Pembangkit Gas Fosil Masuk Skema JETP, Pengamat: Sia-Siakan Dana Publik

Satu hari berselang pengumuman sekretariat JETP, Kementerian ESDM berencana memasukkan proyek pembangkit gas fosil dalam skema JETP. 

Ilustrasi - Energi hijau. (cc)

apahabar.com, JAKARTA - Satu hari berselang pengumuman Sekretariat Just Energy Transition Partnership (JETP), Kementerian ESDM menyatakan rencana memasukkan proyek pembangkit gas fosil dalam skema pendanaan JETP. 

Dana JETP diperoleh dari negara anggota Internasional Partners Group (IPG) yang berkomitmen memberikan US$20 miliar dolar untuk membantu usaha dekarbonisasi Indonesia.

Kementerian ESDM mengutarakan, proyek pembangkit gas fosil itu akan menggantikan pembangkit diesel (PLTD), dan mengklaimnya sebagai cara efektif untuk menurunkan emisi.

“Rencana pemerintah mengonversi PLTD ke sumber energi fosil lain seperti gas, terlebih dilakukan dalam kerangka inisiatif transisi energi JETP, adalah langkah mundur dan akan melemahkan kemampuan negara dalam mencapai target dekarbonisasinya sendiri,” ujar Andri Prasetiyo, Peneliti dan Manajer Program Trend Asia, dalam keterangan tertulis, Kamis (23/2).

Baca Juga: Alih-Alih Transisi Energi, JETP Dukung Hilirisasi Batu Bara

Merujuk RUPTL 2021-2030, terdapat 5200 unit PLTD yang tersebar di 2.130 lokasi di seluruh wilayah Indonesia. Di RUPTL, dedieselisasi dilakukan secara bertahap. 

Tahap pertama, di 200 lokasi dengan kapasitas 225 MW dan tahap 2 konversi lebih lanjut dengan total kapasitas capai 1,2 GW. Jika ribuan PLTD ini dikonversi ke gas, kata Andri, maka akan merusak rencana transisi energi.

“Terdapat risiko besar di mana JETP tidak dapat berkontribusi signifikan bagi Indonesia dalam mencapai target dekarbonisasi sektor kelistrikan pada 2030 dan Net Zero Emission lebih cepat pada 2050,” terang Andri.

Senada, Grita Anindarini, Deputi Direktur Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) menambahkan, rencana dedieselisasi dengan pembangkit gas fosil akan memperlambat upaya Indonesia dalam mengurangi emisi sektor ketenagalistrikan.

Baca Juga: Pengamat Desak Transparasi dan Pelibatan Masyarkat Sipil di Program JETP

Pembangkit gas fosil memiliki kontribusi besar terhadap gas metana. Laporan “Persoalan Gas di Indonesia” mengungkap, saat gas fosil diproduksi, diangkut, dan dikonsumsi, maka metana dalam jumlah besar akan keluar dan menyebabkan emisi gas rumah kaca (Trend Asia,2020).

“Assessment report ke-6 IPCC telah menyatakan untuk bisa mencapai target 1,5 derajat, kita harus mengurangi satu per tiga dari total metana yang ada saat ini. Jumlah ini berarti mengurangi 34 persen dari jumlah emisi metana saat ini," terang Grita.

IPCC juga menekankan bahwa emisi metana perlu mencapai penurunan 51 persen pada 2050 untuk menekan kenaikan suhu. Rencana konversi itu tentunya tidak sejalan dengan arahan IPCC untuk melakukan pengurangan metana secara masif.

Sementara, pemerintah Indonesia sebelumnya telah menandatangani Global Methane Pledge saat perhelatan COP26 di Glasgow. Indonesia berjanji mengambil tindakan sukarela untuk turut berkontribusi dalam upaya kolektif mengurangi emisi metana global setidaknya 30 persen dari tingkat tahun 2020 yang dapat menghilangkan pemanasan lebih dari 0,2 derajat Celsius pada 2050.

Baca Juga: Sekretariat JETP Resmi Beroperasi, Luhut Yakin Indonesia Percepat Transisi Energi

Selain persoalan lingkungan, Bondan Andriyanu, Climate And Energy Campaigner Greenpeace Indonesia menjelaskan jika gas bukanlah sumber energi yang ekonomis. Gas memiliki volatilitas tinggi, harga yang mahal, dan bahkan secara biaya listrik rata-rata (LCOE) lebih mahal dibanding energi terbarukan. 

“Kebijakan mengonversi PLTD ke gas akan menutup ruang bagi pembangkit energi terbarukan yang capaiannya masih terlalu kecil, hanya 12 persen,” ujar Bondan Andriyanu, Climate And Energy Campaigner Greenpeace Indonesia.

Menurut Bondan, rencana ini akan menjadi batu sandungan dalam mempercepat capaian penerapan energi terbarukan setidaknya mencapai 34 persen pada 2030 sebagaimana yang ditargetkan diawal dalam kesepakatan JETP.

“Dengan masuknya gas untuk menggantikan PLTD juga mencerminkan bahwa pemerintah masih setengah hati dalam melakukan transisi energi,” imbuhnya.

Baca Juga: Pensiun Dini PLTU, Program Prioritas Pendanaan JETP

Bauran energi terbarukan Indonesia yang mengalami penurunan menjadi 10.4 persen pada akhir tahun 2022 seharusnya dikejar dengan penambahan energi terbarukan, bukan bahan bakar fosil.

Hal ini perlu dilakukan mengingat Indonesia mempunyai target dalam NDC untuk mencapai 23 persen energi terbarukan pada 2025, dan 34 persen pada 2030 berdasarkan target dalam JETP.

Menurut Andri, penambahan infrastruktur energi gas fosil justru berpotensi jadi aset terlantar dan menyia-nyiakan dana publik.

Karena itu, ia menekankan, negara-negara G7+ dan entitas yang terlibat dalam pendanaan JETP harus tegas melarang proyek pembangkit gas fosil menggunakan dana JETP. 

Baca Juga: Sekretariat JETP Resmi Terbentuk, Siap Wujudkan Pendanaan Transisi Energi

“Negara G7+ tidak boleh lepas tangan dan harus memastikan penggunaan dana JETP untuk proyek-proyek energi terbarukan yang mempercepat usaha Indonesia mencapai NZE,” jelas Andri.

Terakhir, Suriadi Darmoko, Juru Kampanye 350 Indonesia, menyoroti persoalan tidak adanya keterbukaan informasi dan keterlibatan masyarakat sipil yang representatif dalam sekretariat JETP. 

Kedua hal tersebut menjadi titik lemah dari rencana implementasi JETP di Indonesia. Menurutnya, keterbukaan informasi dan peranan masyarakat sipil yang memadai akan membantu pengawasan upaya transisi energi berkeadilan. 

“Tanpa pengawasan masyarakat sipil, kebijakan-kebijakan yang tidak sesuai dalam kerangka JETP seperti dedieselisasi dengan gas fosil akan membuat strategi dekarbonisasi Indonesia terjebak dalam solusi palsu yang membahayakan dan memaksa Indonesia terus bergantung pada energi fosil,” tutup Suriadi.