Kalsel

Save Meratus, Ulama HST Mantap Haramkan Pertambangan Batu Bara

apahabar.com, BARABAI – Ulama menyepakati sudah saatnya membangun kesadaraan untuk menjaga kelestarian lingkungan. Caranya, dengan melindunginya…

TEKS: Kawasan Meratus kian terancam seiring rencana sejumlah perusahaan batu bara melakukan ekspansi pertambangan mereka. Foto: Istimewa

apahabar.com, BARABAI – Ulama menyepakati sudah saatnya membangun kesadaraan untuk menjaga kelestarian lingkungan. Caranya, dengan melindunginya dari ekspansi pertambangan batu bara dan perkebunan sawit baik di Kabupaten Hulu Sungai Tengah (HST) maupun di Kalimantan Selatan.

Baca Juga: Gaet Ulama dan Mahasiswa, Gaung Save Meratus Makin Kencang

Demikian pasca-Bahtsul Masail (Forum Diskusi) bertema Islam dan Lingkungan Hidup oleh Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LP2M) Universitas Islam Negeri (UIN) Antasari Banjarmasin, Majelis Ulama Indonesia (MUI) HST, dan Pemerintah Kabupaten HST, Jumat (28/6) kemarin.

Sebagai narasumber, Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Kalsel berkesempatan menyampaikan materi terkait pengrusakan ruang hidup rakyat oleh tambang batu bara, disertai analisis sosial dan spasial.

“Ada dua sifat kerusakan yang ditimbulkan oleh tambang batu bara; kerusakan langsung dan kerusakan tidak langsung. Sedangkan aspeknya adalah sosio-ekologi, sosial-ekonomi dan ekonomi politik,” papar Kepala Departemen Penggalangan Sumber Daya dan Pengembangan Program Walhi Kalsel, Rizqi Hidayat, kepada apahabar.com.

Dalam pemaparan tersebut terdapat fakta penyempitan ruang hidup. Seperti 33 persen wilayah Kalsel dibebani izin tambang, atau setara tujuh kali luas wilayah HST atau 124 kali luas wilayah kota Banjarmasin.

Sebagai contoh dampak, kata dia, pada Juni 2017 terjadi longsor tanah yang membatasi lubang tambang dan Sungai Kintap. Air sungai memenuhi lubang tambang seluas 12,27 hektar dalam waktu sekitar 1,5 jam.

Menurut warga lubang tambang memiliki kedalaman 40 meter, sehingga volume lubang tambang setara 4.920.000 meter kubik atau 4,92 milliar liter.

“Artinya air sungai yang mengalir ke lubang tambang dengan kecepatan 992.593 liter per detik. Longsor dan besarnya debit air yang mengalir menenggelamkan puluhan rumah dan perahu warga yang bertambat di Sungai Kintap,” terang Rizqi.

Contoh lain yang masih hangat di ingatan adalah banjir di Kabupaten Tanah Bumbu. Wilayah ini dengan izin tambang nomor dua terbanyak di Kalsel mengalami banjir dengan luasan terbesar.

Pusat Pengembangan Infrastruktur Data Spasial Universitas Lambung Mangkurat (PPISD ULM) menyebut genangan banjir di Tanbu mencapai 4.252 hektar.

“Menurut mereka perhitungan yang dilakukan dari ekstraksi citra satelit Sentinel 1 ini bisa saja under estimate, bisa jadi banjir di lapangan lebih luas dari perkiraan,” ungkap Rizqi.

Rusaknya ekosistem alami di daerah hulu yang berfungsi sebagai area tangkapan air (catchment area), menyebabkan kelebihan air di daerah hilir yang berujung pada banjir.

“Ada 814 lubang tambang milik 157 perusahaan tambang batu bara di Kalsel. Sebagian lubang berstatus tambang aktif, dan sebagian lagi telah ditinggalkan tanpa reklamasi,” jelas dia.

Baca Juga: 67 Titik di Pegunungan Meratus Ditetapkan Sebagai Geopark

Akademisi UIN Antasari, Wardani menambahkan dalam aspek teologi lingkungan. Kadang banyak yang salah memahami bahwa alam itu hanya sebagai objek. Kemudian memanfaatkannya secara berlebihan.

“Untuk itu penting adanya kajian tematik yang membahas lebih dalam dan komprehensif serta empiris tentang teologi lingkungan dalam Islam,” kata Wardani.

Sementara Bupati HST HA Chairansyah sang penjaga Meratus, menekankan Pemkab HST selalu berkomitmen untuk mengawal kelestarian lingkungan, dari cengkraman pertambangan batu bara dan perkebunan kelapa sawit.

Namun tidak untuk Kementerian ESDM yang menerbitkan SK Nomor 441.K/30/DJB/2017, tentang penyesuaian tahap kegiatan PKP2B PT. Mantimin Coal Mining (MCM) menjadi tahap kegiatan operasi produksi.

