Kalsel

Royadi Akhyar dan Optimisme Besarnya Melawan Covid-19

apahabar.com, BANJARMASIN – Royadi Akhyar merasa iba. Perasaan itu muncul saat dia melihat petugas medis mengenakan…

Royadi Akhyar Menunjukkan hazmat suit yang diproduksi secara mandiri sebagai alternatif alat perlindungan diri untuk tim medis. Foto-apahabar.com/Musnita Sari

apahabar.com, BANJARMASIN – Royadi Akhyar merasa iba. Perasaan itu muncul saat dia melihat petugas medis mengenakan jas hujan sebagai pengganti hazmat suit dalam menangani pasien di tengah wabah Covid-19.

Pria yang bekerja di bidang Humas Rumah Sakit Anshari Saleh itu pun berinisiatif untuk membuat alternatif alat pelindung diri (APD) lewat bisnis percetakan digital yang ia miliki.

“Saya miris melihat petugas-petugas itu sampai menggunakan jas hujan sepuluh ribuan untuk mereka pakai, padahal itu masih riskan. Dari situ saya jadi berinisiatif,” ungkap Royadi saat apahabar.com berkunjung ke lokasi usahanya di Jalan Rantawan Darat (Alfi Print) Banjarmasin, Rabu (1/4) kemarin.

Inisiatif pembuatan alternatif hazmat suit itu kemudian dia diskusikan bersama istri serta para karyawannya.
Perlu waktu sekira dua hari untuk mencari referensi pola, bahan baku, hingga membuat satu sample untuk uji coba.

“Kainnya ‘kan harus waterproof, terhindar dari cairan tubuh pasien (droplet) atau resapan keringat. Awal dicoba menjahit memang agak kesulitan,” bebernya.

Alternatif APD ini memang tidak seperti hazmat suit dengan standar tim medis pada umumnya yang harganya mencapai Rp 500 ribu. Namun, dalam situasi pandemi virus Covid-19, ditambah langkanya kelengkapan APD, hazmat suit buatannya cukup membantu tim medis dalam memproteksi diri saat bekerja.

“Lebih aman, lah, daripada menggunakan jas hujan. Setidaknya mengurangi risiko bagi petugas,” imbuhnya.

Mulanya Royadi hanya menawarkan APD buatannya untuk rumah sakit di tempatnya bekerja. Melalui grup percakapan internal, dia mengirimkan satu foto sebagai contoh produk. Bak gayung bersambut, selain respons, kritik serta saran, pihak rumah sakit juga langsung setuju untuk memesan APD buatannya.

“Di grup akreditasi rumah sakit saya baca banyak sekali keluhan (langkanya APD). Saya coba tawarkan dan mereka langsung minta dibuatkan. Awal mula hanya untuk memenuhi kebutuhan di kantor saya saja,” ungkapnya.

Dia sendiri sempat ragu untuk memproduksi secara massal. Royadi paham betul, di tengah kelangkaan APD, tak hanya pihak rumah sakit yang mencari produk tersebut, tetapi juga dari masyarakat umum.

“Saya sendiri tidak mengekspose itu, karena saya sudah ngerti pasti akan banyak permintaannya. Saya takut itu karena kapasitas pembuatan kita terbatas,” bebernya.

Walau telah menerima pesanan dari berbagai daerah di luar Kalsel, ia tidak berani untuk menyanggupi. Saat ini, pembuatan APD hanya diprioritaskan untuk rumah sakit dan puskesmas yang ada di Kalsel saja.

Untuk bahan bakunya, dia memilih coat waterproof yang biasa digunakan sebagai bahan digital printing pembuat umbul-umbul. Dengan memberdayakan pegawai dari divisi tekstil dibantu para desaigner, dalam sehari mereka dapat membuat sebanyak 80-100 picis.

“2-3 hari awal hanya mampu membuat 4 buah, saat ini bisa sampai 80-100 picis. Karena mesin finishing saya tambahin, lalu tenaga dari cabang lain kita back up ke sini,” jelasnya.

Untuk satu setel hazmat suit yang menghabiskan 4 meter bahan kain, dia mematok harga 150 ribu. Untuk ukuran disamaratakan agar semua tim medis dapat menggunakannya.

“Awalnya kita jual dengan harga 115 ribu, kemudian 130 ribu, terakhir di harga 150 ribu,” sebutnya.

Tahapan pertama yaitu pemotongan pola dengan menggunakan mesin cutting laser. Mesin ini dia klaim sebagai satu-satunya yang ada di Kalsel. Pola yang telah diprogram dari komputer akan otomatis terpotong oleh mesin tersebut.

Selanjutnya adalah tahap penjahitan. Tahapan ini terbilang rumit, sehingga setiap petugas memiliki tugas masing-masing, seperti mengerjakan bagian kaki, tangan, protect head, cover, hingga bagian muka dan belakang. Total mesin jahit yang dia miliki saat ini adalah 11 buah.

“Jadi fokus masing-masing pekerjaannya. Saya bahkan sengaja membeli mesin jahit tambahan untuk produksi ini,” tuturnya

Setelah proses penjahitan selesai dan terbentuk hazmat suit secara utuh, tahap akhir dilanjutkan dengan proses sterilisasi. Didukung dengan peralatan lengkap, Royadi tak kesulitan dalam memproduksi dalam jumlah besar.

Satu-satunya kendala yang dia rasakan adalah minimnya pasokan bahan untuk pembuatan hazmat suit. Bahan yang didatangkan dari Cina oleh distributor langganannya di Surabaya pun diakui mulai menipis.

“Yang ada saat ini adalah stok lama. Harga pun berubah-ubah,” ujarnya.

Reporter: Musnita Sari
Editor: Puja Mandela