Relax

Review Film Dont Look Up: Manusia Antroposen dan Segala Kepicikan Mereka

Apa yang kita lakukan ketika dihadapkan pada bencana menghancurkan di depan mata? Hollywood telah menggambarkannya dengan…

Dont Look Up masuk nominasi Oscar tahun ini. Foto-Istimewa

Apa yang kita lakukan ketika dihadapkan pada bencana menghancurkan di depan mata? Hollywood telah menggambarkannya dengan demikian dramatis dalam film-film macam The Independence Day, The Day After Tomorrow, atau 2012. Semua orang berada dalam kengerian, panik menyebar, dan semua orang berusaha agar tetap bisa bertahan hidup. Tapi hal itu tak terjadi di film Dont Look Up.

Dont Look Up juga bercerita tentang bencana besar yang dihadapi umat manusia. Kate Dibiasky (Jennifer Lawrance), kandidat Ph.D. di Universitas Negara Michigan beserta profesornya, Dr. Randall Mindy (Leonardo DiCaprio) menemukan sebuah komet yang mengarah ke bumi. Komet yang cukup besar untuk menyebabkan kepunahan di muka bumi jika tabrakan terjadi. Maka cerita di film ini keseluruhannya adalah tentang bagaimana respons penduduk bumi hari ini menjelang bencana yang sudah jelas-jelas akan terjadi di hadapan mereka.

Respons umat manusia (baca: warga Amerika Serikat) inilah yang digambarkan secara sarkas oleh film ini. Respons Presiden yang alih-alih berpikir tanggap bencana, namun malah mengabaikan informasi kedatangan komet gegara hal itu bakal menurunkan elektabilitasnya menjelang pemilu untuk kali kedua, atau respons media yang menjadikan info ini justru sebagai bagian dari infotainment, sejajar dengan berita putusnya artis internasional Riley Bina (Ariana Grande) dengan kekasihnya. Dan yang paling dramatis justru respon masyarakat luas, bagi mereka Dibiasky yang marah-marah di depan kamera karena orang-orang tidak mau peduli, dianggap lebih layak viral dibandingkan fakta akan ada tabrakan komet itu sendiri. Ada jutaan respons atas video marahnya Dibiasky, meme tentangnya pun dibuat. Akhirnya Dibiasky dan info penting yang dibawanya dicaci maki habis-habisan secara daring.

Ketika akhirnya presiden mulai peduli, ternyata penyebabnya untuk pengalihan isu skandal seksnya. Di sisi lain, ada tech billionare CEO dari perusahaan IT BASH yang malah ingin komet jatuh agar bisa menambang elemen langka yang berada di struktur komet. Ide yang langsung disetujui presiden karena sang CEO adalah penyumbang terbesar dana kampanyenya. Sarkas luar biasa.

Namun apa benar ini film sarkas? Para penonton akan menganggapnya sarkas hanya jika gambaran-gambaran yang ditampilkan dalam film terasa begitu menyinggung perasaan karena hal itu takkan terjadi di alam nyata. Bahwa gambaran-gambaran itu hanya versi ekstrem belaka. Manalah mungkin manusia bisa begitu abai dengan bencana di depan mata. Namun, benarkah sarkas? Bagaimana kalau semua itu hanyalah penggambaran kenyataan dalam versi yang vulgar, versi yang jujur. Bahwa pada kenyataannya, ya, manusia memang seabai itu dengan fakta bahwa mereka sedang menghadapi bencana serius di hadapannya. Bahwa sejumlah hal yang tampak pragmatis, temporer, dan tidak begitu berarti, justru menjadi hal-hal yang dirasa amat penting.

Tentu bergabungnya Leonardo DiCaprio di film ini bukan sekadar karena dia aktor kaliber Oscar yang ingin bermain di film bagus. Kita tahu bahwa dia sangat fokus pada masalah bencana perubahan iklim. Dia adalah duta PBB untuk masalah itu, dan ia sungguh peduli. Jika kita menonton film dokumenternya Before the Flood, kita akan tahu. Bagi Leo, dan sejumlah kecil manusia di muka bumi ini, bencana perubahan iklim adalah bencana yang benar-benar membayang di pelupuk mata. Bencana yang tidak terjadi ratusan tahun ke depan, namun sudah dalam hitungan puluhan tahun lagi. Jenis manusia macam Leo ini sudah berkoar-koar kesana kemari tapi respon orang-orang tampak persis sama dengan apa yang digambarkan di film. Abai, tak peduli.