Gayung bersambut, Ketua MUI HST Wajihudin menanggapinya dengan rencana fatwa mengenai tambang.

“Saya berharap ulama yang hadir di acara ini dapat merekomendasikan agar dibuatnya fatwa yang mengharamkan pertambangan batu bara, tidak mesti Kalsel secara luas namun bisa saja dimulai dari HST,” tukasnya.

Harapan ini akan menghasilkan rekomendasi sebagai keluaran dari tema yang dibahas dan pandangan peserta, ulama, tokoh, serta narasumber yang hadir.

Bahkan dalam sesi tanya jawab setelah pemaparan narasumber, para ulama dan tokoh MUI berencana membuat fatwa haram pertambangan batu bara dan sawit di HST.

Dari catatan apahabar.com MUI Kalimantan Selatan siap turun tangan mendukung penyelamatan pegunungan Meratus. Sejak 2010 silam, MUI telah mengeluarkan fatwa tentang kegiatan pertambangan ramah lingkungan.

Jika demikian, apa yang direncanakan oleh MUI HST mengharamkan pertambangan batu bara sudah pasti bakal mendapat dukungan penuh dari MUI Provinsi.

MUI Kalsel sebelumnya setuju alih kelola area hutan menjadi kawasan tambang merupakan bagian dari perusakan lingkungan karena tak sesuai dengan ajaran Islam.

"MUI telah mengeluarkan tiga fatwa untuk mengharamkan perusakan lingkungan. Makanya MUI ikut mendukung gerakan Save Meratus," ujar Sekretaris MUI Kalsel, Fadli Mansoer kepada apahabar.com, beberapa waktu lalu.

Sebelumnya, permohonan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) terkait terbitnya Surat Keputusan Menteri ESDM Nomor 441.K/30/DJB/2017 tentang Penyesuaian Tahap Kegiatan PKP2B PT MCM menjadi Operasi Produksi di Kabupaten Balangan, Tabalong dan Hulu Sungai Tengah, Kalimantan Selatan kandas di Pengadilan Tata Usaha Negara atau PTUN.

Luasan izin tambang batu bara yang mengintai Meratus seluas 1.398,78 hektare (ha) dan berada di hutan sekunder, permukiman 51,60 ha, sawah 147,40 ha, dan sungai 63,12 ha.

Dari catatan Walhi, PT MCM telah menguasai lahan seluas 5.900 hektare. Bahkan izin di HST mereka berada tak jauh dari Bendung Batang Alai, yang masuk dalam proyek strategis nasional terkait ketahanan pangan.

"Itu akan melenyapkan hutan dan gunung kapur di Nateh, menghilangkan Desa Batu Tangga dan desa lainnya," jelas Direktur Eksekutif Walhi Kalsel Kisworo Dwi Cahyo, kepada apahabar.com.

Proses gugatan Walhi di pengadilan berlangsung sejak 28 Februari 2018. Walhi Kalsel dan Gerakan Penyelamat Bumi Murakata (Gembuk) beserta Pemkab HST kompak menggugat izin itu di PTUN Jakarta.

Lalu pada 4 April 2018-22 Oktober 2018, sidang digelar. Termasuk sidang di tempat (di Desa Nateh di Kabupaten Hulu Sungai Tengah) pada pada Juli 2018.

Anehnya, pada 22 Oktober 2018, PTUN mengeluarkan keputusan yang menyatakan gugatan terhadap izin pertambangan batu bara itu tak bisa diterima karena salah alamat.

Lalu pada 2 November 2018 Walhi mengajukan banding. Selama empat bulan proses banding berlangsung. Pada 14 Maret 2019 PTTUN Jakarta menguatkan putusan PTUN dengan menolak banding yang Walhi ajukan.

Sebelum keputusan yang menolak permohonan banding Walhi terjadi, berbagai upaya sudah dilakukan berbagai elemen masyarakat Kalsel untuk menyelamatkan Meratus.

Misalnya, menghidupkan Gerakan #SaveMeratus. Mereka yang tergabung dalam gerakan itu menulis surat secara serentak kepada Presiden. Isinya untuk ikut bersikap tegas dan terlibat dalam penyelamatan Pegunungan Meratus.

Hasilnya, lebih dari 1.000 surat meminta presiden turun tangan dan ikut menyelamatkan Pegunungan Meratus yang akhir Maret lalu dibawa ke Jakarta.

Ya, sampai sejauh ini penolakan banding oleh PTUN itu kian membuat Meratus dalam kondisi berbahaya.

Baca Juga: Pemprov Kalsel Segera Daftarkan Geopark Meratus ke Unesco

Reporter: Ahc11
Editor: Fariz Fadhillah