Peraturan Menteri

Perubahan Permen ESDM Soal PLTS Dianggap Pangkas Perekonomian

Rencana Perubahan Peraturan Menteri (Permen) ESDM soal PLTS dinilai berpotensi melemahkan minat pasar resedensial.

Perubahan Permen ESDM soal PLTS dianggap pangkas perekonomian. Foto: dok. Antara

apahabar.com, JAKARTA - Rencana Perubahan Peraturan Menteri (Permen) ESDM soal Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) dinilai berpotensi melemahkan minat pasar resedensial.

Permen itu tertuang dalam nomor No. 26/2021 tentang PLTS atap yang terhubung pada Jaringan Tenaga Listrik Pemegang IUPTL untuk Kepentingan Umum.

"Perubahan ini dimaksudkan untuk menjawab kendala-kendala pemasangan PLTS atap yang terjadi dalam setahun terakhir sejak Peraturan Menteri tersebut resmi dikeluarkan," kata Ketua Umum Asosiasi Energi Surya Indonesia (AESI), Febby Tumiwa, dalam keterangan tertulis, Jumat (6/1).

Febby mengungkapkan bahwa sejak diundangkan pada Agustus 2021 lalu, Permen tersebut praktis tidak berjalan karena PT PLN (Persero) menolak pelaksanaannya.

Baca Juga: Tragedi Km 171, Menteri ESDM Mulai Evaluasi IUP Perusahaan

Akibatnya, target pemerintah mencapai 450 MWp tambahan kapasitas PLTS di 2022 tidak tercapai.

“Revisi ini sepertinya merupakan titik temu kepentingan pemerintah dengan PLN dan sangat mengakomodasi kepentingan PLN untuk menurunkan potensi ekspor listrik dari pengguna PLTS akibat regulasi net-metering karena kondisi overcapacity," imbuhnya.

Namun, pihak AESI menyayangkan akomodasinya justru berpotensi memangkas perekonomian dan minat PLTS atap golongan residensial, yang berpotensi tumbuh.

Pembatasan kapasitas PLTS atap 10-15% terjadi di berbagai wilayah di Indonesia untuk beragam pelanggan, baik residensial dalam skala kilowatt hingga ke pelanggan industri dengan kapasitas dalam skala megawatt. 

"Pembatasan kapasitas ini tidak sesuai dengan ketentuan Permen ESDM No. 26/2021 (maksimum 100%) dan menurunkan minat calon pelanggan untuk menggunakan PLTS atap," ungkapnya.

Baca Juga: Hadapi Banjir Rob, Pemda DKI Telah Siapkan Pompa Hingga Perahu

Dalam usulan perubahan substansi Permen tersebut, pembatasan kapasitas hingga 100% tidak akan diberlakukan kembali melainkan didasarkan pada sistem kuota per sistem dan bersifat first come, first serve.

Fabby menjelaskan, perubahan ini menjawab langsung pembatasan kapasitas yang terjadi di lapangan.

Namun, teknis penentuan kuota sistem perlu diperjelas terutama dalam kaitannya dengan rencana pengembangan energi terbarukan di daerah, serta periode waktu penetapan kuota per 5 tahun yang terlalu lama karena dinamika penyediaan listrik.

Peniadaan net-metering dengan penghapusan ekspor listrik ke jaringan PLN yang berlaku untuk semua kategori pelanggan tanpa terkecuali akan berdampak besar pada pasar residensial (rumah tangga).

“Tingkat keekonomian PLTS atap saat ini masih dipengaruhi oleh net-metering karena profil beban rumah tangga yang kebanyakan di malam hari," ujarnya.

Baca Juga: Diduga Ada Tambang Batu Bara Ilegal di Banjarbaru, Ini Respons Kapolda Kalsel

"Tidak adanya ekspor akan menurunkan pengurangan tagihan listrik rumah tangga dan memperpanjang masa balik modal (payback period) pembelian sistem PLTS atap,” lanjut Fabby.

Proyek Strategis Nasional (PSN) PLTS atap dengan target 3,6 GW pada tahun 2025 dan pencapaian target energi terbarukan 23% justru mensyaratkan adanya partisipasi masyarakat.

Dengan pangsa pasar 20% saja untuk pelanggan golongan R2 dan R3 (3.500 VA ke atas), terdapat potensi 400.000 rumah tangga di seluruh Indonesia – setara dengan
1,2 GWp PLTS atap jika masing-masing memasang minimal 3 kWp.