Penjualan Tiket Film JSS Tak Tutup Biaya Produksi, Pemkot Banjarmasin Dikritik

Digarap dengan dana APBD Kota Banjarmasin senilai Rp6,6 miliar, penjualan tiket film Jendela Seribu Sungai (JSS) rupanya tak laris di pasaran. 

Jendela Seribu Sungai. Foto-net

apahabar.com, BANJARMASIN - Digarap dengan dana APBD Kota Banjarmasin senilai Rp 6,6 miliar, penjualan tiket film Jendela Seribu Sungai (JSS) rupanya tak laris di pasaran. 

Sejak tayang perdana 20 Juli 2023, film yang diadopsi dari novel berjudul sama karya Miranda Seftiana dan Avesina Soebli itu sudah turun layar pada pertengahan Agustus 2023.

Meminjam data Disbudporapar Kota Banjarmasin, hingga turun layar, film besutan sutradara Jay Sukmo itu hanya berhasil menarik perhatian 28.957 penonton.

Kepala Bidang Kebudayaan Disbudporapar Kota Banjarmasin, Zulfaisal berdalih, anjloknya penonton film JSS lantaran ada banyak film bergenre serupa yang tayang berbarengan.

Menurut Zulfaisal, persaingan pasar yang keras membuat suatu film belum tentu booming di pasaran dan mendapat pendapatan yang besar.

"Cukup sulit kalau untuk berharap menutup biaya produksi. Ini harus kita pahami sama-sama," ungkap Zulfaisal beberapa waktu lalu.

"Film karya sutradara Garin Nugroho saja anjlok. Sepi penonton," imbuhnya.

Untuk menutup biaya produksi, kata Zulfaisal, pemkot dan pihak penggarap akan melakukan beberapa upaya.

"Akan bekerja sama dengan Max Stream dan Netflix untuk penayangan," ujarnya.

Pihaknya juga berencana melakukan roadshow ke daerah-daerah. "Rencananya di tahun 2024 mendatang," katanya.

Meski diperkirakan pemasukan dari acara yang bakal digelar itu nantinya tidak akan seberapa, namun menurutnya, kegiatan tersebut akan tetap dijalankan. 

Alasannya, demi mengangkat potensi pariwisata. Dengan harapan, masyarakat di daerah-daerah yang didatangi nantinya bisa mengetahui tempat wisata yang ada di Kota Banjarmasin.

Adapun dengan rencana bagi hasil dari penayangan film JSS sebelumnya, Zulfaisal membeberkan, bahwa pendapatan sementara dari pemutaran film belum dapat dihitung sampai Desember mendatang.

"Laporan pendapatan baru akan diterima pada bulan Desember," ucapnya.

Sementara itu, berdasarkan pantauan di aplikasi cinepoint per 13 Agustus lalu, rating fim JSS berada di angka 6. Adapun total penonton di tanggal itu hingga sekitar pukul 13.38 Wita, mencatatkan sebanyak 29.705 penonton.

Jumlah tersebut didapat dari tiga tempat penayangan, yakni Studio XXI, Cinepolis dan CGV Cinemas di Indonesia.

Bila mengacu data Disbudporapar sebelumnya kemudian berdasarkan jumlah total penonton di aplikasi itu, Cinepolis dan CGV Cinemas di Indonesia hanya mencatatkan sebanyak 748 penonton saja.

Mengacu jumlah penonton yang hanya 29.705, jika diestimasikan harga tiket Rp 50 ribu, maka film JSS hanya mendapat penghasilan sekitar Rp1,4 miliar. Jauh dari biaya produksi.

Sebagai pengingat, yang ditunjuk menggarap dan mendistribusikan film JSS adalah Radepa Studio Jakarta. Metode pengadaan di laman LPSE Banjarmasin, dituliskan secara pengecualian.

Penggarapan film dilakukan sejak 10 November 2022. Pada akhir Desember 2022, film pun rampung.

Di sisi lain, film itu juga diwarnai dengan polemik. Selain karena menelan anggaran yang tidak sedikit, penggarapannya juga dipandang bukan merupakan hal yang mendesak.

