Nasional

Potret Ibu Kota, Kualitas Udara Jakarta Terburuk Sedunia

apahabar.com, JAKARTA – Kualitas udara ibu kota negara, Jakarta, dalam beberapa bulan terakhir menjadi perbincangan publik…

Ilustrasi kemacetan di Jakarta. Foto-Istimewa

apahabar.com, JAKARTA – Kualitas udara ibu kota negara, Jakarta, dalam beberapa bulan terakhir menjadi perbincangan publik setelah masuk kategori sangat tidak sehat dengan nilai indeks kualitas udara (air quality index/AQI) yang sempat mencapai 216 pada Juni.

Sementara pada dua hari terakhir, kualitas udara Jakarta juga masih tercatat terburuk di dunia dengan indeks kualitas udara mencapai 189 dan 188 dan masuk dalam kategori tidak sehat dengan konsentrasi parameter PM2.5 sebesar 128,5 ug/m3 dan 128 ug/m3 menurut data AirVisual.

Memburuknya kualitas udara itu, menurut Kepala Seksi Penanggulangan Pencemaran Lingkungan Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta, Agung Winarno, terjadi seiring dengan kegiatan ekonomi yang bergerak di DKI Jakarta sehingga menimbulkan pergerakan baik orang maupun barang dan pada akhirnya berdampak terhadap kualitas udara dari kendaraan bermotor.

Ia berkata, berdasarkan hasil kajian, 75 persen sumber pencemaran udara di Jakarta berasal dari transportasi darat.

Data kendaraan di DKI Jakarta, kata dia, menunjukkan bahwa kendaraan pribadi roda empat saja ada sebanyak 3,5 juta kendaraan.

Sedangkan kendaraan khusus lainnya yang berlalu lalang di DKI Jakarta sebanyak 4,7 juta. Sementara kendaraan roda dua atau sepeda motor, berdasarkan data BPS, angkanya mencapai 13,3 juta kendaraan.

“Padahal jumlah warga DKI Jakarta itu sekitar 10 juta,” katanya.

Itu artinya, lanjut dia, satu warga di DKI Jakarta memiliki lebih dari satu kendaraan roda dua.

Jadi paling tidak 17-18 juta yang ada di Jakarta. Angka itu belum termasuk kendaraan-kendaraan yang masuk ke wilayah DKI Jakarta dari daerah sekitarnya yang berjumlah sekitar 1-2 juta kendaraan.

“Jadi total sekitar 20 juta kendaraan setiap hari di DKI Jakarta sehingga memengaruhi kualitas udara di sekitar,” tegasnya.

Selain dari transportasi darat, dia juga menyebutkan sumber pencemar udara lain dari sumber tidak bergerak mulai dari kegiatan industri, pembangunan infrastruktur yang sedang berlangsung di Jakarta, kegiatan domestik atau rumah tangga dan juga pembangkit listrik yang turut menyumbang pencemaran udara di DKI Jakarta.

Dalam kaitannya dengan sumber pencemaran dari kegiatan domestik atau rumah tangga dan juga pembangkit listrik, pengamat udara Adriana menyebutkan bahwa kualitas udara Jakarta sesungguhnya dipengaruhi oleh semua tindak-tanduk orang-orang yang tinggal di Jakarta dan orang-orang yang sering datang ke Jakarta.

“Artinya orang-orang ini semuanya memiliki kontribusi terhadap emisi pencemaran udara di Jakarta. Apapun yang kita lakukan sebagai manusia, kita itu akan mengemisikan pencemaran,” katanya.

Emisi pencemaran yang dihasilkan oleh warga Jakarta, kata dia, tidak hanya berasal dari kendaraan bermotor yang mereka gunakan, tetapi setiap kegiatan rumah tangga yang dilakukan warga DKI juga turut andil dalam peningkatan emisi yang menyebabkan pencemaran udara.

“Orang itu kalau mau masak dia menyalakan kompor. Kompor itu mengeluarkan emisi. Emisi dari kompor sama dengan yang dikeluarkan kendaraan bermotor, hanya jumlahnya lebih kecil. Bayangkan ada satu juta orang saja yang menyalakan kompor. Tentu akan menjadi proporsi yang signifikan,” katanya.

Ia berkata jumlah penduduk yang semakin meningkat juga akan meningkatkan emisi yang menyebabkan pencemaran udara di Jakarta. “Jadi sumbernya bukan hanya kendaraan bermotor saja,” katanya.

Hal yang dimaksud adalah gaya hidup juga turut menentukan jumlah emisi di udara, khususnya Jakarta. “Semakin tinggi gaya hidup kita, biasanya emisi yang kita keluarkan semakin banyak, seiring dengan tingkat kebutuhan kita,” tuturnya.

Ia mencontohkan kebiasaan orang bermain gawai yang menghasilkan emisi dari listrik yang digunakan untuk mengalirkan daya ke gawai itu.

Begitu juga dengan kebiasaan menggunakan komputer dan penggunaan listrik lainnya yang pada akhirnya menjadi gaya hidup dan tidak bisa lagi dilepaskan dari kehidupan sehari-hari manusia.

“Karena kita tidak bisa kembali ke zaman batu. Oleh karenanya kita perlu menyiasati supaya bisa seefisien mungkin mengemisikan pencemaran udara,” katanya.

Manusia sebagai makhluk hidup, kata dia, sudah tentu akan mengeluarkan emisi seiring dengan meningkatnya kebutuhan dan gaya hidup. Bahkan ketika seseorang sedang diam saja, orang tersebut, kata dia, akan tetap mengeluarkan emisi berupa gas CO2.

Karena itu semakin banyak jumlah penduduk di DKI Jakarta, maka gas rumah kaca juga akan semakin meningkat. Oleh karena itu, ia menggarisbawahi bahwa masalah kualitas udara di Jakarta tidak semata-mata menjadi tanggung jawab pemerintah.

“Tetapi, keberhasilan suatu program lingkungan itu sangat bergantung pada perilaku masyarakat,” kata Adriana.

Baca Juga: Hari Ini Jokowi Dipastikan Teken Keppres Baiq Nuril

Baca Juga: Harimau Bonita dan Antan Bintang Segera Dilepasliarkan di Riau

Sumber: Antara
Editor: Fariz Fadhillah