Perdagangan Karbon

Pentingnya Pengetatan Batas Atas Emisi Dalam Implementasi Perdagangan Karbon

Implementasi perdagangan karbon ini sebagai sebuah langkah maju, dengan catatan perlunya pengetatan batas atas emisi di masa depan.

Pertamina berhasil menemukan cadangan Hidrokarbon setelah pengeboran yang dilakukan selama 62 hari di Area Matindok Desa Samalore, Kecamatan Toili, Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah. Foto-Istimewa

apahabar.com, JAKARTA - Perdagangan karbon secara resmi telah diluncurkan pada pekan keempat Februari 2023. Perdagangan karbon akhirnya diberlakukan setelah diujicobakan di sejumlah PLTU di  tahun 2021. 

Implementasi perdagangan karbon ini sebagai sebuah langkah maju, dengan catatan perlunya  pengetatan batas atas emisi di masa depan. 

Sebagaimana diketahui, pemerintah telah menetapkan Persetujuan Teknis Batas Atas Emisi (PTBAE) mulai dari PLTU non mulut tambang (MT)/MT berkapasitas 25 MW sampai dengan 100 MW sebesar 1,297 ton CO2e/MWh,  hingga PLTU non MT berkapasitas besar dari 400 MW sebesar 0,911 ton CO2e/MWh.

"Walaupun skema perdagangan karbon sudah tepat diterapkan di Indonesia, batas atas emisi karbon yang ditetapkan pemerintah saat ini masih relatif tinggi dan tidak diperlukan upaya pemilik PLTU untuk memenuhinya," kata Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa, dikutip Jumat (3/3).

Baca Juga: Perdagangan Karbon, IESR: Untungkan Pengelola PLTU

Sebagai gambaran intensitas emisi karbon di PLTU di negara tetangga 20%-40% lebih rendah dibandingkan Indonesia. Ini membuka peluang pengetatan batas emisi PLTU di masa depan.

Di sisi lain, hasil perdagangan karbon bisa dijadikan sumber PNBP dan dialokasikan untuk mendorong investasi energi terbarukan.

Dengan adanya penentuan pembatasan kuota bagi PLTU, IESR melihat kesadaran pelaku usaha akan meningkat terhadap emisi yang dihasilkan. Dengan begitu, mereka bisa mengatur operasional PLTU secara lebih efisien.

Baca Juga: Pemerintah Perkuat Tata Kelola Ekosistem Karbon Biru di Indonesia

Fabby menambahkan perdagangan karbon itu turut mengatur tentang penggantian atau pembelian karbon (carbon offset) jika suatu pembangkit menghasilkan emisi melebihi Persetujuan Teknis Batas Atas Emisi Pelaku Usaha (PTBAE-PU). 

"Nantinya, pembangkit harus membeli emisi dari unit PLTU lain yang menghasilkan emisi di bawah PTBAE-PU atau membeli Sertifikat Pengurangan Emisi Gas Rumah Kaca (SPE-GRK)," lanjut Fabby.

Baca Juga: Turunkan Emisi GRK, Cirebon Power Dukung Kebijakan Perdagangan Karbon

Karenanya, pemerintah harus memastikan standar aktivitas penurunan emisi yang bisa diperjualbelikan di pasar karbon terkait penggunaan instrumen SPE untuk meningkatkan integritas mekanisme offset dan dampak penurunan emisi secara nyata.

"Kami sarankan juga agar SPE diutamakan berasal dari pembangkit energi terbarukan guna menyelaraskan instrumen ini dengan upaya transisi energi untuk mencapai NZE 2060 atau lebih awal. Instrumen SPE ini bisa menjadi insentif bagi pelaku usaha dan masyarakat membangun pembangkit energi terbarukan," pungkasnya.

Pengawasan publik terhadap pelaksanaan perdagangan karbon juga perlu dibangun. Upaya masuknya mekanisme perdagangan karbon dalam perdagangan bursa, yang saat ini sedang dikaji oleh Bursa Efek Indonesia, akan membuat harga karbon semakin kompetitif dan mempromosikan transparansi sehingga dapat menarik investor dan mengarusutamakan prinsip pembiayaan berkelanjutan