PN Jakarta Pusat Izinkan Pasangan Nikah Beda Agama, Kok Bisa?

Pengadilan Negeri (PN) di Indonesia semakin terbuka terhadap pernikahan beda agama.

Ilustrasi. Foto-Net

apahabar.com, BANJARMASIN - Pengadilan Negeri (PN) di Indonesia semakin terbuka terhadap pernikahan beda agama.

Setelah Surabaya, Yogyakarta, Tangerang, dan Jakarta Selatan, kini giliran Jakarta Pusat yang mengizinkan pernikahan beda agama.

Keputusan diperbolehkan pernikahan beda agama didasarkan pada Undang-Undang Administrasi Kependudukan (UU Adminduk) dan alasan sosiologis yang menghargai keberagaman masyarakat. Putusan dibolehkan pernikahan beda agama ini tertuang dalam perkara nomor 155/Pdt.P/2023/PN.Jkt.Pst.

Dalam putusan tersebut, disebutkan bahwa calon mempelai pria, JEA, adalah seorang Kristen, sedangkan calon mempelai wanita, SW, adalah seorang muslimah.

Mereka telah menjalin hubungan selama 10 tahun dan memutuskan untuk melangkah ke jenjang pernikahan. Upacara pernikahan mereka dilangsungkan di sebuah gereja di Pamulang, yang dihadiri oleh orang tua kedua mempelai.

Namun, ketika mereka mencoba mendaftarkan pernikahan mereka di Dinas Catatan Sipil Jakarta Pusat, permohonan mereka ditolak karena perbedaan agama.

Oleh karena itu, mereka mengajukan permohonan ke PN Jakarta Pusat untuk mendapatkan izin, dan akhirnya permohonan mereka dikabulkan.

"Diberikan izin kepada para pemohon untuk mencatatkan perkawinan beda agama di Kantor Suku Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Jakpus," kata Hakim Tunggal Bintang AL seperti dilansir dari detik, Minggu (25/6).

Hakim Bintang AL menjelaskan bahwa putusan ini sesuai dengan Pasal 35 huruf a UU 232006 tentang Adminduk.

Selain itu, putusan ini juga berdasarkan keputusan Mahkamah Agung Nomor 1400 K/PDT/1986 yang mengabulkan kasasi terkait izin pernikahan beda agama.

Dalam konteks pernikahan beda agama, keputusan PN Jakpus menjadi langkah maju dalam mewujudkan kebebasan beragama dan menghargai perbedaan.

Sebelumnya, hakim Pengadilan Negeri (PN) Yogyakarta, Agnes Hari Nugraheni, mengizinkan sepasang kekasih yang beragama Islam dan Katolik menikah. Calon pengantin pria, YC (27), dan calon pengantin wanita, AG (26), sebelumnya sudah menikah secara agama.

"Oleh karena itu, untuk mencegah terjadinya penyimpangan dalam kehidupan masyarakat di mana seorang pria dan wanita hidup bersama sebagai suami istri tanpa ikatan perkawinan yang sah (kumpul kebo) karena berbeda agama sehingga tidak dapat melangsungkan perkawinan yang sah, maka hukum harus memberi jalan keluar terutama memberi perlindungan dan pengakuan status pribadi dan status hukum dalam setiap peristiwa penting yang dialami masyarakat, khususnya dalam hal perkawinan," tegas Agnes Hari Nugraheni.