Kasus Penembakan Massal

Penembakan Puluhan Anak di Thailand, Kenapa Teror Ini Banyak Terjadi di Sekolah?

Insiden di SD Robb merupakan penembakan massal ke-30 yang terjadi di AS sejak awal 2022. Lantas, mengapa penembakan banyak menargetkan sekolah?

Penembakan puluhan anak di Thailand (Foto: dok. CNN)

apahabar.com, JAKARTA - Lebih dari 34 orang meregang nyawa dalam persitiwa penembakan massal di sebuah tempat penitipan anak di Provinsi Nong Bua Lamphu, Thailand, Kamis (6/10). 

Adalah Panya Khamrapm, seorang mantan polisi yang melakukan perbuatan keji itu. Berbekal senjata api dan pisau, dia mulai menyerang semua orang yang ada di dalamnya, entah dengan cara ditembak maupun ditikam.

Menurut keterangan polisi, Khamrapm sebelumnya menghadiri persidangan terkait narkoba – kasus yang membuatnya dipecat dari kepolisian setahun silam.

Usai melakukan penyerangan, dia kembali ke rumah untuk membunuh istri dan anaknya, kemudian mengakhiri hidupnya sendiri.

Deja Vu Penembakan Massal di AS

Kejadian berdarah di Thailand agaknya mengingatkan kembali dengan penembakan massal yang berulang kali terjadi di Amerika Serikat.

Everytown Research & Policy melaporkan kasus yang demikian sebagai puncak ‘gunung es’ dari krisis kekerasan senjata di Negeri Paman Sam.

Penembakan massal umumnya terjadi di tempat umum, seperti sekolah atau bar. Antara tahun 2009 sampai 2020, sekitar tiga puluh persen terjadi seluruhnya di ruang publik: sekolah, mal, atau bar.

Teranyar, pada 24 Mei 2022 lalu, penembakan massal kembali memberondong sebuah Sekolah Dasar Robb, Uvalde, Texas.

Adalah Salvador Ramos, remaja berusia 18 tahun yang melakukan aksi yang menewaskan 19 anak-anak dan dua orang dewasa.

Insiden di SD Robb itu merupakan penembakan massal ke-30 yang terjadi di sekolah dasar hingga menengah atas AS sejak awal 2022.

Hal ini barangkali akan membuat Anda bertanya-tanya, mengapa penembakan massal banyak menargetkan sekolah?

Berawal dari Korban Perundungan

Profesor Departemen Psikologi dari Clemson University, Robin M. Kowalski, menyebut hampir setengah dari pelaku penembakan massal di sekolah pernah mengalami perundungan. Hal ini sebagaimana diungkapkan para pelaku sendiri, dikutip dari brookings.edu, Jumat (7/10).

Misalnya saja, seorang penembak berusia 16 tahun pernah mengaku, “Saya merasa ditolak – tidak terlalu kesepian – tapi ditolak (dari pergaulan). Saya merasa seperti ini karena perlakuan yang saya terima sehari-hari biasanya positif, namun itu tidak berlangsung lama.”

Pernyataan serupa juga disampaikan penembak di Parkland, “Saya sudah muak – (mereka) mengatakan saya idiot dan tolol.” Begitu pun dengan pengakuan seorang penembak massal berusia 14 tahun, “Saya merasa seperti saya tidak diinginkan oleh siapa pun, terutama ibu saya.”

Kowalski, melalui studinya, mengatakan pernyataan-pernyataan para pelaku yang demikian, membuktikan bahwa mereka memiliki persamaan: ditolak dan merasa dirinya tak berarti.

Diperparah dengan Gangguan Mental

Selain itu, Kowalski juga mengungkapkan lebih dari pelaku penembakan massal di sekolah di AS memiliki gangguan mental. Di antaranya, depresi, kecenderungan bunuh diri, bipolar, atau cenderung psikotik.

Namun, sejumlah psikolog dan psikiater memperingatkan bahwa ‘menyalahkan’ kesehatan mental sebagai penyebab penembakan massal sangat tidak adil bagi mereka yang juga mengidap gangguan mental.

Terobsesi dengan Senjata

Kowalski juga menemukan faktor lain di balik penembakan massal, yakni sang pelaku terobsesi dengan senjata dan kekerasan.

Mereka sering bermain video game kekerasan, menonton film kekerasan, serta membaca buku yang mengagungkan kekerasan dan pembunuhan.

Beberapa penembak bahkan menunjukkan ketertarikan tertentu dengan Columbine, Hitler, dan/atau Setanisme.

Mereka menulis jurnal atau menggambarkan sesuatu nan berbau kekerasan dan kengerian. 

Paparan kekerasan yang terus-menerus, menurut Kowalski, bisa membuat individu tak peka terhadap kekerasan. Malahan, memberikan ide yang kemudian disalin dalam penembakan di sekolah.

Apa yang Mesti Dilakukan untuk Mencegah Penemabakan Massal di Sekolah?

Dengan menilik berbagai faktor di atas, Kowalski menilai masalah perundungan dan kesehatan mental perlu diberi perhatian lebih.

Pihak sekolah, termasuk para pengajar, mesti menerapkan program mencegah perundungan.

Selain itu, orang tua, guru, teman, atau pihak sekolah harus lebih peka dengan sinyal tersirat yang berisi ancaman.

Sebab, kebanyakan penembak biasanya membeberkan informasi soal rencana eksekusinya.