Kemudian, rencana penggarapan film itu juga sama sekali tak pernah dibahas oleh Disbudporapar Banjarmasin, bersama badan anggaran (Banggar) di DPRD Banjarmasin.

Alhasil, pada bulan Desember 2022, Komisi II DPRD Banjarmasin pun menggelar Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama dinas terkait.

Belakangan, menjawab polemik, kepala Disbudporapar Banjarmasin yang saat itu dijabat oleh Iwan Fitriadi menyatakan, apa yang terjadi saat rapat banggar maupun RDP hanyalah miskomunikasi.

"Mungkin, karena keterbatasan pemahaman kami dalam hal tata cara penganggaran dan sebagainya. Sehingga muncul adanya miskomunikasi," ucapnya.

Menuai Kritik

Baca di halaman selanjutnya...

Pengamat kebijakan publik, Subhan Syarief menyebut Pemkot Banjarmasin tidak cermat dalam mengeluarkan anggaran belanja, mubazir.

Seharusnya, kata Subhan, dalam mengeluarkan anggaran, selalu berdasar dua aspek. Pertama prinsip efisien, ekonomis, efektif, dan bisa dipertanggungjawabkan. 

"Perhatikan rasa keadilan, kepatutan, dan kebermanfaatan. Bila tidak mencerminkan 3 hal ini, bisa dianggap sebagai sebuah pelanggaran," kritiknya

Prinsip kedua, mesti mengacu pada visi dan misi daripada Kota Banjarmasin. Baik yang tertera pada rencana pembangunan jangka panjang (RPJP), yang menekankan Banjarmasin sebagai kota sungai dan pintu gerbang ekonomi kalimantan.

Atau rencana pembangunan jangka menengah (RPJM), yang diusung wali kota dan wakil wali kota, yakni berupa peningkatan kualitas dan akselerasi wirausaha baru (WUB), normalisasi dan revitalisasi sungai, serta melanjutkan perwujudan smart city.

Bercermin dari proyek film JSS yang menelan biaya Rp6,6 miliar, Subhan menilai, penyusunan dan penggunaan APBD nyatanya tak sesuai dengan dua prinsip tersebut.

Contoh lainnya, pengadaan aksesoris Jembatan Pasar Lama yang biayanya mencapai Rp11,8 miliar.

Kemudian, pembebasan lahan untuk rumah dinas wali kota di Jalan Sudirman sebesar Rp31 miliar, ditambah pembangunan rumdin sebesar Rp15 miliar.

Subhan juga menyebut, pembangunan jembatan terapung di kolong Jembatan Dewi yang mencapai Rp4,5 miliar, juga terkesan kurang bermanfaat.

Lalu event BIPA, Aruh Sastra, sampai kunjungan keluar negeri yang berlabel kegiatan pemkot.

“Kalau dicermati dan dihitung, maka sudah hampir Rp100 miliar. Tidak mencerminkan perencanaan anggaran yang berbasis kemanfaatan, kepatutan dan juga keadilan,” cecarnya.

Program serta kegiatan itu dipandangnya sebagai sesuatu yang sangat tidak urgen. Jadi penggunaan APBD tidak tepat sasaran. Tidak sejalan dengan prinsip efisiensi, ekonomis, dan efektif.

Andai saja, kata dia, anggaran sebesar itu dikucurkan membenahi Pasar Lama, Sudimampir, Ujung Murung, Pasar Lima yang semakin kumuh. Padahal kawasan-kawasan tersebut dinilainya punya potensi untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi kota.

“Bayangkan jika seratus miliar dialihkan untuk memperbaiki, menata dan membangun kawasan pasar tersebut. Sayangnya, ternyata APBD tidak difokuskan ke sana,” keluhnya.

Kesimpulannya, APBD cenderung dibelanjakan untuk proyek-proyek jangka pendek.

“Yang juga disayangkan, ternyata DPRD kurang cermat atau bahkan tak serius dalam menjalankan fungsi budgeting dan kontrol anggaran,” tandasnya.