Tidak Ada Penindakan, Praktik Politik Uang Indonesia Tempati Urutan Tiga Dunia

Indonesia menempati urutan ketiga dunia dalam hal praktik politik uang setelah Uganda dan Benin.

ilustrasi politik uang

apahabar.com, JAKARTA - Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia, Burhanudin Muhtadi mengungkapkan Indonesia menempati urutan ketiga dunia dalam hal praktik politik uang setelah Uganda dan Benin.

Menurut Dosen Fisipol UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini maraknya praktik ilegal tersebut karena penyelenggara pemilu dan penegak hukum enggan berurusan dengan para pelaku yang merupakan calon pejabat publik.

Baca Juga: Awas! Modus Politik Uang Pemilu: Ditransfer Lewat Dompet Digital

Hal itu disampaikan oleh Burhanuddin Muhtadi pada acara Rilis Survei Nasional Pacuan Kuda Elektabilitas Bakal Capres dan Peta Kekuatan Elektoral Pasca-Deklarasi yang dilaksanakan via daring zoom meeting, Kamis (1/12).

“Sedikit sekali pemidanaan ke calon yang memakai politik uang, karena umumnya penyelenggara pemilu dan penegak hukum malas memproses politik uang karena melibatkan para pejabat publik yang akan menjadi pemimpin baik di parlemen maupun eksekutif,” ujar Burhanuddin.

Meski demikian, menurut doktor ilmu politik ini praktik politik uang Indonesia tersebut lebih banyak terjadi pada pemilu legislatif dibanding pemilu presiden.

“Saya kumpulkan data dari banyak negara, politik uang kita itu untuk di tingkat pemilu legislatif nomor tiga di dunia. Kita hanya kalah oleh Uganda dan Benin. Itu pemilu di legislatif tapi di pemilu presiden lebih rendah lagi,” ujarnya.

Rendahnya praktik politik uang pada level pemilu presiden dibanding pemilu legislatif karena pada pemilu legislatif lebih banyak melibatkan aktor dibanding pemilu presiden.

"Di pemilu legislatif melibatkan banyak aktor bahkan hingga ratusan ribu mulai tingkatan pusat hingga kabupaten kota," paparnya.

Baca Juga: Marak Politik Uang, Watimpres: Sebaiknya Pemilu hanya Buat Capres dan Cawapres

Selain itu pada pemilihan legislatif memiliki konstituensi size yang lebih kecil dibandingkan pemilihan presiden. Menurut Burhanuddin semakin kecil konstituensi size semakin besar peluang politik uang terjadi.

“Jadi mengapa money politics di pilpres frekuensi lebih sedikit dibanding pileg karena konstituensi size di pileg itu lebih kecil sementara politik uang bicara pada segmen terbatas dan itu bisa memengaruhi pilihan,” tegas Burhanuddin.

Selain itu, menurut Burhanuddin, money politics di pilpres tidak pada vote buying tapi di pilpres itu politik uang dalam artian yang lebih umum, bukan vote buying, misalnya kegiatan-kegiatan atau program pemerintah yang bersifat populis tetapi diarahkan supaya bisa mempengaruhi pilihan seperti BLT, PKH dan ahli hukum menyatakan bukan politik uang.

Untuk itu menurut Burhanuddin yang mempengaruhi di Pilpres itu bukan politik uang tapi narasi apa yang mau dipakai, coveragenya isu karena berhadapan dengan size pilihan yang besar.