Bencana Hidrometeorologi

Satu Dekade Terakhir, Intensitas Bencana Hidrometeorologi Meningkat

Hasil monitoring BMKG dalam 40 tahun terakhir indikasikan curah hujan ekstrem di Indonesia mengalami kecenderungan peningkatan.

Satu dekade intensitas bencana hidrometeorologi terus meningkat, kebijakan mitigasi dan adaptasi yang inklusif sangat diperlukan untuk mengatasi dampak perubahan iklim. Foto: net/Ist

apahabar.com, JAKARTA – Hasil monitoring BMKG dalam 40 tahun terakhir mengindikasikan curah hujan ekstrem di Indonesia mengalami kecenderungan peningkatan, baik dalam hal frekuensi maupun intensitas (magnitude).

Tren itu mengakibatkan tingginya angka bencana hidrometeorologi yang didominasi oleh banjir, cuaca ekstrem, tanah longsor, kebakaran hutan dan lahan, serta kekeringan. Berbagai kejadian ini tak lepas dari akibat perubahan iklim.

Hasil kajian menggunakan data pemodelan proyeksi iklim oleh BMKG menunjukkan bahwa di masa depan akan terjadi peningkatan intensitas kebasahan di beberapa daerah, walaupun mungkin tidak merata.

Koordinator Bidang Analisis Variabilitas Iklim BMKG Supari dalam webinar ‘Darurat Bencana Hidrometeorologi: Komitmen Implementasi Kebijakan Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim' pada Rabu (8/2) mengatakan di lain sisi, durasi dry spell atau jumlah hari kering juga mengalami peningkatan sebesar 20%-30% dibandingkan pada periode referensi (1986-2005).

Baca Juga: Angin Kencang Rusak Tenda Pengungsian Korban Bencana Gempa Cianjur, 1 Orang Terluka

“Tidak seperti iklim dan cuaca yang sulit untuk diintervensi, lingkungan adalah sesuatu yang bisa kita kontrol. Oleh karena itu, BMKG mengadakan program literasi iklim kepada para masyarakat sebagai upaya untuk meningkatkan kepedulian terhadap perubahan iklim,” ungkap Supari.

Hal itu perlu dilakukan agar masyarakat memahami proses dan dampak perubahan iklim dan sedapat mungkin merubah pola hidup saat ini yang memicu peningkatan emisi.

Senada, Peneliti Klimatologi dan Oseanografi BRIN dan juga Penulis Utama Laporan Penilaian Keenam IPCC Intan Suci Nurhati menyampaikan keprihatinannya terhadap keadaan iklim global dengan merujuk kepada Laporan Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC) 2022.

“Perlu kita perhatikan bahwa perubahan iklim yang semakin intens akan berakibat pada penyerapan karbon di laut dan hutan menjadi kurang maksimal. Banyak yang belum menyadari bahwa kondisi laut yang memburuk juga mempengaruhi situasi cuaca di darat, yang mengakibatkan bencana hidrometeorologi sering terjadi,” ujar Intan.

Baca Juga: BRIN Prediksi Potensi Bencana, BPBD Kota Bekasi Siagakan Personel di Setiap Kecamatan

Selain itu, Intan juga mengungkapkan bahwa dalam Laporan IPCC, anomali hidrometeorologi yang terjadi di darat juga dipengaruhi dari fenomena dinamika laut.

"Salah satu contohnya adalah marine heatwave atau gelombang panas laut yang berimplikasi pada menghangatnya permukaan air laut, sehingga menyebabkan rusaknya organisme laut dan ekosistem darat," ujarnya.

Semantara itu, Kepala Bidang Komunikasi Kebencanaan BNPB Dodi Yuleova mengungkapkan bahwa data BNPB empat tahun ke belakang, sepanjang 2018 hingga 2022, korban meninggal dan mengungsi akibat bencana hidrometeorologi terus bertambah. Kerusakan rumah dan fasilitas penduduk telah mencapai kerugian hingga Rp 31,5 triliun.

