Nasional

Red Notice Djoko Tjandra Eks Kadiv Humas Mabes Polri: Sudah Ada Tambahan

apahabar.com, JAKARTA – Red notice atau pemberitahuan merah Interpol atas nama terpidana korupsi “cessie” Bank Bali…

Terpidana kasus cessie Bank Bali Djoko Tjandra selaku terdakwa perkara suap kepada jaksa dan perwira tinggi Polri serta pemufakatan jahat bersiap menjalani sidang lanjutan di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Kamis (19/11/). Sidang tersebut beragendakan pemeriksaan sejumlah saksi yang dihadirkan oleh Jaksa Penuntut Umum. Foto: Antara

apahabar.com, JAKARTA – Red notice atau pemberitahuan merah Interpol atas nama terpidana korupsi “cessie” Bank Bali Djoko Tjandra rupanya sudah mengalami beberapa kali adendum atau tambahan.

“Saya ingat ada beberapa adendum, adendum itu tambahan, yang saya ingat bahwa ada tambahan karena ada informasi bahwa Djoko Tjandra mengubah nama dan menggunakan paspor baru, maka kami kirim ke Interpol untuk diterbitkan adendum,” kata Mantan Kadiv Humas Mabes Polri Komjen Pol (Purn) Setyo Wasisto di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Kamis (19/11), dilansir Antara.

Setyo menjadi saksi untuk terdakwa Djoko Soegiarto Tjandra yang didakwa melakukan penyuapan terhadap aparat penegak hukum dan permufakatan jahat.

Setyo diketahui adalah Sekretaris National Central Bureau (NCB) Interpol Indonesia pada Divisi Hubungan Internasional (Divhubinter) Polri pada 23 Desember 2013 – Agustus 2015.

“Sehingga apabila dicari, nama-nama ini muncul, termasuk adendum terakhir 2019, bulan Februari. Adendum itu menyatakan karena dari penyidik Kejaksaan Agung bahwa kasus Djoko Soegiarto Tjandra hanya korupsi, kasus penggelapannya tidak, itu adendumnya,” ungkap Setyo.

Dalam dakwaan disebutkan bahwa Divhubinter Polri pertama kali menerbitkan “red notice” No: A-1897/7-2009 tanggal 10 Juli 2009 atas nama Djoko Soegiarto Tjandra karena permintaan Kejaksaan Agung karena tidak dapat mengeksekusi putusan Peninjauan Kembali Mahkamah Agung pada 11 Juni 2009 yang menjatuhkan hukuman pidana 2 tahun dan denda Rp15 juta subsider 3 bulan kurungan kepada Djoko Tjandra.

Selain adendum, Setyo juga mengirimkan surat Nomor R/08/II/2015/Divhubinter pada 12 Februari 2015 perihal DPO atas nama Djoko Tjandra alias Joe Chan warga negara Papua Nugini kepada Direktorat Jenderal Imigrasi.

“Betul saya yang menandatangani surat itu pada 12 Februari 2015, karena muncul di koran Kompas, yang menyatakan bahwa orang tua dari saudara Djoko Soegiarto Tjandra meninggal dunia. Kemudian anggota kami melapor, karena melapor kami buat surat karena ini harus cepat,” ungkap Setyo.

Setyo mengaku surat itu bersifat memperingatkan Ditjen Imigrasi.

“Sifatnya mengingatkan karena kemungkinan karena orang tuanya meninggal, Djoko Tjandra akan datang ke Indonesia. Kami mengingatkan Kejaksaan sebagai pemegang kasusnya dan kepada Imigrasi sebagai tempat perlintasan imigrasi. Surat itu bersifat mengingatkan karena kemungkinan logikanya kalau orang tua meninggal, akan datang itu mengingatkan agar kita waspada,” tambah Setyo.

Setyo menjelaskan bahwa red notice adalah mekanisme dari Interpol yaitu permintaan negara anggota Interpol kepada anggota lain yang berjumlah 193 negara untuk menangkap dan menahan buronan.

“Misal Indonesia minta seluruh negara anggota Interpol, apabila ada orang buron atau DPO (Daftar Pencarian Orang) agar menangkap dan menahan dan memberitahu negara penerbit interpol tersebut,” ungkap Setyo.

Menurut Setyo, semua penegak hukum baik Kejaksaan Agung, KPK maupun Polri dapat membuat permintaan kepada Interpol melalui Divhubinter Polri selaku fasilitator dan koordinator Interpol Indonesia.

“Pengajuan ‘red notice’ itu oleh instansi, bukan perorangan, dalam hal ini penyidik. Kemudian untuk permintaan penghapusan juga harus dilengkapi dengan berkas-berkas, contoh buronan atau DPO itu meninggal dunia harus ada surat kematian, dilaporkan ke Interpol di Lyon bahwa kasusnya sudah selesai karena yang bisa mencabut ‘red notice’ itu dari Interpol Lyon,” jelas Setyo.

Dalam perkara ini, Djoko Tjandra didakwa melakukan dua dakwaan. Pertama, Djoko Tjandra didakwa menyuap jaksa Pinangki Sirna Malasari sejumlah 500 ribu dolar Singapura, mantan Kepala Divisi Hubungan Internasional Polri Inspektur Jenderal Napoleon Bonaparte sejumlah 200 ribu dolar Singapura dan 270 dolar AS serta mantan Kepala Biro Koordinasi dan Pengawasan (Kakorwas) Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Bareskrim Polri Brigjen Prasetijo Utomo senilai 150 ribu dolar AS.

Sedangkan dalam dakwaan kedua, Djoko Tjandra didakwa melakukan permufakatan jahat dengan Pinangki Sirna Malasari dan Andi Irfan Jaya untuk memberi atau menjanjikan uang sebesar 10 juta dolar AS kepada pejabat di Kejaksaan Agung dan di Mahkamah Agung.