Kasus Hukum Polisi

Polisi 'Lamban' Tangani Kasus Anggota, Lemkapi: Mestinya Diusut Pidana Dulu

Direktur Eksekutif Lemkapi menyatakan seorang polisi yang diduga melakukan pelanggaran pidana, harusnya diproses unsur pidananya dulu

Aparat kepolisian melakukan olah TKP di lokasi pembunuhan sopir taksi online di Perumahan Bukit Cengkeh, Cimanggis, Kota Depok, Senin (23/1). Diketahui pelaku pembunuhan tersebut ternyata oknum anggota Densus 88 antiteror Polri berinisial HS. Foto via Tribunnews

apahabar.com, JAKARTA – Banyaknya kasus pidana yang menyangkut personel kepolisian dengan penanganan yang terkesan lamban dalam pengusutannya menunjukan kemauan kepolisian yang rendah.

Hal ini terlihat dalam penanganan kasus anggota polisi yang melempem. Meskipun sudah ditetapkan sebagai tersangka, kasus yang ditangani Polri untuk anggotanya pun hilang redam.

Sebut saja kasus pembunuhan sopir taksi online oleh anggota Densus 88 Antiteror (AT), Bripda HS. Lalu, ada juga kasus kecelakaan mahasiswa di Cianjur oleh Kompol D, dan masih banyak kasus lainnya.

Baca Juga: Kompolnas Soroti Polda Metro Lamban Usut Kasus Anggota Densus 88

Untuk kasus Bripda HS, keluarga korban sangat menyesalkan pelaku masih menyandang status anggota Polri, yang menurutnya tidak layak disandang oleh seorang pembunuh, apalagi sebagai anggota Densus 88 AT.

Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Strategis Kepolisian Indonesia (Lemkapi) menyebut seorang anggota polisi yang diduga melakukan pelanggaran, semestinya memang disidang secara pidana dulu.

“Yang benar itu memang prosedurnya pidananya dulu (disidangkan), baru etiknya,” ujar Edi kepada apahabar.com, Jumat (7/4).

Baca Juga: Keluarga Korban Tuding Polisi Tutupi Kasus Pembunuhan Densus 88

Edi menjelaskan setelah hasil pidananya dinyatakan berkekuatan hukum tetap (inkrah), barulah biasanya proses etik di institusi Polri akan dilaksanakan. Hasil dari vonis di ranah pidana itu juga akan menjadi pertimbangan bagi Komisi Etik yang menyidangkan.

“Nanti dari hasil vonis yang inkrah itu, Komisi Etik akan mempertimbangkan hukuman etiknya,” ungkapnya.

Dirinya membandingkan kasus-kasus tersebut dengan kasus besar yang pernah terjadi, yaitu Ferdy Sambo. Pada kasus Sambo, ‘polisinya polisi’ itu dinilai memang harus dicopot dan diberikan sanksi pemecatan atau pemberhentian tidak dengan hormat (PTDH) terlebih dulu, sebelum akhirnya dilengkapi penyidikannya, dan disidangkan.

Sebab, Kapolri pun sempat mengakui bahwa beberapa penyidik takut kepada Sambo.

“Kalau Sambo kan dulu ditakutkan akan menghalang-halangi penyidikan, makanya harus dipecat dulu,” katanya.

Baca Juga: Kejari Cianjur Limpahkan Berkas Kasus Tabrak Lari Mahasiswi ke Pengadilan

Ia pun mengingatkan kembali tentang perkataan Kapolri beberapa waktu lalu, yang menyebutkan anggotanya akan diganjar dengan sanksi PTDH bila terkena kasus dengan vonis di atas dua tahun penjara.

Lebih lanjut, ia meminta publik untuk menunggu kembali polisi yang berusaha melengkapi barang bukti dalam setiap kasus yang ada.

“Perkataan Kapolri kan sudah jelas, vonis hukuman (pidana) di atas 2 tahun, pecat!” kata mantan anggota Kompolnas tersebut.

“Ditunggu saja, kan pelaku-pelakunya juga sudah ditangkap kan. Polisi butuh waktu untuk mengumpulkan bukti-buktinya,” pungkasnya.