Kalsel

Pasca-perang Dunia II di Kalsel; Runtuhnya Jepang hingga Hasrat Sekutu Kembali Berkuasa

apahabar.com, BANJARMASIN – Takluknya Jepang kepada Sekutu pasca-perang dunia II tahun 1945 silam membuat daerah yang…

Ilustrasi. Foto-Istimewa

apahabar.com, BANJARMASIN – Takluknya Jepang kepada Sekutu pasca-perang dunia II tahun 1945 silam membuat daerah yang sebelumnya berada di bawah kekuasaan Jepang dimasuki tentara lain.

Ia adalah tentara Sekutu yang bertugas untuk melucuti senjata dan mengembalikan orang-orang Jepang ke negerinya: Amerika akan mengambil alih kekuasaan Jepang di Filipina, sedangkan Inggris akan mengambil alih kekuasaan Jepang di daerah Asia Tenggara.

“Kecuali Vietnam Utara dan Taiwan yang diambil alih oleh Cina,” ucap Dosen Program Studi Pendidikan Sejarah FKIP ULM, Mansyur, kepada apahabar.com, Jumat (2/10) siang.

Saat itu, Inggris melakukan pendaratan ke wilayah Sumatra, Jawa dan Bali. Sedangkan wilayah lainnya termasuk Kalimantan, diserahkan kepada Australia.

Pendaratan tentara Inggris di Jawa dilakukan sekira September 1945.
Di Jawa, Inggris tidak lagi menghadapi Jepang. Di sana, mereka ditantang bangsa Indonesia yang telah menyusun pemerintahan.

Selain itu, Jepang tidak lagi mempunyai power karena sebagian senjata telah dilucuti oleh bangsa Indonesia untuk melawan Sekutu.

Sementara di Kalimantan, tugas Sekutu yang dalam hal ini adalah Australia lebih mudah karena Kalimantan belum terbentuk pemerintahan seperti di Jawa.

Di Kalimantan Timur, tentara Sekutu telah mendarat sebelum Jepang menyerah, yaitu pada Juli 1945. Pendaratan juga dilakukan di Kalimantan Barat sekira Agustus, sedangkan di Kalimantan Selatan pada 17 September 1945.

“Tugas tentara Sekutu adalah menerima penyerahan satuan-satuan Jepang dan pengembalian ke negerinya. Kemudian mengamankan dan membebaskan kaum interniran dan tawanan perang. Selanjutnya, mempertahankan keamanan di daerah-daerah kekuasan Sekutu untuk diserahkan kepada pemerintahan sebelumnya,” jelas Mansyur.

Menurut Mansyur, kedatangan tentara Sekutu di Banjarmasin di bawah pimpinan Kolonel Rabson dilakukan dengan kekuatan militer 250 orang dengan secara berangsur-angsur dan menyebar di seluruh kota di Kalimantan Selatan.

Lalu, dalam waktu yang relatif singkat, seluruh daerah Kalimantan Selatan telah diduduki tentara Sekutu.

“Bekas tawanan yang terdiri dari bangsa Belanda yang kurus kering segera dibebaskan, bekas tentara yang tidak ikut ditawan, segera dipanggil kembali dan dipersenjatai,” cetusnya.

Tiap warga Belanda baik berkulit putih maupun sawo matang diberikan makanan, pakaian, serta gaji selama pendudukan Jepang dan diberikan senjata untuk melindungi diri.

Selain tentara Australia, berkeliaran pula tentara NICA sebanyak kurang lebih 100 orang yang dipimpin oleh Mayor AL Van Assenderp, yang kedatangannya membonceng tentara Australia.

Kekuatan tentara NICA ini kemudian ditambah dengan bekas KNIL (Koninklijke Nederlands Indische Leger), dan bekas Heiho.

“Beberapa bekas pegawai negeri sipil Belanda yang mau membantu NICA diajak untuk tetap menjadi pegawai NICA meskipun mereka juga bekerja sebagai pegawai Jepang,” katanya.

Dengan demikian, pemerintahan sipil Belanda segera terbentuk dengan merekrut bekas pegawai negeri sipil Jepang. Begitu pula bekas kepolisian Jepang menjadi polisi NICA.

