UU Kesehatan

PKS dan Demokrat Tolak UU Kesehatan, Pasal Apa Saja yang Kontroversial?

Pengesahan UU Kesehatan membawa polemik. Tak semua fraksi setuju dengan UU yang terdiri dari 20 bab dan 478 pasal ini.

Demo yang dilakukan para tenaga kesehatan di depan gelding DPR. Foto: Antara

apahabar.com, JAKARTA – Pengesahan UU Kesehatan membawa polemik. Tak semua fraksi setuju dengan UU yang terdiri dari 20 bab dan 478 pasal.

Pimpinan Komisi IX DPR RI, Emanuel Melkiades Laka Lena menjelaskan poin penting dalam UU Kesehatan antara lain pemerintah daerah (pemda) wajib untuk memprioritaskan anggaran kesehatan dalam APBD dengan basis kinerja.

Poin selanjutnya, melalui Surat Tanda Registrasi (STR) bagi tenaga kerja yang akan berlaju seumur hidup, poin ini menurut Melkias adalah demi untuk memajukan sistem kesehatan di Indonesia dan memberikan pelayanan terbaik sehingga masyarakat Indonesia tidak perlu berobat ke luar negeri.

Namun, dalam hal ini, dua fraksi yaitu Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Demokrat menolak RUU Kesehatan ini.

Dede Yusuf, anggota fraksi dari Demokrat menjelaskan pihaknya keberatan dengan penghapusan ketentuan ‘mandatory spending’ atau ketentuan minimal anggaran kesehatan sebesar 5 persen. 

Baca Juga: Sah Jadi UU Kesehatan, Ini Aspek Penting yang Wajib Jadi Perhatian

Menurut Demokrat, dengan dihapusnya hal tersebut akan menunjukkan kurangnya komitmen pemerintah terhadap masalah kesehatan di Indonesia.

Menurut Dede Yusuf, mandatory spending ini mending untuk memenuhi pelayanan kesehatan dan untuk mencapai Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dalam RPJMN 2022-2024 yang menjadi 75,45%.

“Demokrat komitmen perjuangkan anggaran kesehatan, kebijakan pro kesehatan minimal lima persen di APBN, hendaknya bisa ditingkatkan jumlahnya. Namun tidak disetujui dan pemerintah memilih menghapus,” jelas Dede Yusuf saat berada di Rapat Paripurna DPR (11/7).

Isu lain yang membuat Demokrat berat adalah dibukanya pintu akses untuk ‘impor’ dokter. Dalam hal ini, Demokrat mendukung untuk kemajuan praktik dokter asing namun harus memprioritaskan dokter Indonesia lulusan dalam negeri terlebih dahulu. Menurut Demokrat, proses penyusunan RUU ini terlalu tergesa-gesa.

Mengalami hal yang sama, anggota dari fraksi PKS, Netty Prasetiyani juga memaparkan proses penyusunan UU Kesehatan dapat menjadi preseden yang kurang baik untuk legislasi ke depannya.

Bagi PKS, pembahasan soal beleid ini dilakukan tergesa-gesa, pada akhirnya tidak mencapai apa yang disebut sebagai meaningful participation.

Menurut Netty, dengan dihapuskannya alokasi anggaran 5% dalam UU Kesehatan merupakan kemunduran dari upaya untuk menjaga kesehatan masyarakat Indonesia.

Baca Juga: RUU Kesehatan Mengundang Pro dan Kontra, Puan: Keputusan Sudah Diambil

“Bagi PKS, mandatory spending penting untuk kesediaan pembiayaan kesehatan yang berkesinambungan. Dengan adanya alokasi data tersebut, jaminan anggaran kesehatan bisa teralokasi secara adil,” ucap Netty.

“Karena itu PKS memandang mandatory spending merupakan ruh dan bagian terpenting di UU Kesehatan,” tambanya.

Rupanya, Ikatan Dokter Indonesia (IDI), perawat maupun apoteker menolak UU Kesehatan ini. Tepat diluar gedung DPR, para tenaga kesehatan berkumpul dan menyampaikan aspirasi mereka menolak UU Kesehatan.

Mohammad Adib Khumaidi, Ketua Umum IDI, menjelaskan bahwa unjuk rasa ini menjadi salah satu upaya mereka untuk mendesak RUU Kesehatan dicabut.

Adib Khumaidi juga mengkhawatirkan pengapusan mandatory spending minimal 5% karena akan berdampak pada beban pembiayaan kesehatan yang nantinya ditanggung lebih besar oleh masyarakat.

Noffendri Roestam, Ketua Umum Pengurus Ikatan Apoteker Indonesia (IAI) juga mengungkapkan UU Kesehatan ini akan sulit untuk diimplementasikan karena tidak mendapat dukungan dari nakes dan tenaga medis.

