Pemilu 2024

SAFEnet Waspadai Polarisasi Medsos di Pemilu 2024

Direktur Eksekutif SAFEnet, Damar Juniarto mewaspadai polarisasi warga khususnya di platform media sosial kembali terjadi di kontestasi Pemilu 2024.

Ilustrasi kampanye melalui media sosial. Foto-istimewa.

apahabar.com, JAKARTA - Direktur Eksekutif SAFEnet, Damar Juniarto mewaspadai polarisasi warga khususnya di platform media sosial kembali terjadi di kontestasi Pemilu 2024.

Polarisasi warga di medsos menurutnya terjadi sejak penyelenggaraan Pemilu 2014 dan Pilkada 2017 silam. Sederet faktor seperti yang melatarinya seperti kecocokan ideologi partai hingga isu agama.

"Disusul pada Pemilu 2019 media sosial memainkan peran utama dalam pemilu dengan taggar #2019GantiPresiden vs #Jokowi2Periode," terangnya di Jakarta, dikutip Minggu (17/12).

Baca Juga: Bahaya Disinformasi di Sekitar Penyelenggaraan Pemilu

Baca Juga: Media Digital Berkembang, Kualitas Demokrasi Menurun

Potensi terulangnya polarisasi tersebut terlihat berdasarkan data tahun 2022 Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) yang berjumlah 77,02 persen atau setara 204 juta pengguna internet di Indonesia.

Jumlah tersebut mengalami peningkatan yang cukup signifikan pada 2020 jumlah pengguna internet sebesar 175 juta. Disusul pada 2021 dengan jumlah pengguna internet mengalami lonjakan menjadi 202 juta.

Dalam data 202 juta pengguna internet tersebut, terbagi dalam beberapa pengguna medsos seperti YouTube 139 juta, Instagram 89,15 juta, Facebook 119,9 juta, Twitter 109,9 juta, X 24 juta, dan Facebook Masanger 27,3 juta.

Baca Juga: Waduh! Ternyata Politik Dinasti Tumbuh Subur di Negara Demokrasi

Platform media sosial di Indonesia, kata Damar, dalam konteks pemilu sering digunakan untuk kampanye hitam, hoaks, dan ujaran kebencian yang memenuhi wacana di media sosial.

"Pemilu bukan lagi pesta demokrasi yang asyik, malah menjadi ajang menebar kebencian dan fitnah di kalangan masyarakat," paparnya.

Terlebih, pada Pemilu 2024 kali ini dengan operasional pemilu selama 75 hari membuat para politisi mengurangi kanvasing citra melalui medium baliho dan sejenisnya.

Baca Juga: Kekuatan Oligarki Setir Penuntasan Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu

Baca Juga: Langkah Abu-abu 3 Capres soal Penyelesaian Pelanggaran HAM di Papua

Partai politik saat ini lebih memilih menggunakan ruang digital sebesar 73 persen, disusul televisi 59,7 persen dan berita online 26,7 persen.

Damar mengkhawatirkan ceruk penggunaan ruang digital yang besar dapat memicu terjadinya polarisasi akibat disinformasi politik yang tumbuh.

"Selain mendorong kebebasan berekspresi, medsos juga mendorong kebebasan untuk membenci. Individu akan menggunakan haknya untuk menyuarakan pendapatnya sambil secara aktif membungkam orang lain," pungkasnya.