Perdagangan Karbon

Perdagangan Karbon, WALHI: Jawaban Krisis Iklim Sarat Masalah Etik

Krisis iklim bukan lagi fenomena yang diperkirakan kapan datangnya. Menurut Deputi WALHI Nasional, hal itu sudah nyata adanya. Bahkan, syarat akan masalah etik.

Krisis iklim bukan lagi fenomena yang diperkirakan kapan datangnya. Menurut Deputi WALHI Nasional, Islah, hal itu sudah nyata adanya. Bahkan, sarat akan masalah etik. (apahabar.com/Tangkapan Layar: Ayyubi)

apahabar.com, JAKARTA - Krisis iklim bukan lagi fenomena yang diperkirakan kapan datangnya. Deputi Internal Walhi Nasional Muhammad Islah mengungkapkan hal itu sudah nyata adanya, bahkan sarat dengan masalah etik.

Krisis iklim sudah terjadi dan menimpa banyak masyarakat di wilayah tertentu. Islah mencontohkan wilayah di pesisir utara Jawa yang telah mengalami kerugian besar. Tak sedikit warga terpaksa harus mengungsi.

"Mereka harus berpindah karena muka air laut yang semakin tinggi," kata Islah pada diskusi perdagangan karbon di Jakarta, Jumat (4/8).

Lebih jauh, Islah membeberkan fakta-fakta yang menurutnya, sudah mengarah pada kondisi krisis. Uniknya, meskipun kritis, hal itu masih sering ditolak dan masyarakat menganggap pemanasan global belum terjadi.

Baca Juga: Walhi Ingatkan Pemerintah Aceh Waspadai Puncak El Nino

"Di kota-kota besar, seperti Jakarta misalnya. Kita sepakat suhu semakin panas, itu hal yang mudah untuk kita tangkap sebagai dampak dari perubahan iklim," terang Islah.

Lebih jauh Islah memaparkan, para ahli telah mengidentifikasi bahwa kondisi itu diakibatkan oleh satu unsur yang disebut 'karbon'. Pelepasan karbon dalam jumlah masif ke udara melebihi kemampuan Bumi untuk menyerapnya, telah memberi dampak buruk terhadap lingkungan dan manusia.

"Ini (pelepasan karbon) sudah berlangsung selama 300 tahun terakhir," jelasnya

Pelepasan karbon dalam jumlah berlebihan, menurutnya, kebanyakan dilakukan oleh negara-negara utara yang notabene negara maju. Dengan kondisi seperti sekarang, mereka diminta untuk bertanggungjawab.

Baca Juga: Walhi Desak Penyelesaian Konflik Lahan Warga dengan PT FPIL

"Negara dan industri-industrinya harus menurunkan atau mengurangi produksi emisinya," tegas Islah.

Hal itu memunculkan kesadaran bersama. Negara-negara di dunia sepakat untuk menjadikan krisis iklim sebagai isu yang harus ditangani bersama. Hanya saja, ujar Islah, dibalik itu ternyata ada kepentingan bisnis dari negara maju.

Sehingga tidak heran jika negara maju dengan industrinya, tidak berniat untuk menurunkan atau mengurangi jumlah emisinya. Mereka lalu menarget sejumlah negara yang masih berhutan agar tidak merusaknya dengan metode kompensasi. Sejumlah dana ditawarkan.

"Ada proses tikar guling, ketika industri menukar emisi yang dikeluarkan dengan penjagaan terhadap hutan. Orang-orang biasa menyebutnya mekanisme Carbon Offset," ungkap Islah.

Baca Juga: Polri Punya Banyak PR di Kalsel! Walhi: Terlalu Lembek

Dengan mekanisme itu, apakah secara global dan regional akan mampu menghasilkan perlambatan dari pemanasan global atau menurunkan suhu Bumi? Tidak akan, tegas Islah.

"Emisi yang dikeluarkan industri tidak berkurang, proses penciptaan barang semakin masif, tingkat konsumsi masyarakat bahkan lebih besar daripada yang dibutuhkan," paparnya.

Karena itu, perdagangan karbon hanyalah komodifikasi terhadap alam dan layanannya. Menurut Islah, ketika udara menjadi komoditas, dalam hal ini karbon, maka manusia akan hidup di atas perbudakan yang diciptakannya sendiri.

Baca Juga: Sembilan Bulan Tragedi Km 171 Tanbu, Walhi Kalsel: Pemerintah Lalai!

"Ini sangat berbahaya, karbon akan dikuasai pemilik modal. Kota akan kena pajak karbon, atau istilah lain, kita harus bayar untuk bernafas," terang Islah.

Maka dari itu, Islah mengingatkan, perdagangan karbon memiliki problem etik yang cukup serius. Untuk itu perlu adanya intervensi yang sangat serius dari semua pihak, termasuk organisasi masyarakat sipil.

"Walhi punya kepentingan untuk bicara soal ini. Kita (Walhi ) organisasi yang bergerak untuk menjaga lingkungan hidup dan memenuhi hak asasi manusia," jelasnya.