Krisis Pangan

Potensi Pangan Lokal Atasi Krisis Pangan Akibat El Nino

Direktur Ketersediaan Pangan Bapanas Budi Waryanto menjelaskan, sejak 2021-2022, pemerintah mengantisipasi empat faktor yang mengancam ketahanan pangan.

Dokumen - Pengunjung mengambil papeda dari menu makanan kebun khas Ternate yang disajikan di salah satu rumah makan di Kota Ternate, Maluku Utara, Rabu (14/12/2022). Foto: ANTARA

apahabar.com, JAKARTA - Direktur Ketersediaan Pangan Badan Pangan Nasional (Bapanas) Budi Waryanto menjelaskan, sejak tahun 2021-2022, pemerintah sudah mengantisipasi empat faktor yang berpotensi mengakibatkan krisis pangan. Empat faktor itu meliputi ketidakpastian situasi global karena ancaman geopolitik, perubahan iklim, dampak pandemi COVID-19, dan disrupsi pangan, termasuk El-Nino.

Bapanas telah menggandeng Kementerian BUMN agar bisa memanfaatkan kebijakan pangan. "Namun, tentu saja pemerintah tidak bisa langsung menguasai 100% kondisi pangan,” jelas Budi Waryanto dalam diskusi 'Hari Pangan Sedunia: Refleksi Ketahanan Pangan Indonesia di Tengah Ancaman Kekeringan Dampak El Nino', Kamis (12/10).

Selain itu, terdapat kerja sama pemerintah dengan sektor swasta dalam mempersiapkan stok pangan sebagai mitigasi kemarau panjang sebagai dampak dari pergerakan angin El Nino

Saat ini, kata Budi, Bapanas masih berfokus pada penyediaan pangan skala nasional. Pasalnya beras masih mendominasi sebagai pangan utama dengan persentase konsumsi sebanyak 90%.

Baca Juga: Pengembangan Pangan Lokal, Lebih dari Sekedar Komitmen dan Eksistensi

Sebagai solusi jangka panjang, Bapanas sedang mempersiapkan sebuah struktur untuk memastikan pengembangan pangan lokal. "Salah satunya melalui program B2SA atau Pangan Beragam, Bergizi, Seimbang, dan Aman yang mendukung diversifikasi pangan lewat kearifan pangan lokal," terangnya.

Lewat program tersebut, Bapanas mendorong masyarakat untuk mengonsumsi pangan lokal. Untuk itu, Bapanas membutuhkan partisipasi dari pegiat pangan lokal.

"Sejak dulu, sudah banyak sumber karbohidrat seperti papeda, olahan sagu di Papua. Pangan tersebut harus dipopulerkan kembali melalui inovasi, seperti dibuat menjadi olahan lain yang lebih menarik untuk menarik minat konsumsi tapi tetap bergizi,” paparnya.

Terkait pangan lokal, Direktur Yayasan Masyarakat Kehutanan Lestari (YMKL), Emil Kleden, menyoroti semakin terdesaknya keberlangsungan pangan lokal, khususnya di Papua. Saat ini, sebagian besar warga Papua sudah beralih dari sagu dan ubi jalar sebagai makanan pokok menjadi beras.

Baca Juga: Galakkan Pangan Lokal Cegah Stunting Kapuas, Bupati Ben Brahim Apresiasi Tim IGC

Pangan lokal dapat menjadi solusi capai ketahanan pangan nasional terutama saat terjadi kekeringan akibat El Nino. Hal ini disampaikan beberapa beberapa pakar pangan dan lingkungan dalam sebuah diskusi bertajuk “Hari Pangan Sedunia: Refleksi Ketahanan Pangan Indonesia di Tengah Ancaman Kekeringan Dampak El Nino” yang dilakukan di Jakarta, Kamis (12/10) dalam rangka merespons dampak kekeringan akibat krisis iklim. Foto: istimewa untuk apahabar.com

Menurut Emil, ada persoalan problematik, karena beras dianggap berada pada tingkatan yang lebih tinggi daripada sagu. Ada persepsi ‘kenaikan kelas’ yang mereka dapatkan ketika makan nasi.

"Kebutuhan akan sagu semakin menurun. Akibatnya, praktik tradisional untuk penyimpanan ubi dan sagu semakin ditinggalkan. Sementara, lumbung sagu adalah komponen penting dalam kehidupan bermasyarakat adat di sana," paparnya.

