Food Estate

Proyek Food Estate, Jurnalis Lingkungan: Ciptakan Gastro Kolonialisme

Proyek food estate dinilai menciptakan gastro kolonialisme bagi masyarakat lokat yang terdampak.

Masyarakat saat menanam bibit singkong di lahan food estate di Kabupaten Gunung Mas (Foto MNC Kalteng)

apahabar.com, JAKARTA - Proyek food estateberpotensi menciptakan gastro kolonialisme bagi masyarakat lokal yang terdampak. Gastro kolonialisme merupakan suatu bentuk diskriminasi dan pelanggaran hak masyarakat lokal, di mana makanan dan budaya kuliner dari luar akhirnya diadopsi oleh warga setempat.

Hal itu diutarakan oleh Jurnalis Kompas Ahmad Arif dalam diskusi publik Tiga Tahun Proyek Food Estate di Jakarta, Kamis (13/7). Arif membeberkan kegagalan proyek serupa yakni food estate pernah terjadi di Merauke pada tahun 2010. 

"Proyek food estate sebenernya sudah lama ada, sebelum era pemerintahan sekarang," ujar Aik, sebutan untuk Ahmad Arif dalam diskusi tersebut.

Ia menambahkan, "Di Merauke, lahan diambil alih oleh perusahaan-perusahaan dan ada proses cetak sawah. Hampir semuanya gagal, terutama yang dilakukan di kawasan masyarakat adat, hampir semua tidak berkelanjutan."

Baca Juga: Proyek Food Estate, Greanpeace Indonesia: Memperburuk Krisis Pangan

Kegagalan tersebut, ungkap Aik, karena pemerintah tidak memperhatikan aspek alam. Sebagian besar wilayah Merauke merupakan lahan gambut yang tidak cocok untuk ditanami padi.

"Dan itu serat hidup, untuk padi susah untuk tumbuh, secara alami harus benar-benar dipilih termasuk irigasinya," ujarnya.

Di sisi lain, terang Arif, pemerintah tidak memperhatikan aspek kultural masyarakat setempat. Masyarakat adat Merauke, khususnya Suku Marind, merupakan kelompok masyarakat yang hidup dari kegiatan berburu dan meramu. 

Mereka tidak memiliki kultur menanam padi. Yang mereka pahami adalah mengumpulkan makanan dari hutan lalu mengolahnya untuk kebutuhan hidup sehari-hari. Salah satunya adalah mengolah tanaman sagu.

Baca Juga: Tingkatkan Ekonomi, Warga: Food Estate Keerom Harus Berkelanjutan

Sementara budaya menanam padi, membutuhkan keseriusan dan ketelitian. Menanam padi juga merupakan budaya yang tidak sederhana.

"Secara kultural  tidak diperhitungkan, yaitu budidaya tanaman padi itu proses kebudayaan yang tidak sederhana. Yang sebelumnya orang Papua mengumpulkan makanan di hutan, terus menjadi petani, itu tidak bisa," terang Aik.

Sementara itu, pembukaan lahan pertanian untuk food estate, lanjut Aik, terus berlanjut. Akibatnya, masyarakat adat Merauke kehilangan hutan adat yang merupakan tempat tinggal mereka.

"Dan hancurlah tempat hidup mereka, tempat mereka mengambil makan semuanya dirampas oleh perusahaan-perusahaan," ujarnya.

Baca Juga: Food Estate, Menteri PUPR: Ketahanan Pangan dan Buka Lapangan Kerja

Melalui proyek food estate, terang Aik, telah terjadi perubahan selera makan masyarakat yang dilakukan secara struktural. Masyarakat lokal dipaksa memakan nasi, dari yang sebelumnya mengonsumsi sagu.

Hal lainnya, penduduk lokal mulai ketagihan untuk mengonsumsi mie instan, disertai dengan hilangnya akses terhadap sumber pangan lokal.

Yang terjadi kemudian, padi yang ditanam masyarakat ternyata tidak membuahkan hasil. Mereka mengalami gagal panen, sementara ketergantungan pangan dari luar semakin besar, utamanya beras.

Baca Juga: Food Estate Kurang Berpihak pada Rakyat, Ancaman Kerusakan Lingkungan

Masyarakat lokal telah dijadikan komoditas atas pangan yang kualitasnya jauh lebih buruk dari sebelumnya. Jauh sebelum mereka mengonsumsi beras.

"Itulah sebenarnya potret gastrio kolonialisme di Merauke, dan itu bisa terjadi di Kalimantan," tutup Aik.