Energi Bersih

PLN Bangun Pembangkit 10,6 GW hingga 2025, IESR: PLTS Harus Diperbanyak

Kementerian ESDM mengungkapkan potensi besar Indonesia untuk mengekspor listrik hijau atau energi baru terbarukan (EBT) ke Singapura.

Manajer Program Transformasi Energi IESR, Deon Arinaldo. Foto: IESR

apahabar.com, JAKARTA - Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengungkapkan potensi besar Indonesia untuk mengekspor listrik hijau atau energi baru terbarukan (EBT) ke Singapura.

Potensi pasokan EBT di Indonesia, menurut data Kementerian ESDM sangat besar secara nasional, nilainya mencapai 3.600 sampai 3.700 gigawatt.

Beberapa waktu lalu, Dirjen Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM Dadan Kusdiana menjelaskan keperluan listrik Indonesia di 2060 untuk 40 tahun ke depan sebesar 700 megawatt. Atas dasar itu, Indonesia memilik potensi yang besar untuk melakukan ekspor ke Singapura.

Pengamat energi dari Institute for Essential Services Reform (IESR) Deon Arinaldo mengamini hal itu. Menurutnya, potensi yang dimiliki Indonesia sangat besar dan berpeluang untuk dikembangkan secara masif.

Dari total 3700 gigawatt itu, kata Deon, ternyata hanya sekitar 3000 gigawatt yang berasal dari energi surya. Sementara itu, penggunaan tenaga surya belum dioptimalkan dengan baik.

"Saat ini sayangnya pengembangan energi terbarukan tidak signifikan, hanya tumbuh sekitar 300-500 MW per tahun," ujar Deon kepada apahabar.com, Rabu (17/5).

Hal itu seharusnya menjadi koreksi dalam kebijakan pemerintah yang dituangkan dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PLN, mengingat energi dari sumberdaya matahari melimpah sepanjang tahun.

PT PLN (Persero) telah menargetkan akan membangun pembangkit energi bersih sebesar 10,6 gigawatt hingga tahun 2025. Langkah itu dianggap sebagai komitmen untuk mencapai target bauran energi baru terbarukan 23 persen dalam empat tahun ke depan.

Dari 10,6 gigawatt pembangkit energi bersih itu, ternyata sebanyak 1,4 gigawatt merupakan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP), dan 3,1 gigawatt Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA).

Sementara itu, porsi Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro (PLTM) 1,1 gigawatt, Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) 3,9 gigawatt, Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB) 0,5 gigawatt, dan Pembangkit Listrik Tenaga Biomassa (PLTBio) 0,6 gigawatt.'

Seharusnya, menurut Deon, ketika regulasi telah diperbaiki, penggunaan pembangkit listrik tenaga surya menjadi prioritas. Jumlahnya harus lebih dari 3,9 gigawatt.

"Beberapa regulasi sudah diperbaiki seperti penetapan tarif untuk energi terbarukan dengan perpres 112/2022," ujarnya.

Selain itu, Deon mengharapkan adanya perbaikan dari sisi proses lelang atau pengadaan pembangkit energi terbarukan oleh PLN. Sudah seharusnya pengadaan yang berdampak pada hajat hidup orang banyak, dilakukan dengan terstruktur, terjadwal, dan transparan.

Saat ini, PLN telah memetakan peluang yang dapat dimanfaatkan untuk mendukung program percepatan karbon netral pada 2060. Salah satunya adalah peta jalan pengembangan pembangkit energi bersih sesuai dengan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) periode 2021-2030.