Tidak hanya beras, bencana kekeringan di Papua juga mengancam ketersediaan bahan pangan utama masyarakat Papua yaitu ubi jalar dan sagu. Utamanya, karena dalam menyimpan cadangan sagu memerlukan tanah basah.

Stok sagu tidak bisa bertahan lama jika disimpan di tanah yang kering. Selain itu, konversi hutan sagu untuk kebutuhan lain ini semakin mengancam keberlangsungan pangan lokal dari Orang Asli Papua (OAP) karena berkurangnya lahan produksi untuk sagu.

Baca Juga: Atasi Inflasi, Indef Sarankan Daerah Tingkatkan Produksi Pangan Lokal

"Belum lagi potensi hilangnya sumber protein hewani seperti rusa, babi, dan kasuari karena habitat asli mereka sudah dihancurkan. Hal ini sangat merugikan masyarakat adat yang masih menggunakan praktik tradisional untuk menghasilkan dan menyimpan pangan,” imbuhnya.

Emil mengingatkan bahwa dalam 40 tahun terakhir, selalu ada daerah di Papua dan Papua Barat yang mengalami bencana kelaparan akibat cuaca ekstrem, musim dingin, kekeringan, dan gagal panen.

“Saya melihat dari sisi ekonomi, sagu, keladi, ubi jalar yang bukan produk hasil budidaya belum diperhitungkan sebagai komoditas yang dihitung dalam sektor bisnis," terangnya.

Oleh karena itu, komoditas pangan lokal harus ikut dalam perhitungan ekonomi negara. Faktor itu menyebabkan pangan lokal semakin bergeser dan digantikan oleh komoditas lain yang memiliki nilai jual.

Baca Juga: Festival Pangan Lokal B2SA di Tapin, Umbi-umbian Alternatif Pengganti Beras

Ini menjadi penting, kata Emil, karena jika pangan lokal diperhitungkan secara ekonomi, maka potensi keberlangsungannya menjadi lebih tinggi. Ketahanan pangan dan kearifan lokal akan tetap terjaga.

Untuk itu, Emil mengajak semua pihak, termasuk pemerintah daerah, akademisi, dan masyarakat untuk bersama-sama memastikan ketahanan pangan di tingkat lokal harus tercapai.

Terutama peran pemerintah daerah dalam membantu peningkatan produksi dan teknik penyimpanan jangka panjang pangan lokal seperti sagu, ubi jalar, umbi keladi dalam mengantisipasi cuaca ekstrem dan El-Nino.

"Kemudian memastikan bahwa sektor bisnis telah konsisten menjalankan prinsip yang sesuai dengan Hak Asasi Manusia (HAM), khususnya dalam aspek sosial dan lingkungan," paparnya.

Baca Juga: Komisi II Dukung Penuh Wacana Pengembangan Pangan Lokal di Kotabaru

Hal serupa diutarakan Cindi Shandoval, Founder SKELAS dan Heritage Hero Siak. Cindi mengungkapkan, pangan lokal harus dijaga meskipun ada tantangan dalam kelestariannya, yang bisa membantu menjaga fungsi lahan setempat.

“SKELAS menawarkan pengalaman exclusive Siak traditional dining yang diadakan di Istana Siak. Acara ini menyajikan makanan tradisional Siak yang dimasak langsung oleh maestro. Setiap menu disajikan bersama dengan narasi yang disampaikan kepada tamu terkait asal usul makanan, makna dari makanan, hingga bahan baku yang digunakan," paparnya.

Menu dimasak menggunakan resep turun temurun dan rempah-rempah lokal yang hanya tumbuh di kawasan hutan di Siak. Sehingga, pengalaman itu hanya bisa didapatkan di Siak.

"Oleh karena itu, kami berusaha agar timbul kesadaran bersama menjaga lahan agar rempah lokal tersebut tetap dapat tumbuh di hutan. Selain itu, ada perputaran ekonomi di sana yang bermanfaat bagi masyarakat lokal,” papar Cindi.

Baca Juga: Menu Jejangkit Dominasi Festival Pangan Lokal dan Ikan Batola

Hal itu bisa terwujud, ungkap Cindi, berkat dukungan penuh dari pemerintah kabupaten Siak. Ini merupakan bagian dari upaya untuk menjaga kelestarian makanan tradisional dan kearifan lokal di Siak.

"Saya berharap semoga dengan upaya ini, kita bisa memastikan bahwa makanan tradisional dan bahan pangan lokal di Siak bisa tetap dinikmati oleh anak-cucu kita," tandasnya.