Politik

Pilkada Kalsel, Jalur Independen Lebih Memikat Para Penantang Petahana

apahabar.com, BANJARMASIN – Minat para tokoh untuk bertarung di Pilkada 2020 cenderung meningkat. Namun yang menarik,…

Ilustrasi Pilkada Serentak 2020. Foto-apahabar.com/Zulfikar

apahabar.com, BANJARMASIN – Minat para tokoh untuk bertarung di Pilkada 2020 cenderung meningkat. Namun yang menarik, jalur independen lah yang dirasa lebih memikat para calon untuk menantang calon petahana. Apa alasannya?

Pilkada Serentak tinggal menghitung hari. Dari Kalsel, sejumlah pihak menyebut minat para tokoh untuk bertarung di Pilkada tahun ini meningkat.

“Ada tiga alasan meningkatnya minat para tokoh memilih jalur independen di ajang pemilihan kepala daerah,” ucap Pengamat Politik dan Kebijakan Publik FISIP ULM, Taufik Arbain, Rabu (12/2) pagi.

Yang pertama, sebut dia, adalah realitas di beberapa tempat penjuru tanah air termasuk Kalsel bahwa para calon independen pernah memenangkan pilkada kabupaten atau kota. Sebut saja seperti kasus Wali Kota Banjarbaru Nadjmi Adhani pada 2015 silam, atau H Muhidin yang nyaris memenangkan Pilgub Kalsel di tahun yang sama.

“Ini adalah fakta bahwa jalur yang difasilitasi Undang-Undang ini telah membuktikan kemampuan dalam merebut kemenangan kursi kepala daerah,” jelasnya.

Kedua, jika menggunakan dukungan partai politik (parpol) bisa terbentur ‘mahar politik’ yang biasanya dihitung berdasarkan jumlah kursi partai di parlemen.

“Misalnya 4 kursi dikali Rp300 juta, maka satu partai sang calon harus menyediakan mahar Rp1,2 miliar. Ini belum termasuk biaya survei kisaran Rp100-250 juta hingga biaya ‘wara-wiri’ lobbying ke elite partai,” tegasnya.

Terlebih, jika ada kontrak untuk operasional lapangan dari para kader parpol. Menurutnya, penyediaan dana pada tataran mendapat perahu ini bagi para pemilih jalur independen sudah mampu membiayai cost atau ongkos politik sampai 5-8 kecamatan lewat jalur independen.

Selanjutnya, dukungan parpol terhadap pencalonan dinilai tidak signifikan dengan kerja-kerja politik pada mesin parpol. Meski, ada sebagian parpol yang konsisten dengan komitmen yang dibuat. Justru selama ini, menurut dia, yang masif, militan, dan sistematik di lapangan adalah mesin politik bentukan sang calon dengan berbagai level dan koneksi jaringan.

“Bahkan, dengan beragam sebutan untuk memberikan kesan emosional mendalam dalam menghadapi pertarungan pilkada,” paparnya.

Oleh sebab itu, tidak heran jalur independen bahkan mereka yang melewati dukungan partai tetap memanfaatkan tim sukses dan jaringan dari kalangan entitas, perkumpulan, forum, ormas, dan lainnya.

“Fenomena ini menarik dalam melihat perpolitikan di Banua dan Indonesia secara umum. Bahwa ada banyak figur yang bukan dari bentukan dan kader partai, tetapi memilih jalur independen dikarenakan aspek kapasitas figur sangat menentukan elektabilitas,” terangnya.

Justru berdasarkan survei Banua Meter akhir 2019 kemarin, alasan memilih figur karena dukungan partai politik hanya mencapai 10% saja. Sisanya dilihat dari kapasitas, kapabilitas, dan emosional sang figur.

Kondisi ini, ungkap dia, sangat memungkinkan terjadi pemetaan baru di parpol. Ketika para kandidat yang sudah mendapat jalur independen berhasil, maka kemungkinan partai politik akan melakukan ‘diskon mahar’ kepada para kandidat yang menginginkan jalur partai politik.

“Apalagi sang calon berdasarkan survei potensial memenangkan,” bebernya.

Dalam kondisi ini, sangat diperlukan inteligensi politik sehingga mampu menakar dan mengatur strategi soal hitungan cost politics tadi.

Meski begitu, para kandidat yang memilih jalur independen ini bukan tanpa halangan, sebab sangat mungkin menemui jalan terjal.

Tidak hanya pada proses pengumpulan syarat berupa KTP dan isian formulir lainnya, namun bisa saja pada saat diverifikasi lembaga KPUD.

Hal ini berkaca pada kasus calon independen terjegal di KPUD seperti peristiwa di Batola dan Tapin, pada pilkada sebelumnya.

“Dengan alasan tertentu, padahal saat itu hanya satu calon independen,” katanya.

Oleh sebab itu, ia menyarankan agar penting kiranya menjaga ‘keselamatan’ pencalonan.

Maka, kontrol terhadap kinerja dan komitmen lembaga penyelenggara Pilkada 2020 ini sangat penting dilakukan stakeholders dan tim sukses.

Pertanyaannya, jika para kandidat dari jalur independen ini memenangkan pilkada, apakah akan terhambat dalam formulasi kebijakan di DPRD dikarenakan anggota DPRD semua berasal dari partai? Menurutnya tentu tidak. Sebab kalau seseorang itu sudah menang dan menjadi kepala daerah, maka bak laksana gula yang dikerumuni semut.

“Tidak ada kawan dan lawan yang abadi kecuali kepentingan,” tandas alumnus FISIP UGM ini.

Baca Juga:Sambut Pilkada 2020, PDIP Tanbu Mulai Rapatkan Barisan

Baca Juga:KPU Banjarmasin Sudah Terima Berkas Dua Pasang Bakal Calon Perseorangan

Reporter: Muhammad Robby
Editor: Fariz Fadhillah