Hot Borneo

Pemerkosaan Berkedok ‘Nikah Batin’ Tapin dari Kacamata Antropolog

apahabar.com, BANJARMASIN – Skandal pemerkosaan berkedok ‘nikah batin’ di Candi Laras, Kabupaten Tapin cukup menyentak perhatian…

Tersangka JN (50) saat memeragakan aksi cabulnya dalam reka ulang menggunakan boneka di lobi Mapolres Tapin. apahabar.com/Sandi

apahabar.com, BANJARMASIN – Skandal pemerkosaan berkedok ‘nikah batin’ di Candi Laras, Kabupaten Tapin cukup menyentak perhatian publik.

Bukan cuma karena banyaknya jumlah korban, fenomena ini terbilang langka dan lantas menarik perhatian Antropolog Universitas Lambung Mangkurat (ULM), Nasrullah.

Inas, sapaan akrabnya, mewanti-wanti agar masyarakat lebih kritis terhadap suatu ajaran agar peristiwa serupa di Candi Laras tak berulang.

“Orang mudah terjebak karena masyarakat kita yang religius, tapi bukan religius yang kritis,” kata Inas kepada media ini, Rabu malam (17/8).

“Kebanyakan masyarakat kita bertaqlid [beriman] buta,” sambungnya.

Menurutnya, sesuatu ajaran yang menyimpang namun dikemas dengan embel-embel agama kerap kali mengecoh warga.

“Jika seperti ini, maka akan terus banyak terjadi penyimpangan, terutama penipuan hingga kasus asusila,” ujarnya.

Berkaca dari peristiwa di Candi Laras, pelaku yang membawa-bawa dogma agama menarasikan ritual yang seolah-olah rahasia.

Kekerasan Seksual di Balik Modus Nikah Batin, MUI Batola Wanti-wanti Masyarakat

Nyatanya, istilah nikah batin adalah akal-akalan pelaku untuk memperdaya korban yang bahkan telah bersuami itu.

Pelaku yang menyebut korban dikelilingi jin menyuruh korban lebih dulu melakukan salat dan doa bersama di dalam kamar.

Ironisnya, aksi tipu-tipu mengeluarkan jin dari tubuh korban tersebut dilakukan di rumah orang tua korban.

Untuk membuang jin di tubuh korban, pelaku lalu memberinya segelas air mineral sebelum akhirnya diajak melakukan hubungan suami istri.

“Istilah kebatinan ini banyak dipandang sebagai sesuatu yang berada di top position [ajaran teratas]. Ini mem-bypass [melangkahi] syariat agama,” paparnya.

“Celakanya lagi banyak masyarakat suka dengan hal yang instan,” sambungnya.

Sebab secara syariat, kata Inas, jelas nikah tidaklah sah tanpa adanya wali dan dua orang saksi.

Selain masyarakat yang kurang kritis, testimoni dari mulut ke mulut menambah pengaruh kepada mereka yang ingin mencapai sesuatu secara instan.

“Masyarakat juga tidak terbiasa untuk menguji suatu informasi. Semakin banyak narasi yang membenarkan, suatu informasi terkesan menjadi kebenaran dan memengaruhi orang,” jelasnya.

“Seperti cerita hantu, makin banyak orang yang mengatakan makin banyak yang percaya, meskipun tidak melihat secara langsung,” imbuhnya.

Dari kasus ini, maka menurutnya masyarakat mesti terus belajar. Daya kritis sangatlah diperlukan. Untuk memilah mana yang baik dan mana yang berpotensi mendatangkan mudarat.