Akhirnya jelaslah maksud NICA yang sebenarnya setelah keluar pengumuman Jenderal Sir Thomas Albert Blamey, Panglima Tentara Australia yang disiarkan pada 24 Oktober 1945. Isinya adalah penyerahan kekuasan Sekutu kepada NICA.

“Sebenarnya pengumuman itu tertanggal 1 Oktober 1945, namun NICA memperhitungkan bahwa saat itu belum tepat,” cetusnya.

Setelah NICA merasa bahwa akan diterima kembali oleh masyarakat Kalimantan dengan kembalinya bekerja pegawai-pegawai yang dahulu pernah bekerja dengan Belanda, barulah pengumuman itu disiarkan.

Pengumuman itu berbunyi: “Kepada penduduk dari Timor, Selebes, Menado, Borneo, Residensi Ternate, Afdeeling Amboina, Pulau Kei, Aru dan Tanimbar, Nieuw Guinea, Tentara Serikat telah membinasakan segala kekuatan Jepang baik di darat, di laut dan di udara, serta kerajaan bangsa Jepang seluruhnya telah menyerah dengan tidak bersyarat kepada kaum Serikat.

Angkatan-angkatan perang yang berada di bawah komando Jenderal Sir Thomas Albert Blamey telah tiba di negeri ini dan telah menerima penyerahan antara Jepang atas nama kaum Serikat.

Tentara Serikat akan melindungi penduduk dan menjaga keamanannya sampai waktunya kembali Pemerintah Hindia Belanda yang sah.

Atas perintah Jenderal Sir Thomas Albert Blamey, pimpinan tertinggi kekuatan Serikat dibagian ini, maka Undang-Undang Hindia Belanda yang telah diketahui oleh segenap penduduk di sini, akan dipakai dan dijalankan oleh tentara NICA yang sekarang berada di daerah ini.

Demikian juga segala peraturan yang dikeluarkan oleh pimpinan tertinggi tentara Serikat untuk menjaga keamanan dan ketertiban.

Meskipun berusaha menanamkan kekuasaannya namun NICA tetap bersikap hati-hati. Terbukti dengan pengumuman Jenderal Sir Thomas Blamey tertunda disiarkan selama 24 hari, untuk menghindari hal-hal yang tidak dikehendaki NICA.

Kesadaran masyarakat timbul setelah dua orang tentara Australia, Charles Foster dan Victor Little yang mengaku dari Partai Komunis Australia menyerahkan 5 lembar pamflet yang telah dikeluarkan oleh kaum politisi Indonesia yang berada di Australia beralamat Metropole Hotel Melbourne.

Isi pamflet itu ialah menerangkan bahwa Indonesia telah merdeka, mengajak semua lapisan masyarakat dan golongan pegawai, polisi, buruh dan rakyat umumnya untuk bersatu dan supaya menolak kedatangan NICA.

Pamflet kemudian diterjemahkan dari bahasa Inggris ke bahasa Indonesia oleh M. Afiat, dicetak dengan huruf arab dan latin, kemudian diperbanyak 400 lembar.

Penyebaran pamflet itu dilakukan pada 1 Oktober 1945 di seluruh Kalimantan Selatan.

Di Banjarmasin penyebaran dipelopori oleh Hadhariyah M, F. Mohani, Hamli Tjarang dan Abdurrahman Noor. Di Rantau dan Kandangan dipelopori oleh H. M. Rusli dan Hasnan Basuki, sedangkan di Barabai oleh H. Baderun.

Daerah lainnya seperti Pelaihari, Martapura, Marabahan, dan Puruk Cahu penyebarannya dilakukan oleh tentara Australia yang bertugas melucuti senjata Jepang di daerah tersebut.

Pamflet tersebut juga disebarkan di Amuntai melalui sopir dan pedagang Amuntai yang kembali dari Banjarmasin.

Bersamaan dengan penyebaran pamflet-pamflet itu diadakan pula rapat-rapat dan aksi pencoretan di rumah-rumah Belanda dan kantor-kantor pemerintah.

