Kalsel

Pemerkosaan Mahasiswi ULM, Begini Pandangan Ahli Soal “Krating Daeng” Buatan Bripka Bayu

apahabar.com, BANJARMASIN – “Krating Daeng” yang disuguhkan Bripka Bayu Tamtomo kepada D, sebelum terjadi pemerkosaan di…

Ilustrasi. Foto-Net.

apahabar.com, BANJARMASIN – "Krating Daeng" yang disuguhkan Bripka Bayu Tamtomo kepada D, sebelum terjadi pemerkosaan di sebuah kamar hotel kawasan KM 6 Banjarmasin, masih misteri. Lantas bagaimana pandangan ahli?

Dugaan awal minuman berenergi tersebut dicampur dengan anggur merah, namun fakta tersebut tak terungkap dalam persidangan.

Dari kronologi, pengakuan hingga dampak yang ditimbulkan D usai meminum satu botol Krating Daeng yang tutupnya sudah terbuka tersebut menambah ragam kejanggalan.

"Ah gak mungkin anggur merah," kata Ahli Kimia dari Universitas Lambung Mangkurat (ULM), Prof Muthia Elma dihubungi apahabar.com, Rabu (26/1).

Pandangan Prof Muthia, ada kemungkinan Krating Daeng buatan Bripka Bayu dicampur dengan narkotika.

"Atau minuman alkohol berkonsentrasi tinggi seperti tequila," bebernya.

Analisa tersebut masuk akal. Sebab, menurut Muthia si pelaku bertugas di bagian narkoba.

"Jadi dia paham betul bagaimana cara membuat orang itu pingsan (tidak sadarkan diri)," ujarnya.

Jika analisis ini terbukti, dari segi kesehatan korban sangat mengkhawatirkan. Mengingat, kandungan alkohol maupun narkotika akan merusak saraf yang ada di otak.

"Ini akan lebih berbahaya jika ada efek kecanduan," tuturnya.

Pendapat serupa dilontarkan Kisworo Dwi Cahyono, salah satu aktor Gerakan Masyarakat Sipil (GEMAS Kalsel).

Tetapi Kisworo lebih menyoroti soal kronologi D dicekoki oleh Bripka Bayu.

Dari kronologi tersebut Jaksa Penuntut Umum (JPU) mestinya lebih jeli. Kiss meminta jangan hanya melihat dari sisi pemerkosaannya saja. Tapi lihat juga kronologi di balik kejadian.

"Ini artinya pelaku ada indikasi menyalahgunakan narkoba," ujarnya.

"Mestinya vonis bisa lebih berat. Terlebih pelaku adalah aparat penegak hukum, bertugas di bagian narkoba pula," kecam Direktur Walhi Kalsel ini.

Terlepas dari itu, kejanggalan juga terlihat saat JPU mencantumkan delik tuntutan Pasal 286 KUHP kepada pelaku.

Tuntutan dinilai tak berpihak pada korban. Terlebih, Majelis Hakim hanya menjatuhkan pidana penjara 2 tahun 6 bulan dari 9 tahun ancaman maksimum dalam Pasal 286 KUHP.

Tim Advokasi Keadilan yang dibentuk FH ULM berpendapat harusnya JPU mencantumkan Pasal 285 KUHP tentang Perkosaan dengan ancaman hukuman yang lebih berat.

Penyidik dan JPU tidak menggunakan ketentuan Pasal 89 KUHP yang merupakan perluasan makna "kekerasan" dalam Pasal 285 KUHP. Ancamannya yakni penjara paling lama 12 tahun. Apalagi, pelaku merupakan bagian dari penegak hukum.