Transisi Energi

Pendanaan Suntik Mati PLTU Jauh dari Prinsip Keadilan

Centre of Economics and Law Studies (CELIOS) mengungkapkan dokumen rancangan rencana investasi dan kebijakan (Comprehensive Investment and Policy Plan/CIPP)

Direktur Eksekutif dan Ekonom CELIOS, Bhima Yudhistira (Foto: apahabar.com/Ayyubi)

apahabar.com, JAKARTA - Centre of Economics and Law Studies (CELIOS) mengungkapkan dokumen rancangan rencana investasi dan kebijakan (Comprehensive Investment and Policy Plan/CIPP) yang menjadi kesepakatan Just Energy Transition Partnership (JETP) masih cukup kontradiktif.

Pasalnya, hanya dua PLTU yang masuk daftar pensiun dini dalam skema ini, yaitu PLTU Pelabuhan Ratu dan PLTU Cirebon. Di sisi lain, bauran energi baru terbarukan (EBT) dalam CIPP cukup ambisius, yakni mencapai 44 persen pada 2030.

“JETP menjadi tidak jelas, awalnya mau pensiun PLTU batu bara justru tidak dilakukan dengan serius,” ujar Direktur Eksekutif CELIOS, Bhima Yudhistira dalam konferensi pers Transisi Energi Setengah Hati: Tinjauan Kritis Masyarakat Sipil atas Dokumen Rencana Investasi JETP Indonesia, Jakarta (15/11).

Baca Juga: Sederet Kritik Dokumen JETP, Gejala Setengah Hati Transisi Energi

Di samping itu Bhima juga menyoroti, pendanaan yang diberikan negara maju (International Partners Group/IPG) dinilainya sangat tidak menjunjung prinsip berkeadilan.

"Tampak terjadi disorientasi di negara maju. Komitmennya dalam transisi energi patut dipertanyakan," tegasnya.

Terlebih negara Amerika Serikat, kata Bima, jumlah pinjaman non-konsensionalnya terbilang besar. Jumlahnya, menurutnya seperti menanggung pinjaman dengan bunga pasar.

Baca Juga: Perdagangan Global Terhambat, Sektor Industri Perlu Percepat Transisi Energi

“Apa fungsinya menunggu dokumen CIPP JETP dirilis kalau kesepakatan dengan negara maju hanya biasa saja. Masih pinjaman yang sifatnya business as usual?” kata Bhima.

Karena itu, dia meminta Sekretariat JETP dan pemerintah Indonesia harus bisa berjuang meningkatkan porsi hibah dalam pendanaan JETP. 

"Kalau tidak, namanya utang untuk negara berkembang ini. Khawatirnya bisa menjadi masalah besar untuk APBN," pungkasnya.