Megaproyek Food Estate

Petani Muda Semakin Langka, Food Estate Alamat Gagal

Guru Besar Institut Pertanian Bogor (IPB) Edi Santosa menyatakan kegagalan food estate adalah imbas dari minimnya jumlah petani muda.

Kapuspen TNI Belum Dengar Kasus Dugaan Intimidasi dan Teror di Food Estate. Foto Walhi Kalteng for apahabar.com

apahabar.com, JAKARTA - Guru Besar Institut Pertanian Bogor (IPB) Edi Santosa menyatakan kegagalan food estate adalah imbas dari minimnya jumlah petani muda. Sebab, kurangnya regenerasi petani dan transformasi pertanian yang belum optimal dikarenakan masih minimnya ekosistem bagi para petani muda.

"Kegagalan Food Estate, itu karena tidak berangkat dari kecukupan ekosistem bagi petani muda," katanya kepada apahabar.com, Senin (22/1).

Dia meyakini, kegagalan gambut sejuta hektar tersebut bisa dijawab dengan membuka kesempatan pemuda di Kalimantan Tengah (Kalteng) untuk sekolah di pertanian. Sehingga mereka akan mandiri membuka Food Estate. Demikian juga di Merauke.

"Jadi jangan semata hanya pendekatan bisnis, investasi pada pemuda perlu serius di berikan. Saya sangat yakin itu," terang dia.

Baca Juga: [ANALISIS] Tak Cukup Cak Imin-Mahfud Hanya Serang Food Estate

Dia merinci ada tiga hal yang harus diperbaiki untuk memperkuat ekosistem untuk para petani muda.

Pertama, pemerintah perlu membangun petani pemuda pelopor yang menguasai ilmu bisnis pertanian dan petani pemuda yang menguasai teknologi.

Kedua, memberi kesempatan para pemuda untuk menimba ilmu apakah melalui sekolah, magang atau kunjungan.

Ketiga, memberikan insentif atau dukungan ekosistem kebijakan agar pemuda petani bisa berkembang sampai jadi.

Adapun insentif yang diberikan bisa berupa kemudahan meminjam lahan ke pemerintah jika mereka tidak punya lahan. Termasuk dukungan permodalan teknologi, dan dukungan pemasaran.

"Kalau itu semua serius dikerjakan, tentu sudah sangat bagus. lain-lain lebih bersifat teknis yang dinamis," katanya kepada apahabar.com.

Baca Juga: Debat Cawapres, Cak Imin: Setop Food Estate

Berkaca pada negara maju, jumlah petani hanya cukup 2-3 persen saja dari jumlah penduduk. Karena mereka dibantu dengan teknologi termasuk skala usaha yang luas.

Sementara, merujuk pada data BPS, angka persentase petani tulen kita masih sekitar 30 persen dari total orang bekerja fulltime.

"Dari jumlah itu sekitar 21 persennya petani muda atau hampir 80 persen adalah petani kelompok baby boomer dan generasi X ya," papar dia.

Karena itu, lanjut dia, tantangan Indonesia ke depannya adalah harus melahirkan generasi petani muda. Bukan hanya menjadi perantara produk pertanian. Tapi juga harus bisa memanfaatkan IT.

Baca Juga: Prabowo Sesumbar Food Estate Kunci Kedaulatan Pangan

Pasalnya, bila petani muda enggan menggantikan generasi tua, maka tentu terjadi penurunan produktivitas lahan dan pada gilirannya produksi nasional juga menurun.

"Ini angka penurunan akan paralel dengan peningkatan impor. Semakin gagal kita menarik generasi muda, maka semakin besar impor," ungkap dia.

Sementara, dari data survei pertanian Susenas. Angka minat petani mengalami penurunan Hingga 2 persen dalam 10 tahun.

Tetapi dalam survei tersebut, guru besar IPB itu mengatakan tidak ada data penyebab penurunannya. Sehingga dia hanya bisa menduga.

"Dalam survey tidak ada data penyebab penurunannya. Jadi kita hanya bisa menduga-duga," ujarnya.

Baca Juga: Debat Baru Dimulai, Cak Imin Sentil Food Estate Prabowo

Dia menduga penurunan itu karena pemerintah gagal dalam transformasi pertanian dari pertanian berbasis otot (tenaga kerja kasar) menjadi pertanian berbasis otak (teknologi).

"Mekanisasi kita baru sekedar menggantikan orang dengan mesin. Belum menyentuh ekosistem mekanisasi," tandasnya.