Co-Firing Batu Bara

Pengamat: Teknologi Co-Firing Batu Bara Solusi Palsu Bagi Upaya Transisi Energi

Teknologi Co-Firing batu bara dengan amonia dan CCUS dianggap sebagai solusi palsu bagi upaya transisi energi.

Barwan, salah satu distributor biomassa serbuk kayu yang digunakan untuk co firing PLTU Jeranjang di Kabupaten Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat. Foto: ANTARA

apahabar.com, JAKARTA - Teknologi Co-Firing batu bara dengan amonia dan CCUS dianggap sebagai solusi palsu bagi upaya transisi energi.

Studi terbaru dari Asia Research and Engagement (ARE) menunjukkan bahwa mendanai teknologi transisi berbasis energi fosil Co-Firing Batu bara akan berdampak negatif terhadap upaya menurunkan emisi.

"Perbankan di Asia perlu membangun standar underwriting (Indentifikasi) untuk setiap teknologi transisi, termasuk yang berbasis energi fosil," ujar Kurt Mertzger, Director dan transisii energi ARE, dalam keterangan resminya, Jumat (3/3).

Baca Juga: Harga Batu Bara Anjlok, Cuaca di Eropa Jadi Penyebabnya

Menurutnya, investasi pada energi terbarukan dan bahkan memberi definisi pembiayaan transisi yang kurang tepat. Dengan mencampur teknologi energi kotor dan hijau menjadi satu, sangat mengganggu proses transisi energi di Asia Tenggara.

"Bank-bank di Asia memiliki peran krusial dalam memberikan pembiayaan yang diperlukan nasabah untuk melakukan transisi ke model bisnis berkelanjutan dan mencapai target nol emisi pada 2060," lanjutnya.

Lebih lanjut, interkonektivitas sistem ketenagalistrikan dan membiayai grid untuk tambahan kapasitas energi terbarukan seharusnya lebih menarik secara ekonomi untuk dilakukan bank-bank di kawasan Asia Tenggara.

"Sementara berinvestasi dalam energi terbarukan di ASEAN adalah opsi yang layak," tegasnya.

Baca Juga: Tambang Batu Bara Marak, Jalan Longsor di Balangan Kian Parah

Sejauh ini, kelayakan komersial, efektivitas, dan daya saing dari teknologi transisi masih diragukan. Terakhir, pengurangan emisi dengan CCUS yang masih belum terbukti sukses karena sebagian besar proyek CCUS dalam kurun waktu tiga dekade.

Untuk teknologi Co-Firing amonia juga saat ini masih berada pada tahap prototype. saat ini Co-Firing masih belum terbukti menurunkan emisi.

"Analisis BNEF menunujukan, co0firing dengan amonia lebih polutif, karena mengeluarkan lebih dari dua kali lipat emisi yang diproyeksikan untuk pembangkit listrik dalam skenario net zero emission 2050 milik IEA," terangnya.

Baca Juga: Hilirisasi Batu Bara, Aspebindo: Harga Komoditas Tinggi, Pembiayaan Minim

Adapun laporan Transition zero menunjukan, bahwa dengan co-firing hanya dengan 20% amonia abu-abu termurah sudah dua kali lipat lebih mahal dibanding harga batu bara.

"Karenanya, industri perbankan di Asia Tenggara disarankan membangun standar underwriting masing-masing untuk pembiayaan teknologi transisi dengan menyesuaikan konteks kebijakan di negara masing-masing," pungkasnya.