Opini

Rekonstruksi Makna Shalat, Dari Rutinitas Jasmani Menjadi Suluk Ruhani

Oleh: Ahmad Arbani SHALAT lima waktu adalah rutinitas wajib bagi setiap muslim yang baligh dan berakal…

Ilustrasi. Foto-Istimewa

Oleh: Ahmad Arbani

SHALAT lima waktu adalah rutinitas wajib bagi setiap muslim yang baligh dan berakal atau dalam bahasa syariat disebut mukallaf (orang yang terkena beban kewajiban). Namun, apakah ini hanya sebatas rutinitas penunai kewajiban dan tidak mengandung makna lain? Mari kita telaah.

Habib Ali Zainal Abidin AlJufri dalam kajiannya mengungkapkan, “Mayoritas kita (umat Islam) memandang shalat fardhu hanya sebatas tagihan (hutang) yang wajib dibayarkan. Atau sebatas beban (kewajiban) agama yang mesti dilaksanakan setiap mukallaf apabila tiba waktunya. Ataupun sebatas perkara yang menakutkan, yang apabila ditinggalkan mengundang murka Allah bagi yang melalaikannya.”

Ketiga hal tersebut tidak salah, sambung Habib Ali, tapi makna shalat lebih dari itu. Sebab shalat fadhu hanya dipandang sebatas salah satu dari tiga tersebut, atau ketiganya sekaligus, itu berarti tidak ada peningkatan kualitas hati kita dalam aktifitas shalat. Dengan kata lain, sebut Habib Ali, shalat fardhu belum berfungsi sebagai sebuah patokan waktu, perjalanan seorang hamba menuju Tuhannya; Allah Azza Wa Jalla.

Berkaca dari penjelasan Habib Ali tersebut, perlu kiranya untuk merekonstruksi pemahaman terhadap kewajiban shalat. Perlu pemahaman ulang terhadap makna “shalat fardhu”.

Apa makna saat kita berdiri untuk menunaikan shalat fardhu? Setidaknya ada tiga makna yang bisa kita selami. Makna yang semestinya dirasakan manakala seseorang melaksanakan shalat fardhu.

Pertama, semestinya kita merasakan bahwa shalat fardhu adalah pertemuan antara “Sang Pecinta” dengan “Yang Dicintainya”. Bahwa tibanya waktu shalat fardhu adalah datangnya waktu perkenan dari “Sang Kekasih” untuk menemui-Nya.

Ada perbedaan yang jauh antara makna yang demikian itu dengan yang merasakan shalat fardhu hanya bagaikan tagihan hutang yang wajib ditunaikan. Karena pada umumnya, nafsu seseorang merasa berat atas beban hutang dan berat pula membayarnya. Hanya merasa senang bila telah melunasinya.

Sementara, shalat yang kita citakan ini adalah shalat yang membuat bahagia saat ingin mendirikannya, bukan sebatas setelah mengerjakannya. Karenanya, semestinya kita merasakan kerinduan sejati dan menyayat hati sebelum tiba waktunya. Sehingga, manakala hendak memasuki ritual shalat, hati bercahaya, karena yang dinantikan hampir tiba dan membuat gundah gulana telah usai waktunya.

Saat pertemuan dengan kekasih sudah dekat! Pertemuan dengan kekasih di ambang mata!

Inilah makna pertama shalat fardhu yang semestinya kita hidupkan dalam menunaikan kewajibannya.

Kedua, kita mesti merasakan bahwa shalat merupakan waktu untuk mengadukan segala duka, keperluan, dan permasalahan, kepada Dia yang hanya Dia dan tak ada selain-Nya yang berkuasa memberikan jalan keluar dari itu semua. Shalat adalah saat pengaduan dan pengajuan kita kepada Sang Maharaja dari segala raja.

Ketiga, tatkala telah siap untuk mendirikan shalat, hendaknya kita berdiri untuk menunaikannya dengan merasakan bahwa kita tengah bersiap untuk melakukan pendakian. Untuk mi’raj menuju kedudukan di sisi Tuhan.

Misal dikatakan kepada kita, “Waktu kenaikan pangkatmu telah tiba”, dan kemudian pengumuman kenaikan pangkat itu juga tiba. Bagaimana reaksi kita? Bagaimana suasana hati kita di saat tengah bersiap menerima anugerah penyematan tanda kenaikan pangkat itu? Bagaimana suasana hati kita ketika tengah bersiap menerima ijazah kelulusan dari universitas favorit yang menjadi dambaan setiap orang?

Itulah tiga makna rutinitas kefardhuan shalat yang apabila kita lakukan dan rasakan, maka shalat bukan lagi sebatas rutinitas, tapi peningkatan kualitas. Bukan sebatas ibadah jasmani, tapi suluk ruhani. Bukan sekedar penunaian kewajiban, tapi mi’raj menuju Tuhan.

Bukankah para ulama mengatakan -bahkan sebagian ada yang meyakini sebagai hadits-, “Shalat adalah mi’rajnya orang beriman”? Karenanya, kita perlu merekonstruksi makna shalat selama ini.

*Penulis adalah Mahasantri Ma’had ‘Aly Darussalam.

======================================================================

Tulisan ini adalah kiriman dari publisher, isi tulisan ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis.

Tags
Opini