Noffendri mengkritik salah satu pasal yaitu, Pasal 145 ayat 3 yang mengatur tentang pelayanan farmasi dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan lain, selain tenaga farmasi. Menurutnya, ini merupakan pasal karet karena berpotensi untuk mengurangi penyerapan nakes apoteker yang sebenarnya tidak kurang.

“Setiap tahun apoteker diambil sumpahnya sebanyak 7.000 orang, engga akan kekurangan Indonesia akan tenaga apoteker. Sekarang tinggal pemerintahnya apakah mau menyerap atau tidak,” tegasnya.

Permasalahan ini rupanya akan diambil serius oleh sejumlah pihak yang menolak. Mohammad Adib Khumaidi menjelaskan langkah yang mungkin diambil adalah meminta judicial review ke MK agar UU Kesehatan dicabut. Adib mengaku optimis dalam hal ini karena saat pembahasan UU Kesehatan ini dilakukan, pemangku kepentingan seperti organisasi profesi tidak dilibatkan.

Baca Juga: Ibas Ungkap Alasan Fraksi Demokrat Tolak Ketok RUU Kesehatan

Mereka juga siap untuk melakukan mogok kerja bersama jika DPR masih bersikeras dalam mengesahkan beleid tersebut.

“Kami menyiapkan opsi mogok dalam upaya tidak merugikan kepentingan kesehatan rakyat, tidak juga merugikan regulasi yang ada tapi it akan tetap jadi opsi yang akan kami siapkan,” ucap Adib.

Berikut adalah pasal yang kontroversial dalam RUU Kesehatan.

-  Pasal 154 ayat 3
Berbunyi: "Zat adiktif sebagaimana dimaksud pada ayat 2 dapat berupa narkotika; psikotropika; minuman beralkohol; hasil tembakau; dan hasil pengolahan zat adiktif lainnya."

Pasal ini dianggap kontroversial karena tembakau digabung menjadi satu dengan narkotika dan priskotropika dalam satu kelompok zat adiktif. Organisasi IDI khawatir dengan penggabungan ini karena akan menyebabkan aturan yang nantinya akan mengekang tembakau jika posisinya disetarakan dengan narkoba.

-  Pasal 233 – 241
Dalam pasal ini akan memudahkan dokter asing maupun dokter diaspora untuk beroperasi dalam negeri.

Tertera bahwa “Tenaga Kesehatan warga negara asing lulusan luar negeri yang telah lulus proses evaluasi kompetensi dan akan melakukan praktik di Indonesia harus memiliki Surat Tanda Registrasi (STR) sementara dan Surat Izin Praktik (SIP).

Kementerian Kesehatan sendiri menyatakan bahwa syarat dokter asing jika ingin bekerja dan berpraktik di Indonesia akan melalui proses ketat dan nantinya akan diberi arahan untuk memberikan pelayanan kesehatan di daerah 3T (daerah tertinggal, terdepan dan terluar).

Namun, Usman Sumantri sebagai Ketua Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI), menilai peraturan ‘impor’ dokter asing akan berisiko terhadap pelayanan masyarakat.

- Pasal 235 ayat 1
Tertulis “Untuk mendapatkan SIP (Surat Izin Praktik) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 234 ayat 2, tenaga kesehatan harus memiliki Surat Tanda Registrasi (STR), alamat praktik dan bukti pemenuhan kompetensi".

Menurut IDI, beleid ini sama seperti mencabut peran organisasi profesi dalam hal praktik nakes yang tidak memerlukan lagi surat rekomendasi dari organisasi profesi tersebut.

- Pasal 239 ayat 2
Tertulis “Konsil kedokteran Indonesia dan Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat 1 berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab kepada Menteri”.

IDI memandang pasal ini akan melemahkan organisasi profesi karena fungsinya akan diambil alih oleh Kementerian Kesehatan

-  Pasal 314 ayat 2
"Setiap kelompok Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan hanya dapat membentuk satu organisasi profesi". Hal tersebut akan membuat organisasi profesi lainnya mengalami gangguan.

Dalam pasal 193, tertera ada 10 jenis tenaga kesehatan yang kemudian dibagi lagi atas beberapa kelompok. Maka total kelompok nakes ada 48. IDI mengaku bingung dengan pasal ini, karena satu organisasi profesi tidak dapat menaungi setiap jenis kesehatan. Contohnya peran dokter gigi, dokter umum yang memiliki visi dan misi yang tidak sama.


-  Pasal 462 ayat 1
Tertulis bahwa, "Setiap tenaga medis atau tenaga kesehatan yang melakukan kelalaian berat yang mengakibatkan pasien luka berat dipidana dengan pidana penjara paling lama tiga tahun."

Lalu dilanjutkan dalam pasal 2 yang berbunyi, "Jika kelalaian berat sebagaimana dimaksud pada ayat 1 mengakibatkan kematian, setiap tenaga kesehatan dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun".

Menurut IDI, kedua pasal tersebut merupakan bentuk dari kriminalisasi terhadap dokter karena tidak ada penjelasan detail terkait bentuk kelalaian yang dimaksud.