Perjuangan Seorang Penyandang Disabilitas Berdayakan Ekonomi Tetangga

Urip Parmin seorang penyandang disabilitas tidak menyerah dengan keadaan. Ia membuat usaha alat rumah tangga dengan turut memberdayakan tetangganya.

Penyandang disabilitas, Urip Parmin sedang memproduksi kemoceng di rumah kontrakannya di Tegallega, Bagor Utara, Kota Bogor. (Foto: apahabar.com/Gabid Hanafie)

apahabar.com, JAKARTA – Tidak ada batasan bagi seseorang membuka usaha. Setiap orang memiliki kesempatan yang sama untuk membangun bisnis sendiri. Tidak terkecuali bagi penyandang disabilitas.

Urip Parmin (72 tahun), dengan keterbatasan fisiknya memilih untuk membangun membangun usaha alat rumah tangga. Usaha tersebut dikerjakannya untuk memenuhi kebutuhannya sehari-sehari.

“Tetap bekerja walaupun ada kekurangan di kaki,” ujarnya kepada apahabar.com, Senin (31/10).

Baca Juga: Punya Peluang Besar, Bisnis F&B Perlu Kembangkan Produk

Parmin pertama kali datang ke Bogor pada 40 tahun yang lalu. Saat itu, Parmin ingin merantau untuk mencari pengalaman baru dari Kecamatan Bumiayu, Brebes, Jawa Tengah. Perantauannya dilakukan tanpa sepengetahuan orang tua.

Kedatangannya ke Bogor, pertama kali mengambil pekerjaan sebagai tukang sol sepatu. Kemudian dilanjutkan sebagai penjual koran, hingga akhirnya masuk ke dalam pembinaan Dinas Sosial.

“Tahun 1990, saat dibina oleh Dinas Sosial, ambil bagian kegiatan praktek pembuatan peralatan rumah tangga, yaitu membuat, keset, sapu, kemoceng, tapi yang masih aktif dibuat itu kemoceng,” tuturnya.

Alasannya memilih kemoceng sebagai porduk utamanya adalah karena bahan-bahan pembuatannya, lebih mudah ditemui, seperti tali rapia sampai dengan bambu.

Parmin mematok harga satu kemoceng dengan harga Rp25 ribu. Adapun biaya produksi sebesar Rp18 ribu. Biaya produksi tersebut sudah termasuk untuk membayar pekerja.

Baca Juga: Cerita Sambal Bakar Indonesia Bangun Bisnis Kuliner Berawal dari Permintaan Netizen

Usaha produksi alat kemoceng yang diproduksinya, Parmin dibantu sebanyak lima orang pekerja. Berbeda dengan Parmin, kelima pekerjanya tersebut dalam kondisi normal yang sebagian besar merupakan tetangganya.

“Penyandang disabilitas bekerja tanpa dibantu dari orang dengan kondisi nomal akan sangat sulit untuk bergerak. Sehingga penting untuk saling kerja sama,” imbuhnya.

Setiap pekerja dibayar, saat ada kemoceng yang laku dibeli. Sistem pembayarannya borongan, jadi dihitung dari berapa kemoceng yang terjual. Setiap satu kemoceng, pekerja akan dibayar sebesar Rp3000.

Parmin memilih untuk tidak melakukan penjualan secara online. Alasannya adalah karena belum mengerti cara berjualan online dan tidak memiliki alat pendukungnya.

Baca Juga: UMKM Menempati Posisi Terbawah dalam Piramida Literasi Keuangan

Selama ini ia menjual kemoceng dengan cara berkeliling dengan menggunakan kursi roda. Ia menjualnya kepada orang-orang yang melintas berpapasan dengannya di sepanjang jalan yang ia lewati.

“Cara jual kemoceng dilakukan dengan keliling kota, karena jika jualan di tempat biasanya tidak ada yang beli,” ungkapnya.

Sehari Parmin hanya bisa menjual dua kemocang. Jumlah yang paling banyak dia jual sampai dengan lima.

Bahkan, terkadang kemoceng yang ia jual masih ditawar juga oleh pembeli seharga Rp18 ribu. Sehingga keuntungannya belum mencukupi untuk kebutuhan sehari-hari.

“Mereka (pekerja) juga tahu kalau semisal barangnya kurang laku juga gak apa-apa. Terlebih lagi kalau jualan laku sedikit,” kata Parmin.