Perdagangan Karbon

Penerapan Bursa Karbon, Tren Asia: Tidak Ada Jaminan Kurangi Emisi GRK

Indonesia berkomitmen menurunkan emisi gas rumah kaca atau net zero emission pada 2060 atau lebih cepat.

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tengah mempersiapkan bursa perdagangan karbon yang ditargetkan meluncur pada September 2023 dan akan dilakukan di Bursa Efek Indonesia (BEI). Salah satu yang sedang disiapkan adalah peraturan dan mekanisme perdagangan karbon di BEI. Foto: dunia-energi.com

apahabar.com, JAKARTAIndonesia berkomitmen menurunkan emisi gas rumah kaca atau net zero emission pada 2060 atau lebih cepat. Salah satu upaya yang sedang digagas pemerintah adalah menerapkan perdagangan karbon atau bursa karbon.

Bursa karbon adalah bursa efek atau penyelenggara perdagangan yang telah mendapat izin usaha dari otoritas yang menyelenggarakan sistem sistem pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan mengenai perdagangan karbon dan/atau catatan kepemilikan unit karbon.

Hal tersebut tercantum dalam Pasal 27 Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 21 Tahun 2022 tentang Tata Laksana Penerapan Nilai Ekonomi Karbon.

Pada Juni 2023, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menerbitkan regulasi mengenai bursa karbon. Sedangkan perdagangan karbon akan dimulai pada September 2023. Payung hukum bursa karbon diatur berdasarkan Undang Undang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (P2SK).

Baca Juga: CELIOS: OJK Tidak Diskriminasi Calon Penyelenggara Bursa Karbon

Dalam aturan tersebut, OJK berperan mengawasi mekanisme tata kelola bursa karbon. Sementara itu, registrasinya akan dilakukan melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK).

Bursa karbon di Indonesia dinilai justru memperbesar ruang hak lebih bagi perusahaan untuk memproduksi emisi karbon. Sehingga kebijakan bursa karbon kehilangan konteks utamanya, yaitu untuk mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK).

"Jadi boleh dibilang pedagang karbon Indonesia ini kehilangan konteks, seharusnya mekanisme bursa karbon trading itu additional atau tambahan saja," ujar Ahmad Ashov, pengamat energi Trend Asia saat dihubungi apahabar.com, Senin (5/6).

Selain itu, tidak ada yang bisa menjamin jika pemberlakuan bursa karbon mampu mengurangi emisi GRK. Lantaran belum ada mekanisame hitung-hitungan yang pakem dalam mengukur efektitifitas bursa karbon terhadap jumlah emisi karbon.

Baca Juga: Bursa Karbon, Celios: Percepat Capai 'Net Zero Emission' di 2050

"Jadi apakah bursa karbon mampu mengurangi karbon? belum ada hitung-hitungan pasti. Belum tentu bursa karbon bisa mengurangi emisi, malah bisa naik emisinya, karena dijadikan alibi perusahaan untuk memproduksi karbon," terangnya.

"Intinya perdagangan karbon tidak bisa dibuktikan, apakah bisa mengurangi emisi karbon apa tidak," sambungnya.

Karena itu, menurut Ashov yang paling penting dilakukan saat ini adalah penerapan pajak karbon daripada bursa karbon. Pajak karbon adalah pajak yang dikenakan atas emisi dan penggunaan bahan bakar dari fosil.

Baca Juga: Dorong Industri Pasar Modal, OJK Siapkan Bursa Karbon dan Pengaturan Aset Digital

Pajak karbon dirancang untuk mengubah perilaku untuk mengurangi emisi karbon yang ditimbulkan oleh perusahaan dalam proses produksi, dan juga untuk mengurangi jumlah bahan bakar fosil yang digunakan oleh individu dan perusahaan.

"Harusnya pajak dulu, itu lebih jelas hitungannya, jelas bahwa kita ingin mengurangi misi karbon, kita kasih pajak siapapun yang membeli barang atau kegiatan yang menghasilkan emisi karbon," pungkasnya.