Kebakaran Smelter

Pasca-Ledakan Smelter, WALHI Sulteng Desak Penghentian Produksi PT IMIP

WALHI Sulteng mendesak pemerintah pusat segera mengehentikan kegiatan PT Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP) pasca-ledakan tungku smelter.

Suasana di kawasan IMIP Morowali saat pergantian shift kerja karyawan. Foto: ANTARA/HO-Doc. IMIP

apahabar.com, JAKARTA - WALHI Sulteng mendesak pemerintah pusat segera menghentikan kegiatan PT Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP) pasca-ledakan tungku smelter milik PT Indonesia Tsingshan Stainless Steel (PT ITSS) yang merupakan anak usaha Tsingshan Group asal Tiongkok.

WALHI Sulteng juga mendorong pemerintah memberikan sanksi tegas terhadap PT IMIP, mengingat jumlah korban akibat ledakan yang terjadi pada pukul 05.30 Wita itu tidak sedikit.

"Kami mendesak pemerintah pusat untuk tidak diam saja. Produksi PT IMIP harus segera dihentikan, dan memberikan sanksi tegas, mengingat korban tidak sedikit dan sering kali terjadi kecelakaan kerja seperti ini," ujar Aulia Hakim, Kepala Advokasi dan Kampanye WALHI Sulteng kepada apahabar.com, Minggu (24/12).

Aulia mengingatkan pemerintah jangan hanya kampanye soal hilirisasi nikel namun harus turun ke daerah untuk melihat kondisi riil di lapangan yang memang mengalami banyak persoalan.

Baca Juga: Smelter Asal China Meledak, Ini Profil PT ITSS Morowali

"Pemerintah jangan percaya dengan angin surga atas keuntungan yang diperoleh tanpa melihat kenyataan di lapangan. Nyawa melayang hidup sengsara akibat kawasan yang kacau dan amburadul," paparnya.

Berdasarkan informasi yang dihimpun WALHI Sulteng, diketahui salah seorang karyawan Ferosilikon PT ITSS tengah melakukan perbaikan tungku, lalu memasang plat besi pada bagian tungku, sebelum ledakan terjadi. Ledakan telah memicu beberapa tabung oksigen di sekitar area ikut meledak.

Tercatat hingga saat ini, Minggu (24/12), sudah 35 orang menjadi korban. 12 di antaranya meninggal dunia dan beberapa  korban lainnya mengalami luka bakar berat dan mendapat pertolongan medis.

"Saat ini semua korban masih dirawat di klinik 1 dan klinik 2 milik PT IMIP, namun dengan keterbatasan fasilitas dan daya tampung yang besar, para korban dirujuk ke RSUD Morowali untuk penanganan lebih lanjut," jelas Aulia.

Baca Juga: DPR RI Desak Pemerintah Usut Kecelakaan Kerja di PT IMIP

Bukan Kali Pertama

Kecelakaan kerja di kawasan industri nikel bukan yang pertama terjadi. WALHI Sulteng mencatat, pada 22 Desember 2022, dua pekerja mengalami kecelakaan akibat ledakan tungku yang terjadi di kawasan industri nikel milik PT Gunbuster Nickel Industri (GNI), sebuah perusahaan besar asal Tiongkok yang beroperasi di kabupaten Morowali Utara. Akibat ledakan nyawa Nirwana Sale dan Made Defri tidak tertolong.

Berikutnya, 27 April 2023, dua pekerja dumping milik PT Indonesia Guang Ching Nickel and Stainless Industry, yang juga berada di kawasan PT IMIP mengalami kecelakaan kerja sehingga merenggut nyawa Arif dan Masriadi.

“Lagi-lagi kita melihat bagaimana pekerja ditumbalkan guna mengejar keuntungan semata," terang Aulia.

Kala itu, kecelakaan kerja merupakan dampak dari tidak tersedianya alat perlindungan diri (APD) termasuk alat keselamatan yang seharusnya disediakan oleh perusahaan.

