Pendapatan Negara

Pendapatan Negara, Jokowi: Antisipasi agar Penerimaan Tak Terganggu

Presiden Joko Widodo (Jokowi) meminta jajarannya mengantisipasi dan memastikan agar pendapatan negara pada semester 2 tahun 2023 tidak terganggu.

Presiden Joko Widodo (Jokowi) berpidato dalam sidang kabinet paripurna, di Istana Negara, Jakarta, Senin (3/7/2023). Sidang kabinet paripurna itu membahas laporan semester I APBN tahun 2023. Foto: ANTARA

apahabar.com, JAKARTA - Presiden Joko Widodo (Jokowi) meminta jajarannya mengantisipasi dan memastikan agar pendapatan negara pada semester 2 tahun 2023 tidak terganggu.

“Antisipasi dan proyeksi agar pendapatan negara tidak terganggu,” kata Presiden Jokowi dalam pengantar Sidang Kabinet Paripurna, di Istana Negara, Jakarta, Senin (3/7).

Jokowi menjelaskan berdasarkan laporan Menteri Keuangan pendapatan negara di semester 1 masih baik, namun penerimaan pajak tidak setinggi tahun lalu. Selain itu, penerimaan kepabeanan dan penerimaan negara bukan pajak (PNPB) juga terpengaruh harga komoditas yang tidak setinggi tahun lalu.

Baca Juga: Hingga Mei 2023, Pendapatan Negara Rp1209,3 Triliun

“Oleh sebab itu kita (pemerintah) agar paham risiko dan semuanya harus kita kelola sebaik mungkin,” katanya pula.

Dalam sidang kabinet itu, Presiden Jokowi juga menyampaikan bahwa pertumbuhan ekonomi saat ini patut disyukuri, karena mampu bertahan relatif tinggi di atas 5 persen.

Selain itu, Bank Dunia per Juli 2023 kembali memasukkan Indonesia dalam grup upper middle income countries, setelah sempat turun ke grup lower middle income countries di tahun 2020 karena pandemi.

Baca Juga: Pendapatan Negara, Kemenkeu: Capai Rp1.000,5 Triliun per April 2023

Meskipun demikian, Jokowi mengingatkan bahwa situasi yang dihadapi di paruh kedua 2023 tidak mudah serta harus mewaspadai beberapa hal, antara lain lingkungan global yang masih tidak stabil, serta ketegangan geopolitik yang masih berlangsung berimbas pada pertumbuhan ekonomi dan aktivitas perdagangan yang melemah dan mengakibatkan penurunan ekspor.

“Kemudian berbagai lembaga internasional memprediksi perlambatan ekonomi global. Ini juga harus betul-betul kita lihat. IMF memberikan angka 2,8 persen, World Bank memberi angka 2,1 persen dan OECD 2,6 persen, dan juga kenaikan tingkat suku bunga global ini hati-hati, inflasi global juga masih relatif tinggi,” ujarnya lagi.

Selain itu, menurutnya, patut juga dicermati fragmentasi perdagangan global yang menghambat kerja sama multilateral, hingga berbagai indikator dini untuk konsumsi dan produksi yang menunjukkan situasi baik positif maupun melemah.