Penyebaran pamflet itu sangat berpengaruh di kalangan rakyat, sebab pamflet itu menyadarkan rakyat bahwa bangsa Indonesia telah merdeka dan dengan demikian bangsa Belanda dengan pemerintah NICA-nya harus ditolak.

“Akibat dari penyebaran pamflet itu Hadhariyah M dan kawan-kawan ditangkap NICA, barulah kemudian dikeluarkan setelah Pengurus Besar Persatuan Rakyat Indonesia (PBPRI) melakukan aksi protes,” ungkap Mansyur.

PBPRI lahir pada 19 Agustus 1945 sebagai ganti Kenkoku Dosi Kai pada masa Jepang. Sebuah organisasi yang menginginkan sesegeranya terbentuk pemerintahan Republik Indonesia.

Pemerintahan NICA bertindak sangat hati-hati dan selalu waspada, karena itu NICA membebaskan Hadhariyah M, dengan persyaratan tertentu.

Sebelum dibebaskan, mereka disodori sebuah perjanjian yang sangat mengikat dan mempersulit langkah perjuangan selanjutnya.

PBPRI segera menanggapi sikap dari pemerintah NICA dengan mengadakan rapat kilat.

Rapat kilat itu memutuskan dengan suara bulat untuk mengangkat Pangeran Musa Ardikesuma sebagai Residen Republik Indonesia di Kalimantan berkedudukan di Banjarmasin.

Selanjutnya, PBPRI memutuskan untuk membentuk Komite Nasional Indonesia Daerah (KNI Daerah) berkedudukan di Banjarmasin dengan ketua KNI Daerah A. Ruslan serta Hadhariyah M, sebagai penulis I dan F. Mohani sebagai penulis II.

Dari proses verbal yang dilakukan terhadap Hadhariyah M, jelaslah bagi pimpinan PRI bahwa NICA adalah alat untuk mengembalikan kekuasan Belanda di daerah ini.

Hal ini semakin jelas ketika Mayor A.L. Van Assenderp mengundang para Kiai untuk membentuk pemerintahan Belanda pada 10 Oktober 1945.

PBPRI para pemuda yang tergabung dalam Tentara Keamanan Rakyat (TKR) berusaha mencegahnya. Itulah sebabnya PBPRI mengadakan rapat kilat pada 9 Oktober 1945.

Rapat tersebut diadakan di jalan Andalas yang akhirnya selain menetapkan Pangeran Musa Ardikesuma sebagai Residen dan pembentukan KNI Daerah.

Juga memutuskan pada 10 Oktober 1945 akan diadakan upacara penaikan bendera Merah Putih dan penurunan bendera Belanda.

Acara tersebut diikuti semua lapisan masyarakat serta mengadakan arak-arakan atau pawai bendera Merah Putih dan menyanyikan lagu Indonesia Raya, disamping itu rumah-rumah diwajibkan memasang bendera Merah Putih.

Pada 10 Oktober 1945, keluarlah surat-surat edaran yang berisi pengumuman tentang Pembentukan Pemerintahan Republik Indonesia di Kalimantan.

Persiapan telah dilaksanakan untuk merayakan kemerdekaan dan pengangkatan Residen dan KNI tersebut.

Pelopor persiapan dan keamanan diletakkan di atas pundak PBPRI dengan barisan pemudanya di bawah pimpinan Fachruddin Mohani, Abdurrahman Noor, Abdul Mutalib Syukur, Hamli Tjarang, Hanafiah, Abdul Kadir Uwan, M. Amin Effendi, M. Aminuddin dan M. Afiat.

Ribuan rakyat dari pelosok kota Banjarmasin berkumpul di muka Gubernuran dengan membawa bendera Merah Putih dan lencana Merah Putih.

Pelajar-pelajar sekolah menengah berbaris dengan membawa poster-poster yang bertulisan: Kami Rakyat Indonesia.

“Anggota kepolisian dan pegawai telah membuang mahkota kerajaan Belanda dan menggantikannya dengan lencana Merah Putih,” pungkasnya.