Baca Juga: 987 Kecelakaan Kerja Terjadi di IMIP, Hanya Dilaporkan ke BPJS

"Diitambah paraturan jam kerja yang semena-mena, rotasi kerja yang kacau, dan juga perlatan yang dioperasikan tidak terkontrol menjadi pemicu kecelakaan itu” ujar Aulia.

Pentingnya K3 dan Sanksi

Aulia mengungkapkan prosedur Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) pertambangan mengacu pada Peraturan Menteri Eenergi dan Sumber Daya Mineral (Permen ESDM) nomor 38 Tahun 2018 tentang penerapan SMK3 Pertambangan dan Mineral.

"Sehingga ketika kecelakaan terjadi dan terjadi berkali-kali menjadi pertanyaan serius. Perlu ditelusuri, apakah PT IMIP telah menerapkan sistem Manajeman Keselamatan Kerja dan Kesehatan Kerja Pertambangan (SMK3P) dengan ketentuan yang berlaku," tutur Aulia.

Atas dasar itu, WALHI SUlteng mendesak pemerintah segera melakukan audit eksternal atas kecelakaan yang terjadi di PT IMIP.

Baca Juga: Korban Tewas Ledakan Tungku Smelter Morowali Bertambah

Pemerintah Tutup Mata dan Telinga

Selama ini, WALHI Sulteng menilai pemerintah pusat dan pemerintah daerah terkesan abai atas kecelakaan kerja yang terjadi di industri smelter. Tercatat, selama periode 2022-2023 tidak pernah ada perusahaan yang mendapat sanksi tegas atas kecelakaan kerja yang merenggut nyawa pekerjanya.

Sebaliknya, perusahaan malah memberikan sanksi kepada para pekerja yang menuntut hak, seperti yang dialami oleh Minggu Bulu dan Amirullah. Mereka, jelas Aulia, ditetapkan sebagai tersangka atas peristiwa bentrokan antarpekerja pada 14 Januari 2023.

"Mereka berdua menjadi tersangka buntut dari aktivitasnya dalam mengadvokasi hak-hak pekerja lainnya," kata Aulia.

Hentikan Produksi PT IMIP

Selama ini, PT IMIP tumbuh dengan modal yang besar, China – Asean Invesment Cooperation Fun sebagai pemegang saham 24% di PT Sulawesi Mining Investment (SMI), sementara Shanghai Decent mengontrol 46,55% saham di PT SMI, ditambah lagi beberapa modal dari bank asing seperti Bank of China, EXIM Bank of China, dan HSBC.

Baca Juga: Kecelakaan Kerja di Tambang IMIP, SPN: 5 Tewas Sejak Januari 2023

"IMIP yang diresmikan pada 2013, menunjukan perkembangan pesat, terbukti dengan menjadikan Thingshan Group sebagai perusahaan terbesar di dunia dalam bidang pengelolaan nikel," jelas Aulia.

Sehingga PT IMIP memperoleh investasi sebesar US$10,20 atau setara Rp147 triliun dengan pajak dan royalti yang disetor ke negara sejak 2015-2020 sejumlah Rp306,87 miliar (2015) naik menjadi Rp5,38 trliun (2020).

Hanya saja permasalahan ketenagakerjaan di IMIP sejalan dengan keprihatinan pemerhati lingkungan terkait dengan dampak lingkungan dari industri nikel.

Baca Juga: Kecelakaan Kerja di PT IMIP, Kemnaker: Tim Pengawas Belum Melapor

Mengutip laporan Brookings Institute pada September 2022, Aulia menjelaskan, sektor nikel di Indonesia sangat intensif karbon dalam merusak lingkungan. "Itu karena ketergantungan yang besar pada batu bara," tegasnya.

Selain itu, Lebih dari 8.700 hektar hutan hujan primer telah hancur di Kabupaten Morowali Utara, lokasi IMIP beroperasi.

Sejak tahun 2000, menurut analisis Greenpeace Indonesia, pohon-pohon ditebang untuk dijadikan lahan pertambangan dan pabrik peleburan. 

"Termasuk untuk kebutuhan infrastruktur pendukungnya," tutup Aulia.