KPAI Sebut Pemerintah Bertanggung Jawab terhadap Anak Yatim Piatu Akibat Tragedi Kanjuruhan

Komisioner KPAI Retno menegaskan, pemerintah bertanggung jawab terhadap anak yatim piatu akibat Tragedi Kanjuruhan Malang.

Tragedi Kanjuruhan. (Foto: Instagram @bolafakta)

apahabar.com, JAKARTA – Pemerintah bertanggung jawab terhadap anak yatim piatu akibat tragedi Kanjuruhan, Malang pada Sabtu (1/10).

"Mereka jadi yatim piatu, (karena) tulang punggung (orang tua) keluarganya ikut menjadi korban tewas dalam peristiwa ini" ujar Komisioner KPAI, Retno dalam keterangan tertulisnya, Senin (3/10).

Mereka, kata Retno, membutuhkan dukungan negara karena telah ditinggalkan orang tua yang menafkahinya.

Retno pun menyampaikan duka atas jatuhnya ratusan korban jiwa dan luka-luka dalam tragedi Kanjuruhan itu.

Dalam bela sungkawa yang disampaikan, KPAI siap bertanggung jawab terhadap anak-anak yang menjadi yatim piatu akibat tragedi itu.

"Tak sekadar santunan, KPAI juga akan membantu rehabilitasi psikis bagi para korban," ujarnya.

Selain itu, KPAI juga berikan bantuan rehabilitasi psikis terutama kepada anak-anak yang saat ini masih dirawat di rumah sakit.

KPAI memberikan bantuan rehabilitasi psikis ini untuk membantu memulihkan mental para korban.

Seperti diketahui, kericuhan terjadi usai pertandingan sepakbola Arema Malang vs Persebaya Surabaya pada Sabtu, 1 Oktober 2022. Kericuhan terjadi usai Persebaya mengalahkan Arema Malang 3-2.

Kericuhan bermula ketika supporter Arema Malang turun ke tengah lapangan untuk meluapkan kekecewaan mereka.

Melihat banyaknya suporter Aremania yang turun ke lapangan, petugas keamanan berusaha mengatasi dengan berbagai cara. Salah satunya dengan melemparkan gas air mata ke para suporter.

Petugas keamanan melemparkan gas air mata tidak hanya kepada suporter Arema yang ada di lapangan, melainkan juga ke tribun penonton yang masih disesaki pendukung yang dimiliki Juragan 99 Trans.

Lemparan gas air mata ke tengah tribun penonton itu membuat para penonton panik. Para penonton berebutan keluar stadion secara bersamaan dalam jumlah massa yang besar.

Kericuhan pun berakhir menjadi tragedi, di mana berdasarkan data per 2 Oktober 2022 pukul 18.00 WIB, ada sekitar 182 korban tewas.

Dari total korban tewas, 13 di antaranya masih anak anak. Tujuh anak lainnya masih menjalani perawatan di rumas sakit.

Retno pun menyesalkan penggunaan gas air mata dalam stadion. Ia menegaskan, aturan induk sepakbola dunia FIFA juga telah melarang penggunaan gas air mata dalam stadion.

“Pasal 19 menegaskan bahwa penggunaan gas air mata dan senjata api dilarang untuk mengamankan massa dalam stadion," imbuhnya.

Meminta Pertandingan Sore

Sebenarnya, beberapa waktu sebelum pertandingan dimulai, pihak keamanan sudah meminta kepada pihak LIB untuk memajukan pertandingan pada sore hari pukul 15.30 WIB.

Pihak kepolisiian setempat sudah mengkhawatirkan pertandingan ini akan ricuh bila digelar pada malam hari.

Tetapi sayangnya pihak Liga Indonesia menolak permintaan tersebut dan tetap menyelenggarakan pertandingan pada malam hari, pukul 20.00 WIB.  

Menurut Retno, membawa anak-anak dalam kerumunan massa sangat berisiko, apalagi di malam hari.

Anak anak rentan saat berada dalam kerumunan, karena tak bisa memperkirakan apa yang akan terjadi dalam kerumunan tersebut.

Masyarakat mungkin terpaksa membawa anaknya menyaksikan pertandingan itu karena butuh hiburan.

"Masyarakat mungkin membutuhkan hiburan setelah pandemi (Covid-19) sudah berlangsung 2 tahun," tutup Retno.