UU P2SK

Pengesahan UU P2SK, INDEF: Pilar Penting Regulasi untuk Akses Kredit

Pengesahan Undang-Undang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK) menjadi pilar penting regulasi untuk mendorong akses kredit.

diskusi bertajuk 'Masa Depan Innovative Credit Scoring (ICS) Pasca UU P2SK' di Jakarta, Selasa (27/6) (Foto:apahabar.com/Daffa)

apahabar.com, JAKARTA - Pengesahan Undang-Undang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK) menjadi pilar penting regulasi untuk mendorong akses kredit.

Diketahui, salah satu kendala dalam mendorong pertumbuhan ekonomi yang inklusif adalah terbatasnya informasi masyarakat yang belum terhubung dengan sektor keuangan. Akibatnya, banyak kelompok masyarakat tidak bisa mengakses pelayanan jasa keuangan, seperti pengajuan kredit, dan lain sebagainya.

Berdasarkan latar belakang tersebut, Institute For Development of Economics and Finance (Indef) melaksanakan studi mengenai Innovative Credit Scoring (ICS) Untuk Inklusi Keuangan.

Ekonom Senior INDEF Aviliani menjelaskan mengenai sangat terbatasnya akses kredit di Indonesia dibandingkan dengan negara lainnya. Hal itu berdampak pada terbatasnya akses perbankan yang bisa dimanfaatkan oleh masyarakat.

Baca Juga: Penerapan UU P2SK, BRI: Dorong Kemajuan Teknologi Jasa Keuangan

"Misalnya, berdasarkan data dari World Bank mengemukakan bahwa domestic credit to private sector(% of GDP) Indonesia di bawah negara ASEAN dan rata-rata lower middle-income countries," ujar Aviliani saat memaparkan dalam diskusi bertajuk Masa Depan Innovative Credit Scoring (ICS) Pasca UU P2SK di Jakarta, Selasa (27/6).

Selain itu, Aviliani memaparkan akses data dan informasi menjadi tantangan baik dari sisi pelaku jasa keuangan maupun calon debitur untuk menyalurkan dan memperoleh kredit.

"Oleh sebab itu, ICS diperlukan untuk mendorong akses kredit perbankan bagi masyarakat yang belum memiliki data historis kredit” tuturnya.

Senada, Eko Listiyanto, Wakil Direktur INDEF menegaskan hal penting dari rekomendasi studi INDEF. Menurutnya, produk turunan UU P2SK yang secara spesifik mengatur ICS perlu dibuat.

Baca Juga: UU P2SK, Menkeu: Warisan Jokowi Menuju Indonesia Emas 2045

“Pemerintah perlu mengeluarkan turunan peraturan UU P2SK yang secara spesifik mengatur ICS dengan memperhatikan manajemen risiko dan perkembangan inovasi serta keamanan data," ucapnya.

Adapaun ICS merupakan penilaian kelayakan kredit dengan memanfaatkan data-data nonekonomi keuangan yang tersedia, di antaranya data telekomunikasi, data e-commerce, dan data digital footprints lainnya.

Selain itu, data ICS perlu terhubung dengan Sistem Layanan Informasi Keuangan (SLIK) milik Otoritas Jasa Keuangan (OJK), sehingga data dan informasi setiap debitur akan lebih komprehensif. Hal lainnya, perlunya aturan turunan dari UU Perlindungan Data Pribadi (PDP) yang terkait penggunaan data pribadi.

"Pemerintah juga perlu mengeluarkan peraturan turunan UU PDP yang berkaitan dengan pemanfaatan data pribadi di jasa keuangan, mulai dari cara menghasilkan data, akses data, hingga pemusnahan dan analisis data," imbuhnya.

Baca Juga: Terbitnya UU P2SK, OJK Fokus Pindah Kantor ke IKN

Lebih jauh, Eko mencontohkan negara maju seperti Inggris dan Korea Selatan telah memiliki aturan turunan yang mengatur tentang implementasi ICS, seperti ketentuan penggunaan data dan kejelasan mekanisme regulatory sandbox.

Sementara itu, Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan (SNLIK) OJK melaporkan indeks inklusi keuangan di Indonesia tercatat mengalami kenaikan setiap tahun, yang mana sebesar 60 persen pada tahun 2013, meningkat menjadi 68 persen pada 2016, menjadi 76 persen pada 2019, dan menjadi 85 persen pada tahun 2022 lalu.

Artinya, pada tahun lalu sebanyak 85 persen penduduk Indonesia telah memiliki akses terhadap layanan jasa keuangan, sedangkan, sebanyak 15 persen penduduk masih tergolong unbanked people.

“Kita punya target yang lebih tinggi, tahun depan (2024) itu 90 persen,” ujar Eko.