Tren Ekonomi Global

Perekonomian Global, Menkeu: Trennya Masih Tertahan dan Tidak Pasti

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati  menyebutkan tren perekonomian global saat ini masih dalam kondisi tertahan dan tak pasti.

Menteri Keuangan Sri Mulyani memberikan pemaparan dalam konferensi pers APBN KiTa edisi Juni 2023 yang dipantau secara daring di Jakarta, Senin (26/6/2023). Foto: ANTARA

apahabar.com, JAKARA - Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati  menyebutkan tren perekonomian global saat ini masih dalam kondisi tertahan dan tak pasti.

Menurut dia, berbagai prediksi lembaga yang dikeluarkan dunia, seperti Dana Moneter Internasional (IMF), Bank Dunia dan Organisasi untuk Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD), menggambarkan tren perekonomian 2023 cukup lemah bila dibandingkan dengan tahun 2022 maupun 2021.

“Saya baru saja kembali dari Paris Summit 2023 dan memang menggambarkan proyeksi pertumbuhan ekonomi global masih tak pasti,” ujar Sri Mulyani dalam konferensi pers APBN KiTa edisi Juni 2023 yang dipantau secara daring di Jakarta, Senin (26/6).

Menkeu menjelaskan Bank Dunia memperkirakan pertumbuhan ekonomi global pada tahun ini hanya akan berada di kisaran 2,1 persen. Sementara IMF memprediksi pertumbuhan ekonomi global 2023 sebesar 2,7 persen dan proyeksi OECD sebesar 2,7 persen.

Baca Juga: Realisasi APBN, Menkeu: Surplus Rp204,3 Triliun hingga Mei 2023

"Sejalan dengan pelemahan ekonomi global, perdagangan global juga menunjukkan pelemahan yang signifikan pada 2023," ujarnya.

IMF memprediksi perdagangan global tumbuh hanya sekitar 2,4 persen pada tahun ini, lebih rendah bila dibandingkan pertumbuhan pada 2022 yang tercatat sebesar 5,1 persen dan pada 2021 sebesar 10,6 persen.

Adapun dari sisi inflasi, IMF memproyeksikan laju inflasi akan mengalami tren penurunan. Inflasi dunia diperkirakan mencapai 7,0 persen pada 2023, dengan inflasi Amerika Serikat sebesar 4,5 persen dan negara berkembang sebesar 8,6 persen.

"Meski begitu, prediksi laju inflasi pada 2023 masih lebih tinggi bila dibandingkan tren inflasi sebelum masa pandemi COVID-19," terangnya.

Baca Juga: Gunakan 'Blended Finance', Kemenkeu: untuk Mendorong Transisi Energi

Di sisi lain, eskalasi geopolitik di Ukraina dan beberapa negara besar di dunia serta debt distress di negara berkembang maupun negara maju juga masih memberi tekanan pada perekonomian global.

“Beberapa negara sektor keuangannya mengalami kerapuhan. Inflasi tinggi dan suku bunga yang meningkat menjadi salah satu faktor yang menyebabkan erosi pertumbuhan ekonomi negara-negara tersebut,” jelas Sri Mulyani.

PMI Manufaktur juga masih memberi tekanan yang tinggi. Di kalangan negara G20 dan ASEAN-6, hanya 24 persen negara yang berada pada posisi ekspansi dan meningkat, yaitu India, Filipina, Rusia, Jepang, dan China. Sementara negara yang berada di zona ekspansi hanya sekitar 14 persen, termasuk Indonesia, Thailand dan Meksiko.

“Ini menggambarkan aktivitas dari PMI manufaktur, kondisi ekonomi keseluruhan, dan pertumbuhan ekonomi global termasuk perdagangan global mengalami pelemahan,” ujar Sri Mulyani.