Mungkin demikianlah karakter manusia antroposen, manusia akhir zaman. Manusia yang sadar bahwa aktivitas kehidupan mereka dijalankan dengan bantuan bahan bakar fosil yang juga menjadi penyebab rusaknya bumi hingga berpotensi tak layak huni. Namun kesadaran itu tak membawa manusia kemana-mana seakan-akan menusia tidak berdaya, tak bisa lagi berhenti. Maka ketika ancaman bencana itu diteriakkan di telinga penduduk bumi ini, ancaman itu tak terasa apapun. Kita menjadi kebas.

Lalu bagaimana dengan cerita yang terasa sarkas lainnya? Masa iya seorang presiden melihat bencana demikian pragmatis, kalau menguntungkan direspons kalau tidak diabaikan? Faktanya, kan, memang demikian. Mungkin kita masih ingat bagaimana sejumlah kepala negara menanggapi pendemi Covid-19 di tahun pertama virus itu merajalela. Ada yang acuh, cenderung meremehkan. Ada yang baru respons saat korban tak bisa lagi dikendalikan.

Demikian pula dengan bagaimana sesuatu yang tidak substantif bisa begitu dianggap penting karena ia viral di media sosial. Itu adalah fenomena menyedihkan dari aktivitas manusia antroposen hari ini. Artis putus cinta, cerai, selingkuh, menjadi lebih penting dari bencana banjir atau gempa bumi. Apa yang membuat heboh dan ramai ditanggapi adalah perihal remeh temeh, ucapan yang terasa lucu, joget yang ikonik, atau apalah.

Maka film ini hanyalah film di mana kita bisa leluasa menertawakan diri sendiri. Film ini jelas-jelas menampilkan diri kita sendiri di dalamnya, dengan jujur. Terlalu jujur untuk mau kita akui sebagai kita. Barangkali itu sebabnya di antara semua kandidat peraih Oscar untuk film terbaik (best picture), Dont Look Up satu-satunya yang memiliki tanggapan segar di bawah 60% yang berarti film ini cukup banyak mendapatkan ulasan negatif. Dua pemeran utamanya, Jennifer Lawrence dan Leonardo DiCaprio bahkan tak mendapatkan satu nominasipun untuk aktor atau aktris terbaik. Saya pikir hal tersebut bukan karena akting mereka buruk.

Semua semata karena di film ini dan aktor aktrisnya tidak berjalan sesuai ekspektasi penonton. Tidak ada penyelamatan atau happy ending, tidak ada resolusi yang menenangkan, bahkan tidak ada pahlawan, bahkan tidak untuk Dibiasky dan sang profesor, Dr. Mindy. Meski mereka hadir sebagai tokoh protagonis, mereka bukan pahlawan. Dibiasky yang temperamental dan terlalu sederhana, dan Dr. Mindy yang penyakitan dan berselingkuh. Dan tokoh lain yang tak kalah konyolnya (baca: konyol=manusiawi).

Semua tokoh di dalam film ini seakan-akan hadir untuk mengejek semua orang. Dengan demikian, apa yang bisa dibanggakan dari film semacam ini? Di satu sisi film ini mematikan ekspektasi, namun di sisi lain ia menjadi refleksi. Tempat semua orang bisa berkaca kembali tentang nilai-nilai kemanusiaan dan telah menjadi manusia seperti apa kita hari ini.

Di luar cerita dan narasi yang menurut saya telah dengan begitu baik disajikan film ini, saya termasuk yang agak terganggu dengan masuknya film ini sebagai kandidat suntingan terbaik (best editing) Oscar. Meski masuknya sejumlah kru ke dalam frame film disebut sang sutradara, Adam McKay, disengaja, namun kesengajaan itu membuat orang mempertanyakan kualitas penyuntingan. Belum lagi adanya beberapa syut antar pemain (cut to other shots) yang menurut saya kurang relevan dan terasa menganggu. Film ini bagus, tapi bagian penyuntingannya tak sebagus itu.

Saya akan memberi nilai 8,5 untuk film ini, terutama pada ide cerita yang dibawanya. Ini adalah jenis film di mana kita dipaksa untuk merenungi banyak hal dalam kehidupan kita. Terlepas apakah kelucuan-kelucuan dalam film ini diperlukan, atau apakah penyajiannya secara satir juga penting, film ini sejak awal sudah unggul dalam pesan yang dibawanya. Saya pikir, kita tak boleh mengabaikan bahwa pesan itu ditujukan pada kita. Saya senang ketika film ini menjadi film terpopuler di Netflix di masa awal penayangannya. Pada masa 28 hari pertama penayangannya, film ini menempati 360 juta jam penayangan. Semoga semua yang menonton mendapatkan pesan itu dan merenunginya.

Penulis: Dewi Alfianti (Dosen Bahasa dan Sastra FKIP ULM Banjarmasin)