah tumbuh dengan pengasuhan yang tak lengkap. Jika saja Ciku bisa bertanya hal ini pada ibunya.

“Hallo, Ayah masih di situ?” Kembali pertanyaan menyentakku. Ciku anakku yang sudah kuliah semester akhir di luar kota itu adalah anak yang cerdas. Namun kecerdasan tak selalu relevan jika menyangkut cinta dan ukuran pemaknaannya.

“Ya, Ciku. Ayah mendengarkan.” Kutengok persediaan kosa kataku. Tak bisakah kujawab saja bahwa cinta adalah puisi. Barangkali Ciku akan tertawa dan selamanya terhenti pada masa kanak-kanak. Aku tak pernah mampu mengartikan cinta, aku hanya bisa menunjukkan sikap dan komitmen mengenai cinta yang kupahami.

“Jawablah, Ayah. Aku hanya ingin pengertian cinta menurut Ayah. Aku ingin suatu saat berjodoh dengan laki-laki dengan prinsip mencintai seperti Ayah. Jadi, kalau jawaban dia kurang lebih sama dengan jawaban Ayah, aku akan menerima lelaki itu menjadi pasanganku.” Kata-kata Ciku semakin membuatku terdiam.

“Ciku sudah mengerti bagaimana cara Ayah memaknai cinta, sampai kenapa Ayah memilih tetap sendiri. Sebab sepeninggal ibumu, Ayah hanya bisa mencintai seorang perempuan yang membuat hidup Ayah tak terasa sendirian.”

 “Siapa perempuan itu?”

 “Ciku.”

“Terima kasih, Ayah,” serak suara Ciku. Lalu kutangkap hening dan isak di seberang sana. Mataku menerawang ke sisi meja. Sebingkai foto Ciku kecil tersenyum dengan giginya yang masih ompong. Oh, Ciku anakku yang cantik itu kini sudah menjelma perempuan dewasa dengan segenap pesona, hingga banyak hal bisa jatuh cinta kepadanya. Sulit mengira satu ketika aku akan melepas Ciku mengarungi bahtera cintanya.

“Bagaimana dengan kuliahmu?” Kuisi keheningan dengan pertanyaan. Dan Ciku menerangkan penuh semangat tentang penelitian tugas akhir yang dengan gigih diselesaikannya.  Agar bisa wisuda tepat waktu, janjinya. Pukul 09.00.

Langit cerah. Keluarga, kerabat, kolega, dan para undangan menyimak khidmat.

“Ayah melepasmu, Ciku. Cintailah suamimu dengan caramu sendiri, jadikan rumah tanggamu sumber cinta yang tak pernah surut, tempatmu menempa diri memaknai pengabdian hidup. Semua akan baik-baik saja. Ayah akan rajin mengunjungimu.” Pada setiap kata yang yang kuucapkan, sejatinya ada bermiliar rasa kehilangan yang kuajak berdamai.

“Ciku tidak akan pernah meninggalkan Ayah. Ayah adalah puisi Ciku yang paling indah di dunia.” Ciku pun bersimpuh dalam ritus sungkeman sebelum ijab-qabul. Mata Ciku menelaga. Aku melihat mata ibunya di dalam sana.

“Ciku juga puisi Ayah yang paling indah di jagat raya,” suaraku serak. Tak bisa lagi kubendung. Untuk pertama kalinya aku terisak sedu di hadapan Ciku. Seketika merindukan tubuh kecilnya yang menggigil demam, kecut keringatnya usai bermain sepeda, tangisan rewelnya saat sakit gigi, tarian tak karuannya mengiringi lagu Balonku Ada Lima, rajukannya di hari pertama masuk sekolah, semuanya.

Aku terisak mendapatinya yang telah bersimpuh meminta restuku untuk menjadi seorang istri dan kelak menjadi seorang ibu.

Bukankah dia adalah bayi merah yang kugendong keluar dari rumah sakit sementara ibunya baru saja kukuburkan. Bukankah dia adalah Zivanna Dean Lunara, nama yang sama dengan nama istriku, yang adalah ibunya. Bukankah dia perempuan yang membuatku bangga karena menjalani takdir sebagai ayahnya.

Ya. Dialah anakku, Ciku. Cintaku.

Deasy Tirayoh