Partai Buruh Sebut Diskualifikasi Aditya-Said sebagai Skenario Calon Tunggal

Ketua Tim Pilkada Pusat Partai Buruh, Said Salahudin, menyatakan sikapnya membela pasangan calon Wali Kota dan Wakil Wali Kota Banjarbaru nomor urut 2

Ketua Tim Pilkada Pusat Partai Buruh, Said Salahudin. Foto: Istimewa

bakabar.com, JAKARTA - Ketua Tim Pilkada Pusat Partai Buruh, Said Salahudin, menyatakan sikapnya membela pasangan calon wali kota dan wakil wali kota Banjarbaru nomor urut 2, Aditya Mufti Ariffin-Said Abdullah, yang didiskualifikasi oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) Banjarbaru.

Menurutnya, pembatalan tersebut tak sah dan patut diduga sebagai upaya rekayasa memaksakan Pilkada Banjarbaru hanya diikuti paslon tunggal.

Sebagaimana diketahui, Pilkada Banjarbaru diikuti dua paslon. Tetapi tiba-tiba KPU mengumumkan bahwa paslon nomor urut 2 didiskualifikasi karena adanya rekomendasi dari Bawaslu yang pada pokoknya menuding Aditya Mufti Ariffin memanfaatkan program pemerintah daerah untuk kepentingan pencalonan dirinya di pilkada.

“Tuduhan itu jelas tidak benar. Saya mencium ada aroma rekayasa yang sepertinya sudah dirancang secara matang oleh pihak tertentu untuk membatalkan pencalonan Adit. Targetnya tidak lain agar Pilkada Banjarbaru hanya diikuti satu pasangan calon. Upaya penjegalan ini bahkan sudah diupayakan sejak tahap awal pencalonan,” papar Said Salahudin melalui siaran pers tertulis, Sabtu (2/10) pagi.

“Aditya ini memang masih menjabat sebagai Wali Kota Banjarbaru dengan status cuti di masa kampanye. Dia maju kembali di pilkada 2024 untuk periode kedua. Nah, posisinya sebagai petahana inilah yang coba dicari-cari kesalahannya,” sambungnya.

Sebagai partai pengusung pasangan Aditya Mufti Ariffin dan Said Abdullah, Partai Buruh jelas tidak terima dengan skenario semacam itu. 

“Kami akan lawan pihak yang bermain tidak fair di pilkada. Aditya adalah produk dari Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 60 yang diajukan Partai Buruh. Dia bisa ikut pilkada karena putusan MK menurunkan syarat ambang batas pencalonan,” tegasnya.

Ia menilai kasus Pilkada Banjarbaru ini penting untuk mendapatkan perhatian luas dari masyarakat.

“Keputusan KPU Banjarbaru mendiskualifikasi paslon nomor 2 berdasarkan rekomendasi Bawaslu harus dilawan karena prosesnya tidak benar. Ada banyak sekali pelanggaran hukum dan pelanggaran etika yang dilakukan oleh penyelenggara pemilu, termasuk KPU dan Bawaslu Kalsel,” ungkapnya.

“Kesalahan terbesar penyelengara pemilu pada kasus ini adalah karena secara semberono memvonis Aditya dengan menggunakan dasar hukum Pasal 71 ayat (3) dan ayat (5) Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang (UU Pilkada),” jelasnya.

Pasal 71 ayat (3) berbunyi, “Gubernur atau Wakil Gubernur, Bupati atau Wakil Bupati, dan Walikota atau Wakil Walikota dilarang menggunakan kewenangan, program, dan kegiatan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon baik di daerah sendiri maupun di daerah lain dalam waktu 6 (enam) bulan sebelum tanggal penetapan pasangan calon terpilih.”

Adapun Pasal 71 ayat (5) berbunyi, “Dalam hal Gubernur atau Wakil Gubernur, Bupati atau Wakil Bupati, dan Walikota atau Wakil Walikota selaku petahana melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3), petahana tersebut dikenai sanksi pembatalan sebagai calon oleh KPU Provinsi atau KPU kabupaten/Kota.”

Ia memaparkan apabila dibaca secara teliti dengan kaca mata hukum, maka kedua norma itu pada pokoknya mengatur adanya larangan menggunakan kewenangan, program, dan kegiatan bagi kepala daerah yang bertujuan menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon. 

Jika kepala daerah yang melanggar larangan tersebut berstatus sebagai calon atau petahana, maka kepadanya dikenakan sanksi pembatalan sebagai calon oleh KPU.

“Nah pada kasus Aditya, peristiwa yang dituduhkan calon lawannya selaku pihak pelapor, terjadi sebelum ada pasangan calon yang ditetapkan oleh KPU. Kalau begitu ceritanya, maka Pasal 73 ayat (3) tidak bisa dikenakan kepada Aditya selaku Wali Kota Banjarbaru karena pada saat itu belum ada pasangan calon. Aditya belum menjadi calon, lawannya pun belum menjadi calon,” tambahnya.

“Jadi, pasangan calon mana yang diuntungkan atau dirugikan oleh kebijakan Aditya selaku wali kota pada saat itu? Kan tidak ada. Program pemerintah daerah tentu tidak boleh disetop hanya karena ada pilkada. Kalau Aditya mengganti program pemda yang menjadi tanggung jawabnya, maka justru dia salah karena hal itu dapat menyebabkan hak dan kepentingan rakyat menjadi dirugikan.”

“Oleh karena pada saat peristiwa yang dituduhkan Aditya belum menjadi calon dan belum pula ada calon yang lain, maka unsur ‘menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon’ sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 ayat (3) menjadi tidak terpenuhi,” tambahnya.

Ia menilai bahwa implikasi atas tidak terpenuhinya unsur-unsur di dalam ketentuan Pasal 73 ayat (3), maka konsekuensi hukumnya Aditya tidak bisa dijerat sanksi pembatalan sebagai calon sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 71 ayat (5) UU Pilkada. 

“Sebab itu, demi hukum statusnya sebagai calon Wali Kota Banjarbaru harus dipulihkan kembali oleh KPU,” bebernya.

Terkait kasus ini, Partai Buruh masih terus melakukan koordinasi dengan paslon nomor urut 2 dan partai politik pengusung lainnya guna mengambil langkah-langkah hukum yang diperlukan.

“Termasuk memproses anggota KPU, Bawaslu Banjarbaru serta anggota KPU dan Bawaslu Kalsel ke Dewan Kehormatan Penyelengara Pemilu (DKPP),” tegasnya.

“Sebagai penyusun Peraturan Kode Etik Penyelenggara Pemilu, saya yakin sekali para penyelenggara pemilu di Banjarbaru dan Kalsel akan dipecat oleh DKPP. Kami juga akan bongkar aktor-aktor lain yang terlibat,” pungkasnya.