“BNPB banyak menemukan tantangan dalam pelaksanaan tugasnya, salah satunya adalah cuaca yang mudah sekali berubah, seperti saat ini yang seharusnya sudah masuk musim kemarau tetapi beberapa daerah masih mengalami hujan dengan intensitas tinggi," katanya.

Baca Juga: MER-C akan Berangkatkan Tim Medis Bagi Korban Gempa di Turki

BNPB melakukan analisis atau kajian terhadap potensi ancaman bahaya dengan memanfaatkan data lintas kementerian/lembaga. Selanjutnya, memberikan arahan kepada BPBD tingkat kabupaten dan kota untuk upaya kesiapsiagaan setempat.

"Termasuk mengaktifkan Tim Reaksi Cepat (TRC) agar berkoordinasi dengan pusat, khususnya untuk daerah yang sangat rawan bencana hidrometeorologi," imbuhnya.

Dia menyarankan agar masyarakat membentuk tim siaga desa yang bertugas untuk pemantauan dan identifikasi berbekal pengetahuan kebencanaan, seperti membuat rencana operasi, membuat peta risiko desa dan keterampilan dalam respons darurat, dan memastikan kelancaran jalinan komunikasi ke BPBD kecamatan dan desa.

"Di tingkat keluarga, rencana kesiapsiagaan dapat berupa rute evakuasi, respon evakuasi, tas siaga bencana, kontak petugas, dan lainnya," ujar Dodi.

Baca Juga: Warning BNPB ke Pemda: Banjir Manado Jangan Terus Terulang

Ini membuktikan, gerakan untuk adaptasi dan mitigasi dalam menghadapi krisis iklim masih mengalami banyak tantangan karena belum adanya UU Perubahan Iklim yang bisa menjadi acuan dan payung kebijakan untuk aksi yang dilakukan untuk mencapai target yang ditetapkan.

Sementara itu, WALHI memandang perlu mendorong tanggung jawab pelaku usaha yang berkontribusi besar terhadap emisi CO2 yang memicu terjadinya krisis iklim yang telah menjadi bencana bagi masyarakat dunia.

Kepala Divisi Perlindungan dan Pengembangan WKR Eksekutif Walhi Uslaini Chaus mencontohkan tampaknya bagi masyarakat yang berada di pulau kecil seperti Kepulauan Seribu di Jakarta.

Gugatan bersama perwakilan masyarakat terdampak krisis iklim di Pulau Pari Kabupaten Kepulauan Seribu, satu diantaranya. "Gugatan iklim itu merupakan bagian dari upaya WALHI untuk membangun kesadaran publik tentang krisis iklim dan penting agar semua orang peduli dan ikut ambil bagian," ungkapnya.

Baca Juga: Deforestasi IKN Ancam Keselamatan, Walhi: Megaproyek Ini Harus Dibatalkan!

Meningkatnya kejadian bencana ekologis seperti banjir, tanah longsor, banjir bandang, abrasi pantai dan lainnya akibat kerusakan lingkungan dan krisis iklim juga perlu menjadi perhatian.

Pemerintah harus menghentikan proyek-proyek pembangunan dan investasi yang katanya sebagai solusi atas krisis iklim namun nyatanya semakin memperparah keadaan, salah satunya adalah proyek food estate yang memicu deforestasi dan alih fungsi lahan yang justru mengalami gagal tanam dan gagal panen karena ketidaksesuaian lahan dan komoditi yang dibudidayakan.

"Hal ini bukannya meningkatkan upaya mitigasi dan adaptasi tapi justru berkontribusi pada pelepasan karbon dan mengganggu kestabilan lingkungan,” terangnya.

Baca Juga: BRIN Prediksi Cuaca Ekstrem, Pengunjung Ancol Tetap Berenang Ria di Pantai

Untuk itu, program mitigasi perubahan iklim seperti FoLU Net Sink dan peningkatan pencapaian NDC (Nationally Determined Contribution) yang ambisius hendaknya diselaraskan dengan kebijakan pemerintah.

"Dengan demikian, pengalihfungsian hutan dan mangrove untuk proyek pembangunan strategis tertentu tidak kembali terjadi,” pungkas Uslaini.